JAKARTA - Pascamoratorium penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia, jumlah TKI ilegal justru semakin membeludak. Sampai-sampai, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) kewalahan mengatasi TKI ilegal lantaran minimnya anggaran untuk melakukan sweeping di luar negeri.
"Jumlah TKI bermasalah pascamoratorium penempatan TKI meningkat. Pemerintah kesulitan menekan jumlahnya, karena jumlah anggaran untuk melakukan razia dan pemulangan TKI sangat minim," ungkap Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI, Jakarta, Selasa (5/6).
Jumhur menyebutkan, dana untuk sweeping dan pemulangan TKI bermasalah hanya mencapai Rp 5 miliar per tahun yang diperuntukkan bagi sekitar 1700 TKI. Padahal, lanjut Jumhur, jumlah TKI yang bermasah cukup banyak dan mancapai ratusan ribu orang.
"Maka itu jangan heran kalau kita melakukan sweeping paling hanya selama empat bulan saja. Setelah itu kita tidak ada sweeping lagi, karena tidak ada anggarannya," tukasnya.
Oleh karena itu, Jumhur meminta adanya kenaikan anggaran khususnya untuk sweeping dan pemulangan TKI. Dana yang ada saat ini, lanjut Jumhur, sangat terbatas dan tidak cukup untuk menuntaskan masalah TKI ilegal.
"Untuk di Malaysia saja, jumlah TKI ilegal yang masuk pascamoratorium jumlahnya mencapai 15 ribu orang. Belum ditambah jumlah TKI ilegal yang ada di negara - negara yang masuk dalam daftar moratorium lainnya seperti Arab Saudi. Maka itu, ini yang harus menjadi perhatian bagi semua pihak," imbuhnya.
Dipaparkannya pula, pemerintah memang memiliki dana Rp 1 triliun yang masuk dalam anggaran di Kementrian Luar Negeri untuk perlindungan WNI termasuk TKI. Dana tersebut digunakan untuk jangka waktu lima tahun. Sehingga dalam satu tahun, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada para TKI yang bermasalah di luar negeri hanya Rp 200 miliar.
"Perlindungan WNI ataupun TKI di luar negeri, sekarang ini memang di bawah kewenangan Kemenlu. Maka itu, seluruh anggaran mengenai perlindungan TKI berada di Kemenlu," terangnya.
Dirincikannya pula, anggaran perlindungan TKI tersebut digunakan untuk advokasi, penampungan WNI, serta penanganan berbagai persoalan termasuk antisipasi perubahan situasi politik di negara-negara yang menjadi lokasi penempatan TKI. "Maka itu, penanganan perlindungan WNI ataupun TKI, kewenangan terbesar ada di tangan Kemenlu," imbuhnya.
Di tempat yang sama anggota Komisi IX DPR RI, Rieke Diah Pitaloka mengatakan, saat ini yang perlu ditingkatkan adalah integrasi antara kementerian dan lembaga terkait. Selain itu harus ada prioritas dalam pengalokasian anggaran untuk perlindungan WNI terutama untuk negara-negara yang banyak dihuni TKI.
"Anggaran ini harus diorientasikan untuk negara-negara tujuan penempatan TKI terbanyak. Jadi setiap negara tidak bisa dipukul rata alokasi anggarannya," terang Rieke.
Tak hanya itu, Politisi PDIP ini juga mendesak pemerintah agar menambah alokasi anggaran untuk perlindungan di negara-negara dengan angka TKI bermasalah yang tinggi. "Bahkan kalau perlu, tidak hanya anggarannya yang ditambah. Akan tetapi juga menambah jumlah atase di negara penempatan TKI. Contoh saja di Malaysia. Jumlah TKI kita di sana ada 3,5 juta orang. Tapi, Atasenya hanya ada satu. Ini timpang sekali," cetusnya. (Cha/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Bulan Kemlu Pulangkan 495 TKI dari Arab
Redaktur : Tim Redaksi