Tokoh NU: Rakyat Dipaksa Memilih dengan Money Politic

Sabtu, 29 Juni 2013 – 19:13 WIB
JAKARTA - Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) Ali Masykur Musa menganggap konsep “negara” khususnya pasca Reformasi dan amandemen UUD 1945 telah melenceng jauh dari pengertian tentang negara yang digagas oleh para pendiri bangsa.

Menurutnya, hal yang paling melenceng adalah hilangnya tanggung jawab subtantif negara dalam mengurus rakyatnya. Kata dia, meski pemilihan umum sekarang sudah dilaksanakan secara langsung, masa jabatan kekuasaan sudah dibatasi, laporan keuangan lembaga-lembaga negara semakin ketat, serta sudah digalakkannya reformasi birokrasi tak membuat kondisi bangsa ini kian membaik.

"Yang ada hanya tanggung jawab secara prosedural dalam segenap tata krama formalitas politik kekuasaan. Jadi kita ini berengara hanya formalitas saja dan tidak pada subtansi” terangnya dalam sebuah diskusi di Jakarta beberapa waktu lalu.

Di hadapan ratusan alumni PMII, Ali Masykur menjelaskan bahwa sejak orde baru sampai sekarang, konsep kenegaraan yang dikembangkan di Indonesia tidak memiliki akar sejarah yang kuat dengan tradisi dan sistem ketatanegaraan yang dikembangkan oleh para pendiri bangsa. Ia mencontohkan, pemilihan kepala daerah langsung yang justru telah melahirkan pemimpin lokal yang tidak amanah dan hanya menjermuskan masyarakat pada pragmatisme politik yang akut.

“Kalau kita baca kitab Babad Tani Jawi, atau kitab Ahkamul Sultoniah, pemimpin itu benar-benar lahir dari masyarakat, dipilih karena memang dianggap mumpuni. Rakyat yang memintanya. Berbanding terbalik dengan sekarang. Rakyat dipaksa memilih dengan money politik” jelasnya.

Konsep ketatanegaraan lainnya yang dianggap melenceng menurut Ali Masykur adalah pembangunan ekonomi yang lebih berorientasi ke pasar bukan ke kemandirian masyarakat. "Sekarang, komoditas pangan kita yang strategis mayoritas impor, padahal kita ini negara agraris dan maritim” sesalnya.

Kenyataan itu, menurut Ali Masykur disebabkan karena khazanah pengetahuan ketetanegaraan di kampus-kampus, nyaris tidak ada yang bersumber pada referensi ketatanegaraan nusantara.

Dia mencontohkan mahasiswa ilmu pemerintahan tidak pernah mendapatkan kuliah tentang Negara Kartagama yang di dalamnya menjelaskan bagaimana Majapahit mengelola ratusan ribu birokrasi di tingkat pusat dan daerah untuk menjaga agar sistem pemerintahan berjalan secara efektif.  

Selain itu para mahasiswa ekonomi yang tidak pernah diajarkan bagaimana Kasultanan Pasai, Demak, Gowa, Ternate dan lain-lain menggerakkan ekonomi maritim sebagai basis utama pendapatan kerajaan dan mendikte perdagangan internasional melalui kebijakan tata niaganya yang sangat berdaulat.

“Selama rujukan utama ketatanegaraan kita ke barat, selama itu pula kita tidak akan pernah berhasil membangun sistem ketatanegaraan yang kuat secara subtantif,” tegasnya. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Johnny: Apakah ICW Punya Hak Untuk Menilai Seseorang?

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler