JARANG ada tiga sahabat yang menjalin hubungan kekeluargaan sejak 1944 bisa bertahan hingga sekarang, 69 tahun kemudian. Tapi, fenomena langka itu benar-benar terjadi di keluarga Anak Agung Ketut Djelantik, Gusti Made Kuna, dan dr Moh. Soebadi. Bahkan hingga cucu-cicit mereka.
I KETUT ARI TEJA, Denpasar
Warung Mina Renon, Denpasar, Bali, Sabtu siang lalu (15/6) begitu meriah. Gelak tawa, tepuk tangan, dan nyanyi-nyanyian tidak henti-henti terdengar dari salah satu ruangan di rumah makan tersebut.
Itulah suasana reuni istimewa yang melibatkan keluarga tiga sahabat: Anak Agung Ketut Djelantik, Gusti Made Kuna, dan Moh. Soebadi. Mereka kemudian menyebut diri sebagai keluarga DKS (Djelantik, Kuna, Soebadi).
Ketiganya bukan orang-orang biasa. Tiga sahabat itu pada zamannya merupakan tokoh-tokoh hebat. Djelantik adalah bupati Karangasem; Kuna seorang hakim di Tabanan; dan Soebadi dokter asal Magelang yang pernah memimpin RSU Tabanan. Ketiganya bertemu di Pulau Dewata.
Tidak heran bila reuni yang dilangsungkan bersamaan dengan pembukaan Festival Kesenian Bali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu tidak hanya diikuti mereka yang sudah sepuh-sepuh. Bahkan, anak-anak kecil pun ikut serta. Mereka adalah cucu dan cicit DKS.
Memang, tiga sahabat DKS itu kini telah beranak-pinak menjadi lebih dari 60 orang. Begitu kuatnya hubungan persahabatan tersebut, mereka lalu bersepakat untuk mengikat diri dalam tali persaudaraan sampai kapan pun. Bahkan meski keluarga Soebadi kemudian pindah ke Surabaya.
"Hubungan keluarga kita ini jangan sampai putus, bahkan sampai anak-cucu kita nanti. Karena itu, reuni seperti ini harus terus diadakan. Kalau sekarang di Bali, besok ganti di Surabaya," ungkap wakil keluarga Djelantik, Prof dr Sudewa, dalam sambutannya.
Keluarga Kuna diwakili Kunti Putri, putri keduanya. Dia berharap jalinan hubungan kekeluargaan DKS terus ditingkatkan. "Sebab, ini amanat orang-orang tua kita dulu. Kita wajib meneruskannya sampai kapan pun," ujarnya.
Sementara itu, keluarga Soebadi diwakili Prof dr Diany Yogiantoro. "Kami pada intinya selalu mengingatkan bahwa kami mempunyai saudara di Bali. Dan hubungan kekeluargaan ini tidak boleh putus," tutur dokter spesialis mata RSUD dr Soetomo Surabaya itu.
Reuni diisi dengan saling tukar suvenir. Keluarga Djelantik memberikan patung garuda. Keluarga Kuna membuat spanduk besar bergambar foto tiga sahabat DKS bersama istri masing-masing. Keluarga Soebadi menyerahkan buku foto kenang-kenangan beberapa kali reuni keluarga DKS.
Ada juga penampilan kreasi seni masing-masing keluarga. Ada yang menampilkan tari modern, tari Bali, duet tabuh gender, sampai nyanyian lagu Rek Ayo Rek, Sik Asik Sik Asik, hingga Cucakrowo yang dipelesetkan. Karena itu, tidak heran bila gelak tawa terdengar berkali-kali mewarnai suasana kangen-kangenan itu.
Apa yang membuat trio DKS bisa menyatukan diri menjadi satu keluarga besar dan bertahan hingga 69 tahun" Menurut drg Musbadiana, 61, kisah persaudaraan DKS itu berawal dari ayahnya, dr Soebadi, yang bertugas di Bali. "Ayah bertugas selama 12 tahun di Bali. Tentu saja, ibu kami, Moesdiati, ikut mendampingi selama ayah bertugas itu," ujar drg Diana, panggilan anak keempat Soebadi kepada Jawa Pos Radar Bali.
Tahun 1944 Soebadi tugas di Nusa Penida. Sempat dinas di RS Wangaya, lalu memimpin RS Tabanan. Pada tahun 1956 keluarga Soebadi meninggalkan Bali karena Soebadi meninggal dunia di usia muda, 39 tahun, terserang penyakit jantung.
Selama bertugas di Bali itulah, Soebadi mengenal dengan dekat Bupati Karangasem (kala itu) Anak Agung Ketut Djelantik. Dua sahabat itu kemudian juga menjalin persahabatan yang kental dengan seorang hakim di Tabanan bernama I Gusti Made Kuna. Mereka lalu mengukuhkan diri dengan penyebutan keluarga DKS (Djelantik, Kuna, Soebadi).
Soebadi memiliki lima anak. Masing-masing adalah Prof dr Musbadiany (Diany Yogiantoro), Musbadianty (Didy), Prof Dr dr Musbadianto (Doddy), Drg Musbadiana (Diana), dan Drg Musbadiono (Bagus). Empat dari lima anak Soebadi adalah dokter. Hanya Didy yang memutuskan untuk berprofesi lain. "Didy sempat kuliah kedokteran namun memilih keluar. Dia kemudian menjadi pegawai swasta, di Astra," ungkap Diana.
Sedangkan Djelantik memiliki sembilan anak. Yakni Sudewa, Sudira, Susila, Subagia, Sudewi, Sukerta, Sutresni, Sudiksa, dan Putra. Sementara itu, Kuna mempunyai lima anak perempuan yang akrab disebut "Panca Pendawi". Yaitu Kuntiadi, Kunti Putri, Kuntijaya, Kuntioka, dan Kuntisri.
"Sekarang anak-anak DKS punya anak-anak yang sudah berkeluarga. Maka, kalau diurut yang sudah masuk cicit," terang Diana.
Cerita kedekatan mereka dalam keluarga DKS, misalnya, terjadi ketika keluarga Soebadi harus pindah ke Surabaya. Salah seorang anaknya, Diany, dititipkan di keluarga Kuna untuk menuntaskan sekolah di Bali.
Begitu juga bila ada keluarga Djelantik atau Kuna ke Surabaya, mereka tinggal juga di rumah Soebadi. "Kami sudah seperti saudara sekandung. Keluarga Djelantik dan Kuna menyebut kami sebagai anak-anak Surabaya. Sedangkan kami menyebut mereka sebagai bapak dan ibu Bali," ungkap Diana.
Kedekatan mereka juga sangat terasa ketika salah satu keluarga menggelar upacara. Saat upacara ngaben, keluarga Soebadi diposisikan sebagai keluarga dekat Djelantik atau Kuna. Mereka diperkenalkan kepada para tamu sebagai keluarga sendiri.
"Jadi, kami benar-benar menganggap mereka seperti saudara sendiri," tegas Diana.
Dari hubungan persaudaraan yang sangat akrab itulah, keluarga DKS bersepakat untuk menggelar pertemuan rutin secara bersama-sama (reuni). Dimulai tahun 2002 di rumah keluarga dr Sadewa (putra sulung Djelantik). Lalu diteruskan di Taman Ujung pada 2004, di Bendega (2006), di Bedugul (2009), dan terakhir di Warung Mina Renon (15/6/2013).
"Menurut rencana, reuni berikutnya di Surabaya. Tapi, waktunya belum ditentukan," tambah Diana.
Diana menambahkan, lantaran hubungan yang dekat antarkeluarga DKS tersebut, sampai-sampai terjadi pernikahan antara anak keluarga Djelantik dengan anak keluarga Kuna. Sudira, anak Djelantik menikah dengan Kuntiadi, anak Kuna.
"Ceritanya, dulu, Sudira tinggal di rumah Kuna saat sekolah. Dari situlah Sudira tertambat hatinya pada putrid Pak Kuna, Kuntiadi," ujarnya.
Diana berharap, suatu saat nanti, cucu atau cicit keluarga Soebadi bisa menjalin tali pernikahan dengan cucu atau cicit keluarga Djelantik atau Kuna.
"Kami sih inginnya ada yang kecantol nanti. Dari keluarga kami dengan keluarga Djelantik atau keluarga Kuna. He he he," sambungnya.
Tak hanya itu, ada juga cerita unik di antara keluarga DKS. Ketika Soebadi menginginkan anak cowok setelah punya dua anak cewek, sedangkan Djelantik menginginkan anak cewek setelah dikaruniai lima anak cowok.
Akhirnya kedua keluarga itu bersepakat untuk tukar stagen hamil. Stagen Moesdiati "istri Soebadi-- ditukar dengan stagen istri Djelantik. Di luar dugaan hasilnya manjur. Keluarga Soebadi akhirnya memiliki anak cowok, Doddy, dan keluarga Djelantik mendapatkan seorang anak cewek, Sudewi.
"Akhirnya Doddy kerap disebut anak stagennya Bu Djelantik," tandas Diana. (*/ari)
I KETUT ARI TEJA, Denpasar
Warung Mina Renon, Denpasar, Bali, Sabtu siang lalu (15/6) begitu meriah. Gelak tawa, tepuk tangan, dan nyanyi-nyanyian tidak henti-henti terdengar dari salah satu ruangan di rumah makan tersebut.
Itulah suasana reuni istimewa yang melibatkan keluarga tiga sahabat: Anak Agung Ketut Djelantik, Gusti Made Kuna, dan Moh. Soebadi. Mereka kemudian menyebut diri sebagai keluarga DKS (Djelantik, Kuna, Soebadi).
Ketiganya bukan orang-orang biasa. Tiga sahabat itu pada zamannya merupakan tokoh-tokoh hebat. Djelantik adalah bupati Karangasem; Kuna seorang hakim di Tabanan; dan Soebadi dokter asal Magelang yang pernah memimpin RSU Tabanan. Ketiganya bertemu di Pulau Dewata.
Tidak heran bila reuni yang dilangsungkan bersamaan dengan pembukaan Festival Kesenian Bali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu tidak hanya diikuti mereka yang sudah sepuh-sepuh. Bahkan, anak-anak kecil pun ikut serta. Mereka adalah cucu dan cicit DKS.
Memang, tiga sahabat DKS itu kini telah beranak-pinak menjadi lebih dari 60 orang. Begitu kuatnya hubungan persahabatan tersebut, mereka lalu bersepakat untuk mengikat diri dalam tali persaudaraan sampai kapan pun. Bahkan meski keluarga Soebadi kemudian pindah ke Surabaya.
"Hubungan keluarga kita ini jangan sampai putus, bahkan sampai anak-cucu kita nanti. Karena itu, reuni seperti ini harus terus diadakan. Kalau sekarang di Bali, besok ganti di Surabaya," ungkap wakil keluarga Djelantik, Prof dr Sudewa, dalam sambutannya.
Keluarga Kuna diwakili Kunti Putri, putri keduanya. Dia berharap jalinan hubungan kekeluargaan DKS terus ditingkatkan. "Sebab, ini amanat orang-orang tua kita dulu. Kita wajib meneruskannya sampai kapan pun," ujarnya.
Sementara itu, keluarga Soebadi diwakili Prof dr Diany Yogiantoro. "Kami pada intinya selalu mengingatkan bahwa kami mempunyai saudara di Bali. Dan hubungan kekeluargaan ini tidak boleh putus," tutur dokter spesialis mata RSUD dr Soetomo Surabaya itu.
Reuni diisi dengan saling tukar suvenir. Keluarga Djelantik memberikan patung garuda. Keluarga Kuna membuat spanduk besar bergambar foto tiga sahabat DKS bersama istri masing-masing. Keluarga Soebadi menyerahkan buku foto kenang-kenangan beberapa kali reuni keluarga DKS.
Ada juga penampilan kreasi seni masing-masing keluarga. Ada yang menampilkan tari modern, tari Bali, duet tabuh gender, sampai nyanyian lagu Rek Ayo Rek, Sik Asik Sik Asik, hingga Cucakrowo yang dipelesetkan. Karena itu, tidak heran bila gelak tawa terdengar berkali-kali mewarnai suasana kangen-kangenan itu.
Apa yang membuat trio DKS bisa menyatukan diri menjadi satu keluarga besar dan bertahan hingga 69 tahun" Menurut drg Musbadiana, 61, kisah persaudaraan DKS itu berawal dari ayahnya, dr Soebadi, yang bertugas di Bali. "Ayah bertugas selama 12 tahun di Bali. Tentu saja, ibu kami, Moesdiati, ikut mendampingi selama ayah bertugas itu," ujar drg Diana, panggilan anak keempat Soebadi kepada Jawa Pos Radar Bali.
Tahun 1944 Soebadi tugas di Nusa Penida. Sempat dinas di RS Wangaya, lalu memimpin RS Tabanan. Pada tahun 1956 keluarga Soebadi meninggalkan Bali karena Soebadi meninggal dunia di usia muda, 39 tahun, terserang penyakit jantung.
Selama bertugas di Bali itulah, Soebadi mengenal dengan dekat Bupati Karangasem (kala itu) Anak Agung Ketut Djelantik. Dua sahabat itu kemudian juga menjalin persahabatan yang kental dengan seorang hakim di Tabanan bernama I Gusti Made Kuna. Mereka lalu mengukuhkan diri dengan penyebutan keluarga DKS (Djelantik, Kuna, Soebadi).
Soebadi memiliki lima anak. Masing-masing adalah Prof dr Musbadiany (Diany Yogiantoro), Musbadianty (Didy), Prof Dr dr Musbadianto (Doddy), Drg Musbadiana (Diana), dan Drg Musbadiono (Bagus). Empat dari lima anak Soebadi adalah dokter. Hanya Didy yang memutuskan untuk berprofesi lain. "Didy sempat kuliah kedokteran namun memilih keluar. Dia kemudian menjadi pegawai swasta, di Astra," ungkap Diana.
Sedangkan Djelantik memiliki sembilan anak. Yakni Sudewa, Sudira, Susila, Subagia, Sudewi, Sukerta, Sutresni, Sudiksa, dan Putra. Sementara itu, Kuna mempunyai lima anak perempuan yang akrab disebut "Panca Pendawi". Yaitu Kuntiadi, Kunti Putri, Kuntijaya, Kuntioka, dan Kuntisri.
"Sekarang anak-anak DKS punya anak-anak yang sudah berkeluarga. Maka, kalau diurut yang sudah masuk cicit," terang Diana.
Cerita kedekatan mereka dalam keluarga DKS, misalnya, terjadi ketika keluarga Soebadi harus pindah ke Surabaya. Salah seorang anaknya, Diany, dititipkan di keluarga Kuna untuk menuntaskan sekolah di Bali.
Begitu juga bila ada keluarga Djelantik atau Kuna ke Surabaya, mereka tinggal juga di rumah Soebadi. "Kami sudah seperti saudara sekandung. Keluarga Djelantik dan Kuna menyebut kami sebagai anak-anak Surabaya. Sedangkan kami menyebut mereka sebagai bapak dan ibu Bali," ungkap Diana.
Kedekatan mereka juga sangat terasa ketika salah satu keluarga menggelar upacara. Saat upacara ngaben, keluarga Soebadi diposisikan sebagai keluarga dekat Djelantik atau Kuna. Mereka diperkenalkan kepada para tamu sebagai keluarga sendiri.
"Jadi, kami benar-benar menganggap mereka seperti saudara sendiri," tegas Diana.
Dari hubungan persaudaraan yang sangat akrab itulah, keluarga DKS bersepakat untuk menggelar pertemuan rutin secara bersama-sama (reuni). Dimulai tahun 2002 di rumah keluarga dr Sadewa (putra sulung Djelantik). Lalu diteruskan di Taman Ujung pada 2004, di Bendega (2006), di Bedugul (2009), dan terakhir di Warung Mina Renon (15/6/2013).
"Menurut rencana, reuni berikutnya di Surabaya. Tapi, waktunya belum ditentukan," tambah Diana.
Diana menambahkan, lantaran hubungan yang dekat antarkeluarga DKS tersebut, sampai-sampai terjadi pernikahan antara anak keluarga Djelantik dengan anak keluarga Kuna. Sudira, anak Djelantik menikah dengan Kuntiadi, anak Kuna.
"Ceritanya, dulu, Sudira tinggal di rumah Kuna saat sekolah. Dari situlah Sudira tertambat hatinya pada putrid Pak Kuna, Kuntiadi," ujarnya.
Diana berharap, suatu saat nanti, cucu atau cicit keluarga Soebadi bisa menjalin tali pernikahan dengan cucu atau cicit keluarga Djelantik atau Kuna.
"Kami sih inginnya ada yang kecantol nanti. Dari keluarga kami dengan keluarga Djelantik atau keluarga Kuna. He he he," sambungnya.
Tak hanya itu, ada juga cerita unik di antara keluarga DKS. Ketika Soebadi menginginkan anak cowok setelah punya dua anak cewek, sedangkan Djelantik menginginkan anak cewek setelah dikaruniai lima anak cowok.
Akhirnya kedua keluarga itu bersepakat untuk tukar stagen hamil. Stagen Moesdiati "istri Soebadi-- ditukar dengan stagen istri Djelantik. Di luar dugaan hasilnya manjur. Keluarga Soebadi akhirnya memiliki anak cowok, Doddy, dan keluarga Djelantik mendapatkan seorang anak cewek, Sudewi.
"Akhirnya Doddy kerap disebut anak stagennya Bu Djelantik," tandas Diana. (*/ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Anak Menyebarkan Islam, Cucu Konsisten Berdakwah
Redaktur : Tim Redaksi