JAKARTA - Sistem kepartaian di Indonesia saat ini dianggap belum bisa memberi peluang yang sama bagi kader-kadernya untuk bisa tampil sebagai calon presiden (capres). Pasalnya, calon yang diusung oleh arus bawah belum tentu diberi kesempatan oleh pengurus partai di tingkat pusat lantaran kuatnya budaya oligarki.
Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mulyana W Kusumah, menilai sistem yang diterapkan elit partai saat ini justru menutup peluang calon potensial yang punya dukungan di akar rumput. "Seperti calon yang berasal dari tokoh daerah atau gubernur yang berprestasi di daerahnya, peluangnya untuk berkompetisi tertutup," kata Mulyana dalam diskusi bertajuk "Penentuan Capres dan Cawapres dan Demokrasi Internal Partai" di Jakarta, Kamis (12/1).
Mulyana menambahkan, praktik yang jamak di Indonesia justru menunjukkan proses seleksi capres dilakukan secara oligarki. Bahkan dalam dua kali Pilpres, tak ada upaya untuk menerapkan budaya demokrasi di internal partai (primary election) melalui UU Pilpres.
Kaenanya Mulyana menganggap sistem konvensi yang diterapkan Golkar pada saat penjaringan capres pada Pilpres 2004, merupakan salah satu cara yang membuka peluang sama bagi kader partai. Direktur Eksekutif Seven Strategic Studies itu memaparkan, konvensi capres Golkar 2004 melibatkan ribuan peserta dari tingkat pusat hingga daerah.
Selain itu, konvensi capres Golkar juga melibatkan pengurus partai dan organisasi masyarakat (ormas) di bawah partai berlambang pohon beringin itu. "Tidak salah jika ada pemikiran untuk melihat kembali yang dilakukan Golkar itu pada 2004," ulasnya.
Pria yang membidani kelahiran Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) di era Orde Baru itu membandingkan konvensi Partai Golkar dengan beberapa partai di negara-negara dengan praktik demokrasi yang sudah mapan. Demokrasi, katanya, benar-benar diaplikasikan bukan sekedar pada prosedur tetapi juga substansi dengan mendorong primary election.
"Padahal primary election bisa meminimalisisai kepemimpinan yang dipersonalisasikan. Sehingga kehidupan yang partisipatif tumbuh di internal partai," cetusnya.
Sedangkan pengamat politik sekaligus sfat pengajar di FISIP UI, Hairansyah, menilai kaderisasi dan proses seleksi capres yang demokratis nyaris tak berjalan di hampir semua parpol. Menurutnya, partai di Indonesia masih tergantung pada figur sehingga kondisi di internal partai menjadi tak sehat.
"Di Indonesia, tak satu pun partai yang membesarkan individu. Justru individu yang membesarkan partai," kata dia.
Karenanya, lanjiut Hairansyah, primary election perlu digesa. Ditegaskannya, partai memiliki fungsi rekrutmen. "Partai harus menjaring orang dalam dan luar. Tapi rekrutmen yang baik itu yang belum jalan di partai-partai di Indonesia. Jika regenerasi jalan, maka tokoh baru akan terus muncul," uasnya,
Sedangkan pakar ilmu tata negara, Irman Putrasidin mengatakan, semestinya partai tak boleh menutup pintu bagi warga negara yang bukan kader. Parpol sebaiknya memberi peluang kepada non kader untuk bisa berkompetisi dalam meraih tiket caprs.
Terlebih lagi, konstitusi RI memberi posisi sama kepada warga negaranya. "Misalnya, meski saya bukan anggota partai, bukan berarti saya tak punya ruang. Parpol harus membuka ruang itu bagi seluruh warga negara," tegasnya.(ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Merasa Kecolongan, Marzuki Minta Sekjen DPR Buka-Bukaan
Redaktur : Tim Redaksi