jpnn.com, JAKARTA - Aktivis hak asasi manusia (HAM) Todung Mulya Lubis menyoroti terjadinya miscarriage of justice (peradilan sesat) dalam penanganan perkara korupsi atas nama Mardani H Maming, mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan Periode 2010-2015 dan 2016-2018.
Menurut Todung, penjatuhan pidana terhadap Maming merupakan hal yang dipaksakan karena tidak didasarkan pada alat bukti yang memadai.
BACA JUGA: Setelah UNPAD, Akademisi Antikorupsi UII Juga Meminta Segera Bebaskan Mardani H Maming
“Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan. Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya,” ujar Todung dalam keterangan tertulis pada Jumat (25/10).
Todung yang juga Pendiri ICW itu menilai sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti.
BACA JUGA: 3 Guru Besar Hukum Minta Mardani Maming Segera Dibebaskan, Ini Alasannya
Todung juga menjelaskan hakim memaksakan konstruksi hukum dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
“Pemaksaan konstruksi hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah,” ujar Todung.
BACA JUGA: Akademisi Fakultas Hukum Unpad Desak Pembebasan Mardani Maming
Todung melanjutkan dengan menyatakan keuntungan dari hasil usaha sama dengan pemberian hadiah, maka hakim sebenarnya sedang melakukan analogi.
Padahal, analogi merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas—yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana.
“Korupsi memang masalah serius bagi bangsa ini. Namun, tidak berarti penanganannya bisa dilakukan secara serampangan. Ketika ada miscarriage of justice dalam penanganan perkara—termasuk perkara korupsi—maka seharusnya terdakwa dinyatakan bebas. Untuk itu, langkah korektif menjadi suatu keniscayaan,” terang Todung yang juga adalah aktivis antikorupsi.
Todung mengatakan Indonesia memang tidak mengenal langkah retrial seperti yang ada di Inggris.
Namun, keberadaan lembaga peninjauan kembali bisa menjadi opsi untuk melakukan koreksi ini.
Secara spesifik dalam perkara Maming, Todung berharap agar Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali bisa benar-benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi, dan mengoreksinya.
“Untuk itu, saya akan menyiapkan sebuah amicus curiae berkenaan dengan perkara ini untuk saya kirimkan kepada Mahkamah Agung di pekan depan,” ujar Todung.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari