Prinsip hidupnya, siapapun yang berusaha keras akan mencapai keberhasilan. Prinsip itulah yang membuat Antoni Tsaputra mampu menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas New South Wales - walau dia seorang penyandang disabilitas fisik berat.
Sekarang Antoni Tsaputra dan istrinya Yuki Melani yang menemaninya selama beberapa tahun di Sydney, sudah kembali ke Padang (Sumatera Barat) untuk bekerja dan menyesuaikan diri dengan kehidupan di Indonesia - yang belum ramah disabilitas.
BACA JUGA: Polisikan Youtuber, Maskapai Garuda Indonesia Dinilai Anti Kritik
Menyelesaikan pendidikan doktoral, menurut Antoni, merupakan salah satu pencapaian yang sudah dilaluinya namun perjuangan hidupnya masih terus berlanjut.
Dan pria kelahiran Padang ini bangga bahwa dia berhasil menyelesaikan pendidikan doktornya.
BACA JUGA: Sudah Pamitan Mau Kerja di Australia, Tapi Ternyata Jadi Korban Penipuan
"Sudah ada 3 atau 4 orang penyandang disabilitas yang meraih doktor di Indonesia kalau saya tidak salah. Tapi saya mungkin penyandang disabilitas fisik berat pertama di Indonesia yang meraih PhD di luar negeri," katanya lewat percakapan email dengan wartawan ABC Indonesia Sastra Wijaya.
Antoni menyelesaikan pendidikan di Jurusan Ilmu Sosial (Social Sciences) di UNSW dengan disertasinya penganggaran pemerintah yang inklusif terhadap penyandang disabilitas (Disability Inclusive Budgeting).
BACA JUGA: 80 Murid Sekolah Australia Tampilkan Tari Aceh Ratoh Duek di Sydney
"Saya meneliti bagaimana potensi penganggaran pemerintah di Indonesia yang berpihak kepada penyandang disabilitas bisa membantu merealisasikan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam seluruh sektor tidak lagi hanya dalam ranah rehabilitasi sosial." kata Antoni sebelumnya. Photo: Antoni Tsaputra harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di Padang yang belum terlalu ramah bagi warga yang difabel (Foto: Istimewa)
Lalu ada rekomendasinya dari kesimpulan disertasi tersebut.
"Temuan terpenting dari studi doktoral saya adalah bahwa alokasi anggaran tidak cukup untuk para warga difabel berpartisipasi aktif dalam pembangunan di Indonesia," katanya.
Menurut Antoni perlunya penganggaran inklusif disabilitas (Disability Inclusive Budgeting) sehingga nantinya tidak hanya sekedar kebijakan untuk membantu para disabilitas dalam pembangunan tapi harus memungkinkan penyandang disabilitas atau difabel menjadi agen aktif dalam pembangunan sebagai warga masyarakat berdaya." katanya lagi.
Secara pribadi, kesulitan apa yang terbesar yang dialaminya sebagai seorang difabel dibandingkan merkea yang lain dalam studi ?
"Pendidikan doktoral bukanlah perjalanan studi yang mudah bagi siapa saja termasuk mereka yang memiliki disabilitas." kata Antoni.
Antoni tidak melihat apa yang dijalankannya selama beberapa tahun studi di Sydney sebagai kesulitan, namun lebih sebagai tantangan.
"Tantangan terkait disabilitas saya adalah waktu yang diperlukan relatif lebih lama dalam menulis, karena saya mengetik menggunakan virtual keyboard, sehingga saya juga harus menghabiskan lebih banyak waktu di lab untuk bekerja." katanya.
Sebelumnya Antoni menyelesaikan studi S1 di Universitas Andalas Padang bidang Sastra Inggris tahun 2000 dan melanjutkan pendidikan S2 di tahun 2011 dan meraih gelar Master of Arts dari Griffith University di Brisbane bidang Journalism and Mass Communication .
Di Brisbane Antoni mendapat beasiswa dari pemerintah Australia namun kemudian melanjutkan pendidkan doktoral di UNSW atas beasiswa dari pemerintah Indonesia lewat LPDP .
Ketika belajar di Australia, apa yang membedakannya dengan di Indonesia?
"Perbedaan yang paling signifikan mungkin masih terbatasnya sistem pendukung (aksesibilitas, sumber daya, teknologi untuk membantu mempermudah) yang diperlukan oleh mahasiswa difabel dengan beragam disabilitas yang mereka miliki di sebagian besar universitas dan/atau perguruan tinggi di Indonesia." kata Antoni.
Dan karena itu apakah kalau dia melanjutkan pendidikan di Indonesia apakah dia akan bisa menyelesaikan pendidikan doktornya?
"Tentunya bisa saja, namun mungkin dengan tantangan yang lebih besar dan perjuangan lebih berat." katanya lagi. Photo: Antoni Tsaputra dengan istrinya Yuki Melani di kampus UNSW di Sydney (Foto: Istimewa )
Sebelum melanjutkan pendidikan di Australia, Antoni Tsaputra sudah bekerja sejak tahun 2004 sebagai pegawai negeri sipil di Pemerintah Kota Padang dan sejak 2011 juga aktif dalam gerakan hak kelompok difabel terutama di bidang advokasi hak-hak penyandang disabilitas."Tidak ada hal yang disebut sebagai tidak mungkin"
Dan setelah kembali ke Indonesia, Antoni mengatakan dia akan terus bergerak di bidang advokasi hak-hak penyandang disabilitas tersebut.
"Saya kembali akan berjuang bersama komunitas saya untuk melanjutkan advokasi hak-hak penyandang disabilitas dan mengaplikasikan hasil penelitian doktoral saya untuk menjadikan disabilitas sebagai isu pembangunan di Indonesia bukan lagi isu kesejahteraan sosial." katanya.
Apa pesan yang hendak disampaikannya kepada teman-teman difabel lain yang ingin melanjutkan studi?
"Saya yakin teman-teman difabel di Indonesia terutama generasi millennial ingin terus maju di bidang pendidikan setinggi mungkin. "
"Tidak ada hal yang disebut sebagai tidak mungkin. Yang dibutuhkan adalah tekad yang kuat dan kerja keras." katanya lagi.
Antoni mendorong mereka yang memiliki disabilitas untuk melanjutkan pendidikan bila mereka menghendaki.
"Indonesia membutuhkan ilmuwan muda difabel dengan pemikiran kritis dibekali pendidikan kelas dunia untuk mewujudkan Indonesia inklusif and tempat baik untuk dihuni bagi siapa saja." kata Antoni Tsaputra.
Selama di Sydney, Antoni mengatakan bahwa dia merasa beruntung karena dia dibantu oleh istrinya Yuki Melani dan ayahnya Effendi yang membantu untuk mengurusi dirinya dan membantu studinya.
"Istri saya selalu mendampingi dan membantu saya 24 jam di kantor dan di rumah. Ayah saya Effendi seorang pensiunan PNS juga selalu membantu mengurus saya. Ibu saya Tasmaniar sekali setahun juga mengunjungi kami beberapa bulan di Sydney." kata Antoni. Photo: Antoni Tsaputra menyelesaikan pendidikan doktoral di Universitas New South Wales di Sydney (Foto: Istimewa)
Simak berita-berita lainya dari ABC Indonesia
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Universitas Australia Diduga Terkait Pelanggaran HAM di China