Tidak Ada Bayi Tergencet, Akuarium pun Jadi

Senin, 03 September 2012 – 00:51 WIB
HARI itu wartawan foto berbondong ke Stasiun Pasar Senen, Jakarta. Semua wartawan (he he he, saya pun dulu begitu) sudah hafal ini: Stasiun Senen adalah objek berita yang paling menarik di setiap menjelang Lebaran.
 
Tidak usah menunggu perintah redaksi, wartawan pun tahu. Ke Senen-lah cara terbaik untuk mendapat foto terbaik (baca: foto yang menyedihkan): antrean yang mengular, bayi yang terjepit di gendongan, orang tua yang tidur karena kelelahan di dekat toilet, anak kecil yang dinaikkan kereta lewat jendela, wanita yang kegencet pintu kereta, dan sejenisnya.
 
Menjelang Lebaran tahun ini, objek-objek yang "seksi" di mata wartawan foto itu tiba-tiba lenyap bak ditelan bumi. Tidak ada lagi desakan, impitan, gencetan, dan jenis penderitaan lain yang menarik untuk difoto. Para wartawan pun banyak yang terlihat duduk hanya menunggu momentum. Dan yang ditunggu tidak kunjung terlihat.
 
Maka, dengan isengnya, seorang petugas stasiun mengirimkan foto ke HP saya. Rupanya, dia baru saja memotret kejadian yang menarik: Seorang wartawan yang karena tidak mendapatkan objek menarik memilih memotret akuarium yang ada di stasiun. Foto "wartawan memotret" itu pun dia beri teks begini: Tidak ada objek foto, wartawan pun memotret akuarium!
 
Seorang penumpang jurusan Malang, yang sehari sebelumnya ikut upacara HUT Kemerdekaan RI di kantornya, mengirimkan SMS ke saya: Seumur hidup mudik Lebaran, baru Lebaran tahun ini saya merasakan kemerdekaan!
 
Tentu saya merasa tidak layak mendapat SMS pujian setinggi langit seperti itu. SMS itu pun segera saya"forward"ke Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) Ignasius Jonan. Jonan-lah (serta seluruh jajaran direksi dan karyawan kereta api) yang lebih berhak mendapat pujian itu.
 
Banyak sekali SMS dengan nada yang sama. Semua saya forward"ke Jonan. Pak Dirut pun menyebarkannya ke seluruh jajaran kereta api di bawahnya.
 
Keesokan harinya, memang terlihat tidak satu pun koran memuat foto utama mengenai keruwetan di stasiun kereta api. Harian Kompas bahkan menurunkan tulisan panjang di halaman depan: memberikan pujian yang luar biasa atas kinerja kereta api tahun ini. Banyak pembaca mengirimkan versi online tulisan di Kompas itu ke e-mail saya, khawatir saya tidak membacanya.
 
Tentu saya sudah membacanya. Dan meski saya pun tahu bahwa Jonan pasti sudah pula membacanya, tetap saja saya e-mail-kan juga kepadanya. Beberapa hari kemudian, Kompas kembali mengapresiasi kerja keras itu. Sosok Jonan, ahli keuangan lulusan Harvard, USA, itu, ditampilkan nyaris setengah halaman.
 
Di hari yang sama, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menulis artikel panjang di Suara Pembaruan: juga memuji perbaikan layanan KAI belakangan ini.
 
Membenahi kereta api, saya tahu, bukan perkara yang mudah. Jonan sendiri sebenarnya "kurang waras". Betapa enak dia jadi eksekutif bank Amerika, Citi, dengan ruang AC dan fasilitas yang menggiurkan. Di BUMN, awalnya dia memimpin BUMN jasa keuan gan PT Bahana. Kini dia pilih berpanas-panas naik KA dari satu stasiun ke stasiun lainnya. Dekat dan jauh. Besar dan kecil. Dia benahi satu per satu. Mulai layanan, kebersihan, hingga perkara-perkara teknis.
 
Padahal, membenahi kereta api itu musuhnya banyak dan lengkap: luar, dalam, atas, bawah, kiri, kanan, muka, belakang. Bahkan, kanan luar dan kiri luar. Kanan dalam dan kiri dalam. Bisa saja terjadi, gawangnya jebol bukan karena hebatnya serangan bola dari musuh, tapi karena barisan belakang kereta apinya yang bikin gol sendiri.
 
Tapi, sorak-sorai "suporter" yang menginginkan kereta api terus bisa mencetak gol tidak henti-hentinya bergema. Para penyerang di barisan depan kereta api pun tidak lelah-lelahnya membuat gol. Membuat gol sekali, kebobolan gol sekali. Membuat lagi gol dua kali, kebobolan gol lagi sekali. Tapi, untuk gol-gol berikutnya, lebih banyak yang dibuat daripada yang masuk ke gawang sendiri.
 
Jonan sebagai kapten tim kereta api terus memberi umpan ke depan sambil lari ke muka dan ke belakang. Untung, badannya kecil dan kurus sehingga larinya lincah. Untung, gizinya baik sehingga tidak perlu minggir untuk minum. Untung (meski si kapten kadang main kayu dan nada teriaknya kasar), wasitnya tidak melihat atau pura-pura tidak melihat.
 
Kalau saja timnya tidak bisa bikin banyak gol, pastilah dia sudah terkena kartu merah: baik karena"tackling-nya yang keras maupun teriakan-teriakannya yang sering melanggar etika bermain bola.
 
Saya tahu bahwa Jonan orang yang tegas, lurus, dan agak kosro (saya tidak akan menerjemahkan bahasa Surabaya yang satu itu karena Jonan adalah arek Suroboyo). Tapi, dalam periode sekarang ini kereta api memang memerlukan komandan seperti itu. Saya kagum dengan Menteri BUMN Sofyan Djalil, kok dulu bisa menemukan orang unik seperti Jonan.
 
Untuk menggambarkan secara jelas sosok orang yang satu itu, moto majalah Tempo enak dibaca dan perlu bisa dikutip, tapi harus dimodifikasi sedikit: "menyebalkan dilihat dan perlu".
 
Tapi, kereta api memang memerlukan orang yang "menyebalkan" seperti Jonan. Dia menyebalkan seluruh perokok karena sejak awal tahun ini melarang merokok di kereta api. Bahkan di kelas ekonomi yang tidak ber-AC sekalipun! Bayangkan betapa besar gejolak dan resistansi yang timbul. Sesekali Jonan hanya kirim SMS ke saya. "Pak Dis, ini diteruskan atau tidak?" Jawaban saya pun biasanya pendek saja: Teruuuuus!
 
Tidak lama kemudian, dia pun mengeluarkan kebijakan yang sangat sensitif: Tidak boleh ada asongan yang berjualan dengan cara masuk ke gerbong-gerbong kereta api. Belum lagi reaksi reda, muncul instruksi Bapak Presiden agar kiri-kanan jalan kereta api ditertibkan. Itu sungguh pekerjaan yang berat. Dan makan perasaan. Lahir dan batin. Tapi, Jonan dengan cara dan kiat-kiatnya bisa melaksanakan instruksi tersebut dengan, tumben he he, agak bijak.
 
Gol demi gol terus dia ciptakan. Dia keluarkan lagi kebijakan ini: Tiap penumpang harus mendapat tempat duduk. Termasuk penumpang kelas ekonomi. Itu berarti penjualan karcis harus sama dengan jumlah tempat duduk. Tidak boleh lagi ada penumpang yang berdiri.
 
Banyak orang yang dulu hobi berdiri di pintu KA (seperti kebiasaan saya di masa remaja) yang tidak bisa lagi meneruskan hobi itu. Reaksi keras atas kebijakannya itu sungguh luar biasa.
 
Mengapa?
 
Kebijakannya kali ini ibarat belati yang langsung mengenai ulu hati orang dalam sendiri. Di sinilah tantangan terberat Jonan. Tidak lagi dari luar atau dari penumpang, melainkan dari jaringan ilegal orang dalam sendiri. Jaringan yang sudah turun-temurun, menggurita, beranak pinak, dan kait-mengait.
 
Marahnya orang luar bisa dilihat, tapi dendamnya orang dalam bisa seperti musuh dalam selimut: bisa mencubit sambil memeluk. Orang Surabaya sering mengistilahkannya dengan hoping ciak kuping: sahabat yang menggigit telinga.
 
Peristiwa karcis ganda, penumpang tidak dapat tempat duduk, harga karcis yang jauh di atas tarif, kursi kosong yang dibilang penuh, dan ketidaknyamanan lain, pada dasarnya, ujung-ujungnya adalah permainan jaringan yang sudah menggurita itu.
 
Berbagai cara untuk menyelesaikannya selalu gagal. Spanduk "berantas calo!", "tangkap calo!","dan sebangsanya sama sekali tidak ada artinya. Seruan seperti itu hanyalah omong kosong. Jonan tahu: Teknologilah jalan keluarnya.

Tapi, juga harus ada yang menjalankan teknologi. Dan yang menjalankannya harus juga manusia. Dan yang namanya manusia, apalagi manusia yang lagi marah, ngambek, jengkel, dan dendam, bisa saja membuat teknologi tidak berfungsi.
 
Tapi, Jonan sudah menaikkan gaji karyawannya. Sudah memperbaiki kesejahteraan stafnya.
 
Seperti juga terbukti di PLN, orang-orang yang mengganggu di sebuah organisasi sebenarnya tidaklah banyak. Hanya sekitar 10 persen. Yang terbanyak tetap saja orang yang sebenarnya baik. Yang mayoritas mutlak tetaplah yang menginginkan perusahaannya atau negaranya baik.
 
Hanya, mereka memerlukan pemimpin yang baik. Bukan pemimpin yang justru membuat perusahaannya bobrok. Bukan juga pemimpin yang justru menyingkirkan orang-orang yang baik. Jonan yang sudah meninggalkan kedudukan tingginya di bank asing itu bisa menjadi pemimpin yang tabah, tangguh, dan sedikit ndablek.
 
Di PT Kereta Api Indonesia pun sama: Mayoritas karyawan sebenarnya menginginkan kereta api berkembang baik dan maju. Buktinya, langkah-langkah perbaikan yang digebrakkan manajemen akhirnya bisa dijalankan oleh seluruh jajarannya.

Bahwa ada hambatan dan kesulitan di sana-sini, itu adalah konsekuensi dari sebuah organisasi yang besar, yang kadang memang tidak lincah untuk berubah. Tapi, organisasi besar KAI dengan karyawan 20.000 orang ternyata bisa berubah relatif cepat.
 
Transformasi di PT KAI sungguh pelajaran yang amat berharga bagi khazanah manajemen di Indonesia. Lebaran tahun 2012 ini harus dicatat dalam sejarah percaloan di Indonesia.

Inilah sejarah di mana tidak ada lagi calo tiket kereta api. Semua orang bisa membeli tiket dari jauh: dari rumahnya dan dari ratusan outlet minimarket di mana pun berada. Orang bisa membeli tiket kapan pun untuk pemakaian kapan pun. Orang pun bisa melihat di komputer masing-masing tentang kursi mana yang masih kosong dan kursi mana yang diinginkan. Orang juga bisa melihat kereta yang mereka tunggu sedang berada di stasiun mana dan kereta itu akan tiba berapa menit lagi.
 
Naik kereta api juga harus menggunakan boarding pass. Setiap penumpang akan diperiksa apakah nama yang tertera di tiket sama dengan nama yang ada pada ID si penumpang. Dengan cara itu, bukan saja orang tanpa tiket tidak bisa masuk kereta, yang dengan tiket pun akan ditolak kalau namanya berbeda. Persis dengan naik pesawat.
 
Cara tersebut memang praktis tidak memberikan peluang bagi calo untuk beroperasi. Tapi, jasa membelikan tiket bisa saja tetap hidup, bahkan berkembang dengan legal.
 
Dengan gebrakan terakhir itu, jumlah penumpang kereta api menurun. Tapi, anehnya, dalam keadaan jumlah penumpang menurun, penghasilan kereta api naik 110 persen!
 
Tentu masih banyak yang harus dilakukan. Program kereta ekonomi ber-AC, tempat turun penumpang yang kadang masih di luar peron (sehingga harus loncat dan terjatuh), membuat kereta lebih bersih lagi, mengurangi kerusakan, mempercantik stasiun, dan menata lingkungan di sekitar stasiun adalah pekerjaan yang juga tidak mudah.
 
Toilet-toilet juga akan banyak diubah dari toilet jongkok menjadi toilet duduk. Selama ini, wanita yang mengenakan celana jins mengalami kesulitan dengan toilet jongkok. Gaya hidup penumpang kereta memang sudah banyak berubah sehingga pengelola kereta juga harus menyesuaikan diri.
 
Kini banyak sekali penumpang yang merasa nyaman di KA: Charger HP sudah tersedia di semua kursi. Kompor gas di kereta makan tidak ada lagi. Toilet-toilet di stasiun sudah lebih bersih (bahkan di beberapa stasiun sudah lebih bersih daripada toilet di bandara).
 
Perbaikan manajemen itu akan mencapai puncaknya 18 bulan lagi: saat jalur ganda kereta api Jakarta-Surabaya selesai dibangun. Pada pertengahan 2014 itu, di jalur Jakarta-Surabaya memang belum ada Shinkansen, tapi harapan baru kereta yang lebih baik sudah di depan mata! (*)


   Dahlan Iskan
  Menteri  BUMN
 
 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Era Tawaf dengan Kendaraan Listrik

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler