Tidak Janjikan yang Muluk-muluk

Minggu, 14 Juli 2013 – 20:50 WIB
Menkum HAM Amir Syamsuddin saat berdiskusi di Jakarta, Sabu (13/7). FOTO; Ricardo/JPNN
RIBUAN napi di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara, mengamuk, Kamis (11/7) lalu. Gedung lapas dibakar, ratusan napi kabur dari terali besi.

Beragam pendapat soal faktor pemicu terlontar dari banyak kalangan. Umumnya mengatakan, pemicunya kapasitas tahanan yang berlebihan, yang membuat napi gampang "panas".

Matinya listrik dan ngadatnya air dinilai hanya peletik saja. Sementara, kalangan napi sendiri, mengaku kecewa dengan Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang pengetatan remisi terutama bagi napi di kasus tindak pidana korupsi, terorisme dan narkoba.

Mengapa napi sedemikian marahnya atas PP 99/2012 itu dan apa yang akan dilakukan pemerintah atas amarah napi ini? Berikut petikan wawancara dengan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin saat menghadiri sebuah diskusi di Jakarta Pusat,  Sabtu (13/7).

Saat Lapas Tanjung Gusta bergejolak, langkah apa yang pertama kali Anda lakukan?

Saya setelah itu langsung menuju Medan  dan menemui  para napi. Adik-adik kita warga binaan menemui saya dan menyampaikan informasi secara terbuka dan jujur . Terjadi dialog yang disaksikan oeh unsur Muspida Sumut, Gubernur , Kapolda dan Panglima TNI ikut hadir. Saya ingin mendengar secara langsung, dan terimakasih untuk Polri dan TNI membantu mengamankan situasi sehingga kami bisa berdialog.

Apakah persoalan sederhana seperti  air dan listrik menjadi penyebabnya?

Saya kira tidak sesederhana itu.  Air dan listrik semata-mata memicu karena mengingat di awal bulan Ramadan hari kedua, bulan puasa ada situasi seperti itu memang boleh kita katakan salah satu faktor  pemicu tapi bukan satu-satunyanya . Rupanya ada satu situasi penantian yang menimbulkan keresahan di antara warga binaan yaitu penerapan PP Nomor  99 tahun 2012. Yang kebetulan sekali mungkin saja karena baru saya undangkan itu pertengahan 2013 di bulan Juni, sehinggga wajar dipahami kalau kemudian penerapan itu belum selancar yang kita harapkan.

Sebagaimana diketahui PP 99 ini lahir saat di awal saya menjadi menteri di mana banyak timbul keresahan masyarakat. Terdapat hukuman yang ringan terutama pada terpidana kasus korupsi mengganggu rasa keadilan dalam masyarakat. Meski ada juga yang bertanya apa ukuran rasa keadilan pada masyarakat. Namun kami melihat perlu ada peraturan yang membahas mengenai pengetatan remisi untuk menjawab rasa keadilan masyarakat itu. Saya tidak intervensi kewenangan hakim, tapi itu yang dirasakan masyarakat. Kalau akhir-akhir ini hukuman sudah jauh lebih keras. Kita tentu akan lihat lagi.

Apakah Anda melihat penolakan yang besar atas PP 99 itu?

Pada awalnya sebelum saya tampil di Tanjung Gusta  saya berprasangka dan maaf saya berprasangka buruk. Saya pikir tadinya mereka digerakkan oleh napi tindak pidana korupsi. Ternyata saya sampai di sana, pelaku tipikornya sangat sedikit.  Hanya empat orang dan hukumannya rata-rata  tidak tinggi. Terpidana teroris hanya 14 orang. Sehingga saya harus membuka pikiran saya dan menampung masukan ternyata pelaku-pelaku yang berkaitan dengan narkotika. Mereka seharusnya tidak perlu berada di sana melainkan di tempat rehabilitasi dan mereka terkena imbas PP 99.

Apa yang Anda lakukan atas keresahan napi terhadap PP 99 itu?

Ini dipahami secara manusiawi. Hal-hal ini jadi kekecewaan yang terakumulasi kemudian ditambah dengan situasi listrik mati dan kurangnya air bersih serta ,overcapacity. Setelah invetarisasi masalah saya tidak janjikan hal yang muluk-muluk.  Saya coba menangkap apa yang menjadi alasan-alasan mereka dan mana yang mungkin dan dapat dipertimbangkan. Sebelum saya berangkat ke Medan pun saya meminta Dirjen untuk mengirimkan radiogram ke seluruh pelosok Indonesia bahwa mereka (napi) yang terdampak oleh PP 99 tapi putusan pidananya itu telah berkuatan hukum sebelum Juni 2013 itu tidak kena. Jadi yang sudah berkekuatan hukum tetap sebelum PP ini lahir tidak terkena pengetatan remisi. Pengetatan remisi  hanya berlaku untuk napi yang memiliki kekuatan hukum tetap setelah adanya PP.

Sebenarnya akibat dari PP 99 itu kita harus menambah biaya di lapas karena tidak semua napi mendapat remisi dan tinggal lebih lama di lapas. Itu jangka pendek yang bisa kami lakukan untuk saat ini untuk mencegah terjadinya hal serupa di Tanjung Gusta.

Sekarang pertanyaannya apakah kondisi di 2011 yang saya hadapi sudah berubah saat ini ? terkait pemberian hukuman pada terpidana. Terutama untuk kasus korupsi sudah ditambah dengan pasal tindak pidana pencucian uang sehingga hukuman menjadi lebih berat.  Apakah ada peluang kemudian PP 99 ini diubah disesuaikan dengan keadaan atau masih perlu ada PP itu? Ini kita lihat nanti apakah rasa keadilan masyarakat sudah terpenuhi tentu akan dievaluasi.

Bagaimana dengan masalah overcapacity yang terjadi di Lapas, baik di Tanjung Gusta  maupun Lapas lainnya?

Apa yang saya dengar masukan dari berbagai pihak, satu kondisi objektif yang harus kita ketahui saat ini hunian seluruh Indonesia adalah 160 ribu kurang lebih. Di mana 40 persen itu terkait dengan masalah narkotika. Sekitar 40-45 persen. Tapi sayangnya di sini mayoritas hunian narkotika itu sebetulnya tidak perlu berada di lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu saya coba tingkatkan komunikasi  dengan pihak-pihak terkait, saya coba komunikasi dengan Kementerian Kesehatan dan BNN bagaimana kita melakukan satu langkah-langkah untuk bisa mengatasi hal ini dengan memaksimalkan program rehabilitasi, dan ini sedang berjalan saat ini.

Kebanyakan tidak seharusnya berada di Lapas, sehingga menimbulkan penumpukan. Sebaiknya memang di panti rehabilitasi.

Apa benar disebabkan juga karena kekurangan anggaran untuk lapas, sehingga adanya fasilitas yang tidak memadai dan tidak layak untuk napi?

Memang anggaran untuk Lembaga Pemasyarakatan paling bontot (lebih rendah jumlahnya) dibanding direktorat lainnya di Kementerian Hukum dan HAM. Ada saran bahwa dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diterima direktorat lain yang besar seperti Imigrasi, AHU bisa disalurkan untuk lapas.  Untuk itu Peraturan Menkeu nomor 407 tahun 2010 tentang penggunaan sebagian dana PNBP  memang sudah melahirkan kemungkinan pengelolaan dikembalikannya PNBP ini. Tinggal saja pindah ke sektor kepenjaraan.  Saya kira menurut pihak Kementerian Keuangan tidak ada masalah asal jelas pengaturan dan programmya.

Sebetulnya untuk mengantisipasi penumpukan napi juga kita bisa pertimbangkan kemungkinan instrument-instrumen internasional seperti prejudikasi di mana orang yang belum tentu bersalah bisa membayar jaminan sehingga tidak harus dalam tahanan sambil menunggu proses hukumnya berjalan. Namun, mengenai pembayaran uang jaminan itu kembali pada teman-teman di DPR, apakah dalam pembaharuan UU  12 tahun 1995 dimungkinkan dimasukkan hal-hal seperti itu.

Lalu apa instruksi Presiden terkait anggaran Rp 1 triliun untuk Lapas dan bagaimana kelanjutan PP 99/2012 ke depan agar tidak ada potensi kericuhan lagi?


Dana itu untuk pembangunan baru dan pembangunan lanjutan. Untuk di Tanjung Gusta sebagian napi bisa digeser ke lapas lainnya di Medan. Kita berusaha mencari solusi-solusi lainnya, terutama untuk napi narkotika.  Sementara untuk PP 99 akan dilengkapi dengan peraturan pelaksana yang lebih baik agar kekhawatiran napi dapat dicegah. Tapi semangat untuk itu tetap dijaga. Tidak akan dibatalkan PP itu atau dihapuskan tapi disempurnakan.(flo/jpnn)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Usia 5 Tahun Saya Ditinggal Ayah

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler