Titi Honorer K2: Kewenangan Penggunaan BOS di Kepsek, tetapi Kadis Intervensi

Selasa, 28 April 2020 – 14:20 WIB
Ketum Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I) Titi Purwaningsih di Komisi II DPR, Jakarta, Rabu (15/1). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Petunjuk teknis (juknis) terbaru tentang penggunaan dana BOS, berkaitan dengan situasi pandemi COVID-19, dinilai tidak akan bisa diterapkan secara maksimal.

Pasalnya, di lapangan banyak kepala sekolah (kepsek) salah menafsirkan juknis BOS terbaru yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permendikbud Nomor 8 Tahun 2020 tentang Juknis BOS Reguler.

BACA JUGA: Perempuan di Negara Ini Menghadapi Kengerian Ganda, 3 Bulan Sudah 1.000 Dibunuh

"Kami pesimistis Juknis BOS yang baru akan direalisasikan. Apalagi Juknis baru ini disikapi berbeda oleh Kepsek. Ditambah lagi ada edaran kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan masing-masing," kata Ketum Perkumpulan Hononer K2 Indonesia (PHK2I) Titi Purwaningsih kepada JPNN.com, Selasa (28/4).

Untuk biaya pulsa, ungkap Titi, banyak guru honorer K2 maupun non-K2 yang tidak akan mendapatkan. Alasannya uang pulsa hanya buat peserta didik, tidak untuk guru.

BACA JUGA: Peringatan Penting dari WHO, Ya Ampun, Semoga Seluruh Manusia di Dunia Kuat dan Sabar

Hal inilah yang membuat guru honorer kecewa karena meski kewenangan ada di kepsek tetapi Kadisdikbud masih juga ikut campur.

Belum lagi soal honor bagi guru honorer. Menurut Titi, para kepsek beranggapan penggunaan dana BOS maksimal 50 persen untuk gaji guru honorer sudah dibatalkan.

BACA JUGA: Inul Daratista: Saya Akan Jebloskan ke Penjara

Dengan demikian mereka bisa sesuka hati menerapkan besaran gaji guru honorer.

"Saya dapat informasi seperti itu dari teman-teman guru honorer K2. Kita lihat saja nanti realisasinya karena mungkin pemahaman kepsek patokannya adalah pembatalan yang 50 persen," tuturnya.

"Awal Mei kan tinggal beberapa hari lagi, kita (para honorer K2, red) lihat saja nanti karena saya pesimistis itu bisa direalisasi dengan tidak ditegaskan dalam aturan. Apalagi Permendikbudnya ambigu," tandasnya.

Mestinya, kata Titi, dijelaskn dalam aturan minimal 50 persen buat guru honorer, baru ada harapan bisa tersenyum: Bukan malah pembatalan 50 persen.

"Intinya saya dan kawan-kawan tidak yakin akan dijalankan dengan aturan yang ambigu. Tidak bisa dijadikan dasar hukum juga untuk menindak karena semua berdasarkan kebijakan kepsek," tegasnya. (esy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler