Tolak Madrasah Diniyah jadi Ekskul sejajar Futsal atau Musik

Sabtu, 12 Agustus 2017 – 09:57 WIB
Bu Guru dan siswa di kelas. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan sekolah lima hari juga alot di internal pemerintah. Pada 9 Agustus lalu sudah keluar rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK).

Namun dari Kementerian Agama (Kemenag) masih keberatan dengan sejumlah poin di dalam rancangan Perpres itu.

BACA JUGA: Guru Madrasah dan GP Ansor Gelar Aksi Tolak Sekolah Lima Hari

Salah satu poros keberatannya Kemenag adalah klausul bahwa madrasah diniyah (madin) dijadikan ekstrakurikuler. Klausul ini tertuang dalam Pasal 7 draft Perpres PPK.

Keberatan lainnya adalah masih banyaknya nomenklatur yang menyebutkan sekolah lima hari. Padahal Perpres itu sejak awal difokuskan untuk pendidikan karakter.

BACA JUGA: PRIMA: FDS Memberatkan Warga tak Mampu

Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag Kamaruddin Amin mengatakan tidak tepat jika madin diposisikan sebagai ekstrakurikuler seperti musik, bermain futsal, basket, dan sejenisnya. Apalagi nanti madin itu dimasukkan sebagai salah satu ekstrakurikuler pilihan siswa.

’’Sekarang mas aja kalau disuruh milih ekstrakurikuler madin atau futsal, pilih mana. Pasti pilih yang fun,’’ jelasnya kemarin (11/8).

BACA JUGA: Fakta! Dampak Sekolah 5 Hari, Siswa Madin dan Pesantren Berkurang Drastis

Kamaruddin menuturkan dia khawatir madin bakal semakin ditinggalkan anak didik jika statusnya disejajarkan dengan eskstrakurikuler pilihan lainnya. Dia berharap madin tetap seperti yang sudah berjalan sekarang ini.

Kamaruddin mengatakan selama ini sasaran program madin adalah siswa di SD, SMP, maupun SMA. Khusus untuk di SMP dan SMA saja, jumlah muridnya mencapai 500 ribu orang.

Menurutnya dengan penerapan sekolah lima hari, 500 ribu anak madin itu tidak bisa lagi belajar di madin.

Kekhawatiran Kamaruddin itu memang beralasan. Sebab dalam simulasi jadwal pelajaran di sekolah lima hari untuk jenjang SMP dan SMA, rata-rata siswa pulang pukul 15.00.

Khusus untuk jenjang SMP misalnya, hanya ada waktu satu jam (14.00 – 15.00) untuk ekstrakurikuler. Itupun hanya tersedia pada Senin sampai Kamis. Sebab Jumat sudah dikapling untuk ekstrakurikuler Pramuka.

Sementara untuk jenjang SMA sederajat, pemberlakuan sekolah lima hari otomatis menghapus jam untuk ekstrakurikuler. Sebab kegiatan wajib atau intrakurikuler sudah memakan waktu sampai pukul 15.00.

’’Yang paling memungkinkan itu di SD. Itupun mepet sekali waktunya,’’ jelasnya. Untuk kelas IV, V, dan VI SD kegiatan intrakurikuler selesai pukul 12.10.

Tetapi jika di SD masih ada kegiatan ekstrakurikuler, dia khawatir minat anak SD untuk ikut madin berkurang. Sebab anak-anak SD lebih memilih ekstrakurikuler yang ada di sekolah.

Di dalam draft Perpres sejatinya sudah ada ketentuan bahwa Kemenag diperbolehkan tidak menerapkan sekolah lima hari dalam sepekan.

Namun Kamaruddin menegaskan sasaran madin itu bukan siswa dari madrasah. Tetapi siswa dari sekolah umum (SD, SMP, dan SMA/SMK).

Kamaruddin mengatakan pembahasan draft Perpres itu bisa segera dimatangkan kembali. ’’Sekarang pembahasannya masih seru,’’ tuturnya. Dia mengatakan draft itu dinaikkan ke Presiden jika sudah ada satu suara di tingkat kementerian.

Staf Ahli Mendikbud Bidang Pembangunan Karakter Arie Budhiman mengatakan kekhawatiran sekolah madin mati karena implementasi sekolah lima hari sebenarnya tidak berdasar.

’’Kemendikbud sebenarnya ingin data riil madin mana saja yang terdampak kebijakan sekolah lima hari. Tetapi sampai sekarang belum ada,’’ jelasnya.

Mantan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta itu mengatakan di Jakarta pemberlakuan sekolah lima hari sudah berjalan kira-kira sejak 2008.

Dia mengatakan tidak ada masalah apa-apa di Jakarta selama ini. Termasuk dengan madrasah diniyah yang ada di wilayah DKI Jakarta.

Terkait dengan madin yang menjadi ekstrakurikuler pilihan siswa, dia mengatakan tidak perlu dipersoalan berlebihan.

Dia menjelaskan siswa sebaiknya diberikan kebebasan memilih ekstrakurikuler sesuai dengan bakat masing-masing.

Selain itu anak-anak juga masih memiliki orangtua, yang pasti mendampingi anak-anak dalam menentukan pilihan ikut ekstrakurikuler apa.

Dia berharap tidak tergesa-gesa menyimpulkan bahwa ketika dibuka secara bebas, anak-anak lebih memilih ekstrakurikuler olahraga, musik, atau sejenisnya ketimbang madin.

’’Tetapi kalau anak itu bakatnya ada di seni. Terus seminggu full ikut madin saja, kan tidak seperti itu,’’ kata dia.

Arie sendiri mengaku belum menerima draft Perpres PPK. Dia berharap segera ada titik temu lintas kementerian. Sehingga bisa segera disahkan oleh Presiden Joko Widodo.

Penolakan PBNU terhadap Permendikbud 23/2017 tentang Hari Sekolah sudah disampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo.

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj mengungkapkan setidaknya sudah dua kali dia menyampaikan keberatan itu langsung kepada Jokowi.

”Saya sudah dua kali ngomong ke beliau (Jokowi, Red). Mudah-mudahan bisa segera dicabut Permendikbud ini,” ujar KH Said di kantor PBNU, Kamis (10/8) malam.

PBNU sejauh ini menjadi pihak yang paling keras menentang Permendikbud yang dikeluarkan Mendikbud Muhadjir Effendy. Alasan utamanya, kebijakan lima hari sekolah sampai sore itu akan mengurangi kesempatan siswa untuk belajar di madrasah diniah (madin).

Padahal, di madin selama ini anak itu diajari pelajaran agama, pembentukan karakter, hingga menghormati guru.

Setelah penolakan itu muncul pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan untuk membuat Peraturan Presiden (perpres) yang sempat meredakan ketegangan. Tapi, hingga kini perpres itu belum juga selesai.

KH Said mengungkapkan bahwa PBNU belum pernah dilibatkan dalam pembahasan Perpres pengganti Permendikbud tersebut.

Dia yakin pemerintah tidak akan mengeluarkan Perpres yang sama isinya dengan Permendikbud tentang hari sekolah. Bila ternyata Perpres itu masih berisi pengaturan lima hari sekolah sampai sore, PBNU akan menolaknya lagi.

”Saya diundang oleh siapapun, kalau membahas sekolah lima hari, saya nggak akan datang. Bentuk penolakan (Perpres) ya kita nggak ikut acara itu,” kata dia.

Sementara itu, Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin menawarkan jalan tengah terkait polemik lima hari sekolah itu. Dia meminta agar tidak perlu pengaturan secara eksplisit ketentuan lima hari sekolah sampai sore.

”Yang full day school itu jangan dibunyikan, diserahkan saja pada masing-masing mau mengadakan atau tidak. Tapi, jangan masuk dalam peraturan,” ujar dia.

Dia menuturkan bila masih diatur dalam Perpres meskipun opsional tetap bisa berpotensi menimbulkan kegaduhan.

Dia menyebutkan bahwa MUI sudah menyampaikan masukan itu kepada pemerintah yang sedang membahas Perpres. Tapi, sejauh ini KH Ma’ruf belum mendapatkan laporan lagi perkembangan pembahasan tersebut.

”Sekarang sedang disusun konsepnya. Kita harapkan secepatnya. Supaya tidak ada ketegangan lagi,” tegas dia.

Presiden Joko Widodo sendiri sempat meminta masyarakat agar tidak buru-buru salah paham dnegan konsep sekolah lima hari.

’’Perlu saya tegaskan, bahwa tidak ada keharusan untuk lima hari sekolah atau full day school,’’ ujar Jokowi. Sebab, dalam kondisi saat ini tidak semua sekolah bisa langsung menerapkan kebijakan tersebut.

Presiden menuturkan, dalam praktiknya, memang ada sejumlah sekolah yang menyatakan siap melaksanakan sekolah lima hari sepekan.

Namun sebagian yang lain memang belum siap untuk menjalankannya. Harus benar-benar dilihat bagaimana kondisi di lapangan.

Di sisi lain, Presiden juga mendukung bila ada sekolah sekolah yang siap menjalankan. ’’Jika ada sekolah yang memang sudah lama melakukan sekolah lima hari dan didukung masyarakat, ulama, maupun orang tua murid, ya silakan diteruskan,’’ lanjutnya.

Meskipun demikian, mengenai progres pembentukan aturannya, Presiden menyatakan belum bisa berbicara banyak.

’’Ya permendikbud ini nanti diganti dengan Perpres,’’ tambahnya. Dengan terbitnya perpres, maka secara otomatis permendikbud tidak lagi berlaku. Sementara, untuk detail progresnya, dia mempersilakan publik bertanya kepada menteri terkait.

Pengamat Pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah mengungkapkan bahwa kelemahan utama dari kebijakan 5 hari sekolah adalah minimnya sosialisasi serta kebijakan yang dibuat tanpa melibatkan semua pihak.

“Kebijakan pendidikan harus selalu melibatkan dua pihak, Kemendikbud, maupun Kemenag,” katanya.

Seharusnya, jika Kemendikbud memang ingin mengakomodir Madrasah Diniyah, solusinya adalah memasukkan jam berlangsungnya Madrasah Diniyah dalam 8 jam belajar yang dimandatkan dalam sehari.

Kepala sekolah bisa memberikan perlakuan khusus agar siswa yang terlanjur masuk diniyah tidak terpaksa mundur .

“Seharusnya kepala sekolah punya data siapa saja muridnya yang masuk Diniyah, nanti diberi dispensasi,” katanya.

Menurut Jejen, petunjuk teknis pelaksanaan 5 hari sekolah harus benar-benar matang dibahas oleh kedua belah pihak serta tersosialisasikan dengan baik ke masyarakat.

Kasus banyaknya siswa Madrasah Diniyah yang mundur di beberapa daerah menurut Jejen menunjukkan bahwa peraturan belum tersosialisasi dengan baik.

Jejen juga mengkritik sikap Kemenag maupun Pengurus NU yang lebih cenderung saling lempar statemen.

Dalam perkembangan terakhir, Jejen menilai belum ada i’tikad baik dari kedua belah pihak untuk melakukan penyelesaian dengan jalan dialog.

“Sebenarnya kebijakan ini bukan hal yang baru, Kemenag dan NU saja yang keburu terbawa emosi,” katanya. (wan/jun/byu/tau)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi Tanggapi Polemik Sekolah 5 Hari, Katanya...


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler