jpnn.com, JAKARTA - Kemampuan menulis merupakan kompetensi wajib dimiliki praktisi humas terutama yang bekerja di lingkungan pemerintah.
Hal ini karena pesan yang disampaikan akan menjadi rujukan utama informasi terpercaya masyarakat.
BACA JUGA: Dosen Dituntut Mampu Menulis untuk Jurnal
"Karena praktisi humas menjadi jembatan dan ujung tombak komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat,” kata Media Labs PR Digital Agency, Dudy Sya’bani Takdir dalam webinar “Peran Hypnowriting dalam PR Writing, Powerful?”, baru-baru ini.
Dia menyebutkan, kemampuan seorang praktisi humas malah tidak hanya sekadar menulis, tetapi harus menguasai hypnowriting.
BACA JUGA: Kominfo: Peran Sentral Pranata Humas untuk Menjaga Reputasi Pemerintah
Keberhasilan sebuah kampanye PR akan ditentukan oleh narasi tunggal yang baik dan diorkrestrasi ke berbagai saluran media.
“Kemampuan menulis kemudian bisa dikembangkan ke hypnowriting sehingga mampu mengubah persepsi publik terhadap sebuah perusahaan lebih optimal,” kata Dudy.
BACA JUGA: Top GPR Award 2021, Penghargaan untuk Institusi Humas Pemerintah
Ditambahkannya lagi, praktisi public relation atau kehumasan sepatutnya memiliki tiga kompetensi yang tidak bisa ditawar. Ketiga kompetensi itu adalah komunikasi atau berpikir strategis, berbicara di depan pubik dan menulis.
"Ketiganya menjadi modal penting dalam membuat narasi yang menjadi roh paling krusial dalam kampanye PR," kata Dudy.
Senada dengan Dudy, Ketua Umum Iprahumas (Ikatan Pranata Humas) Indonesia, Thoriq Ramadani, juga menyoroti masalah kompetensi menulis tersebut. Iprahumas menggagas program 100 penulis agar para Pranata Humas termotivasi untuk menulis.
CEO Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication, Firsan Nova menambahkan, langkah yang harus diambil seorang praktisi PR dalam menulis adalah dengan memadukan fear and hope, yaitu memengaruhi audience dengan mengangkat rasa insecurity atau menawarkan harapan.
Menurut Firsan, hypnowriting bisa dilakukan dengan mendesain narasi atau gambar yang segera direspon oleh croc brain (bagian otak yang bersifat emosional), dan juga memengaruhi neo cortex (bagian otak yang lebih rasional).
"Praktisi komunikasi harus memahami struktur audience-nya apakah lebih banyak croc brain atau neo cortex. Hal ini penting untuk merencanakan strategi komunikasi ke depan,” terang Firsan Nova. (esy/jpnn)
Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesya Mohamad