Tim Naas Indonesia

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sabtu, 07 Mei 2022 – 18:49 WIB
Laga perdana Grup A Sepak Bola SEA Games 2021 di Stadion Viet Tri, Phu Tho, Vietnam, Jumat (6/5/2022). Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nym.

jpnn.com - Dalam sepak bola batas antara pahlawan dan bajingan beda-beda tipis alias beti. 

Semua pasti sudah paham hal itu. 

BACA JUGA: Asnawi Mangkualam Dikabarkan Cedera, Begini Penjelasan Dokter Timnas

Hari ini seseorang bisa disanjung dan dipuja bak dewa, detik berikutnya dia bisa menjadi sasaran caci maki dan sumpah serapah.

Shin Tae Yong pasti sudah mengetahui hal itu. 

BACA JUGA: Waduh! Ada Mata-mata Pada Duel Timnas U23 Indonesia vs Vietnam, Ini Sosoknya

Awal tahun ini, dia dipuja-puja karena berhasil membawa timnas Indonesia maju babak final Piala AFF yang memperebutkan lambang supremasi sepak bola Asia Tenggara. 

Meski kalah telak dari Thailand dengan agregat 2-6, tetapi publik Indonesia berbunga-bunga. 

BACA JUGA: Vietnam Lumpuhkan Timnas U-23 Indonesia, Park Hang Seo Bongkar Borok Garuda Muda

Katanya timnas hasil seleksi dan racikan  STY punya masa depan cerah, karena terdiri atas pemain-pemain muda yang penuh bakat.

Empat bulan berikutnya, puja-puji berubah jadi caci maki. 

Dalam pertandingan multi-ajang SEA Games Jumat (6/5) di Vietnam, Indonesia dipermalukan 3 gol tanpa balas. 

Bukan hanya 3 gol itu yang bikin publik marah, tetapi permainan yang buruk yang membuat pecinta sepak bola geregetan.

Meskipun baru bermain satu kali tapi kekalahan ini seperti langit runtuh yang mengawali hari kiamat. 

Masih ada tiga pertandingan lagi di fase grup yang memungkinkan Indonesia lolos ke babak berikutnya. 

Dua lawan Indonesia relatif lebih ringan, yaitu Timor Leste dan Filipina. 

Satu tim lagi yang harus dihadapi Indonesia adalah Myanmar. 

Cukup alot, tetapi seharusnya Indonesia bisa mengatasi kalau performa tim berada pada level terbaik.

Jagat sepak bola sedang gempar karena pertandingan dramatis pada babak semifinal Liga Champions Eropa, pekan lalu. 

Dua pertandingan semifinal sama-sama menyajikan pertandingan yang membuat suporter deg-degan menahan napas sampai detik terakhir.

Semifinal pertama Liverpool berebut tiket final dengan Villareal, klub kota kecil dari Spanyol dengan reputasi besar dan dikenal sebagai spesialis juara Liga Eropa yang gengsinya satu level di bawah Liga Champions. 

Villareal menjadi tim pembunuh raksasa karena di perempat final berhasil menyingkirkan Bayern Muenchen yang secara teknis jauh lebih digdaya.

Semifinal leg pertama berlangsung di kandang Liverpool Stadion Anfield. 

Liverpool yang sedang menyala-nyala di level domestik dan level Eropa diunggulkan sebagai favorit panas. 

Dengan mudah Liverpool menang 2 gol tanpa balas.

Pada pertandingan leg kedua di kandang Villareal pun Liverpool tetap menjadi favorit. 

Modal 2 gol di kantong bisa menjadi jaminan untuk lolos ke babak final. 

Akan tetapi, di lapangan ceritanya menjadi lain. 

Villareal membuktikan diri sebagai tim pembunuh raksasa yang sebenarnya. 

Pada babak pertama, Liverpool dihajar dua gol dan skor agregat menjadi seri 2-2.

Semua menahan napas menunggu drama babak kedua. 

Dan, drama benar-benar terjadi. 

Kali ini, pemain drama adalah para pemain Liverpool yang melakukan comeback dramatis di babak kedua. 

Liverpool menggila dan mencetak 3 gol sehingga menang dengan agregat 5-2. 

Dari posisi terjepit seperti telur di ujung tanduk, Liverpool bisa bangkit membalik keadaan dan memenangkan tiket ke final.

Satu semifinal lagi diperebutkan antara Manchester City melawan Real Madrid. 

Machester City belum pernah menjadi juara Liga Champions dan sangat berambisi mememenangkannya untuk membuktikan supremasinya di Eropa. 

Dengan pelatih hebat seperti Pep Guardiola, Manchester City boleh bercita-cita setinggi langit tetapi akhirnya harus jatuh ke tumit.

Real Madrid adalah juara sejati Eropa, sarat dengan pengamalam dan menjadi satu-satunya tim yang menjadi juara Liga Champions back to back 3 kali berturut-turut. 

Dengan sejarah mentereng seperti itu, Real dengan gagah melangkah ke stadion Ettihad kandang City pada pertandingan leg pertama.

Pep Guardiola ialah suhu sepak bola menyerang, terbuka, dan indah. 

Pelatih Real, Carlo Ancelloti, tidak pernah gentar menghadapi siapa pun. 

Permainan terbuka dan menyerang ala Pep, dia layani dengan permainan terukur di pertahanan dan terbuka pada penyerangan. 

Lima  gol tercipta pada pertandingan itu. 

Tiga milik City dan 2 milik Real.

Andai saja aturan gol tandang masih diberlakukan, Pep pasti jantungan dan Don Corleto akan berkipas-kipas di atas angin. 

Akan tetapi, aturan baru mengharuskan sebuah tim harus menang dengan selisih gol, dan berapapun jumlah gol tandang yang dicetak tidak ada artinya.

Inilah untuk kali pertama aturan baru gol tandang diterapkan pada kompetisi Champions, dan karenanya pertandingan menjadi jauh lebih menegangkan.

City hanya perlu bermain seri untuk bisa lolos ke final, sementara Real harus menang dengan selisih 2 gol.

Sebuah perjuangan yang sangat berat. Akan tetapi, tidak bagi Real. 

Babak pertama tidak ada gol. 

City hanya 45 menit lagi menuju final. 

Babak kedua sudah berlangsung separuh jalan. 

City justru mendapat tambahan satu gol pada menit ke-73. 

City makin dekat ke final, dan Real harus siap-siap terdepak.

Pertandingan sudah sampai di pengujung di  menit ke-90. Keajaiban terjadi. 

Pemain pengganti Rodrygo mencetak gol di menit ke-90 dan disusul satu gol lagi di perpanjangan waktu 90+1. 

City lemas dan Real mengganas. 

Pertandingan diperpanjang 2 x 15 menit, dan City menangis ketika pada menit terakhir terkena hukuman penalti. 

Karim Benzema menjadi algojo yang dengan dingin memotong leher City dengan tendangan menyusur tanah yang salah diantisipasi oleh kiper City.

Keajaiban terjadi dalam sepak bola. 

Liverpool menghasilkan keajaiban, dan Real melahirkan keajaiban yang lebih ajaib lagi. 

Keduanya akan bertemu di final, dan publik akan melihat keajaiban apa lagi yang bakal tersaji di pertandingan puncak di Stade de Franc, Paris 28 Mei nanti.

Keajaiban itulah yang juga diharapkan akan terjadi pada timnas Indonesia dalam pertandingan melawan Vietnam. 

Mengejar 3 gol yang bersarang di babak kedua terlalu berat bagi Indonesia. 

Keajaiban tidak turun dari langit. 

Dia lahir dari proses panjang, latihan dan disiplin yang keras, dan atmosfer kompetisi yang profesional.

Indonesia masih jauh dari mimpi itu, tetapi para suporter mengharapkan keajaiban itu, meskipun yang didapat kemudian adalah kekecewaan. 

Umpatan dan caci maki bertebaran di jagat maya. 

Tagar Timnas Day menjadi trending topik. 

Isinya lebih banyak kecaman terhadap STY. 

Ada yang menganggapnya salah strategi, ada yang mengritik pemilihan pemain yang tidak tepat, ada yang mempersoalkan stamina pemain yang kedodoran sehingga tidak cukup bermain dua babak. 

Netizen selalu lebih jago dibanding pelatih paling hebat di mana pun. 

Orang-orang di negara lain dikenal dengan kakinya yang kuat dan karenanya bisa lari kencang. 

Di Indonesia orang-orang dikenal dengan rahangnya yang kuat sehingga pintar omong besar.

Muncul sindiran timnas yang diplesetkan menjadi ‘’tim naas’’ alias tim sial. 

Disebut sial karena sudah puluhan tahun puasa gelar. 

Di level Asia Tenggara, gelar terakhir yang diraih Indonesia adalah medali emas di Manila 1991. 

Sejak itu tidak ada satu gelar level senior pun yang pernah dimenangkan Indonesia.

Sepak bola Indonesia--yang sempat menjadi kekuatan utama di Asia Tenggara--mengalami kemerosotan yang memprihatinkan dalam 30 tahun terakhir. 

Berbagai upaya dan formula sudah dicoba, hasilnya nihil. 

Frutrasi dan gelap mata akhirnya jalan pintas dan instan ditempuh dengan melakukan naturalisasi pemain asing sebanyak-banyaknya.

Tata kelola sepak bola nasional masih sangat karut marut. 

Kualitas kompetisi masih harus banyak dibenahi. 

Berbagai skandal yang melibatkan pengaturan skor dan kecurangan dalam mengatur pertandingan masih menjadi masalah akut.

Penunjukan STY sebagai arsitek timnas adalah ikhtiar yang butuh kesabaran untuk memperoleh hasil. 

Sudah banyak yang tidak sabar. 

Seorang petinggi PSSI mengatakan tidak peduli terhadap proses, yang penting adalah hasil.

Petinggi itu mengharapkan jalan pintas. 

PSSI pun ingin menempuh jalan pintas. 

Operasi naturalisasi dilakukan dengan mencari pemain-pemain asing yang mau menjadi warga negara Indonesia. 

Sudah puluhan pemain asing dinaturalisasi, tetapi hasilnya belum kelihatan.

Kali ini, proyek naturalisasi dijalankan lagi sebagai cara instan meraih prestasi. 

Fakta menunjukkan tidak ada satu pun negara di dunia ini yang sukses mengangkat prestasi timnas melalui naturalisasi. 

Akan tetapi, Indonesia tidak peduli dengan kenyataan historis itu. 

Naturalisasi menjadi pilihan untuk memperoleh gelar secara intan. 

Cara instan seperti itu tidak akan menghasilkan timnas yang berkualitas. 

Yang muncul adalah ‘’tim naas’’ yang selalu bernasib sial dari turnamen ke turnamen. (*)


Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler