jpnn.com - Kartini adalah sosok yang revolusioner. Pemikirannya jauh melampaui zamannya. Jasanya bagi perempuan Indonesia tak sebatas mendorong persamaan hak dengan pria.
Tapi, juga meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Dengan nilai kepahlawanan yang begitu kuat tersebut, sineas Hanung Bramantyo pun berniat mengangkat perjuangan Kartini ke dalam film.
BACA JUGA: Mayangsari Bicara tentang Sosok Kartini
Pada 2014 dia bertemu dengan produser Robert Ronny dari Legacy Pictures untuk mendiskusikan proyek film Kartini. Dia tidak ingin membuat biopik biasa.
’’Harus ada nilai plus yang diberikan pada kisah dan karakter Kartini,’’ tegasnya.
BACA JUGA: Luncurkan Buku Behind the Scene Film Kartini
Suami Zaskia Adya Mecca tersebut ingin lebih mengekspos perjuangan Kartini semasa muda. Sebelum dia menikah dengan Bupati Rembang RM Adipati Joyodiningrat pada usia 24 tahun.
Dari riset yang dilakukan tim Hanung, 18 hingga 23 tahun merupakan masa-masa perjuangan Kartini. Itu saat dia gigih melawan tradisi, budaya patriarki, dan kegalauan hatinya dalam memperjuangkan kesetaraan gender.
BACA JUGA: Perankan RA Kartini, Dian Sastro: Merasuk ke Jiwa Saya
Selain kesetaraan gender dan emansipasi, sosok Kartini dalam film rilisan Legacy Pictures dan Screenplay Films tersebut melakukan hal lain yang jarang diulas dalam buku-buku sejarah.
Yakni, mengupayakan pendidikan untuk rakyat jelata dan memberdayakan ekonomi serta budaya lokal. Misalnya, di bagian saat Kartini mengajak para perajin ukir Jepara di lingkungan tempat tinggalnya untuk memamerkan karya mereka di Belanda.
Semua perjuangan Kartini itu tidak akan terwujud jika dia tidak menjadi bangsawan bergelar Raden Ayu. Awalnya Kartini (Dian Sastro) enggan menjadi Raden Ayu karena harus berpisah dengan sang ibu, Ngasirah (Christine Hakim), yang merupakan rakyat biasa.
Kartini harus mengikuti jejak ayahnya, bupati Jepara RM Adipati Ario Sosroningrat, untuk hidup di lingkungan bangsawan yang sangat membatasi kehidupan perempuan.
Kartini akhirnya memilih menuruti ayahnya. Menurut Kartini, dengan menjadi bangsawan, dirinya bisa bersekolah meski hanya sampai sekolah dasar.
Dia mendapatkan kemampuan membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa Belanda, empat hal yang sulit atau mustahil dipelajari rakyat biasa. Pergumulan Kartini ketika hendak menjadi bangsawan itulah yang jarang ditampilkan dalam literatur maupun buku pelajaran sejarah.
’’Kita tidak tahu bagaimana proses Kartini menjadi Raden Ayu. Padahal, itu awal mula Kartini bisa memperjuangkan emansipasi dan kesejahteraan rakyat,’’ jelas Hanung.
Kesedihan Kartini selama dipingit, pertemuan dengan para feminis Belanda, semangat dia yang ingin belajar di Belanda, hingga kegalauan ketika dilamar bupati Rembang juga tergambar secara apik di film.
Mengangkat sisi lain hidup Kartini, Hanung melakukan riset besar-besaran. Tak tanggung-tanggung, riset itu berjalan selama dua tahun. Hanung pergi ke Jepara untuk menelusuri perjalanan hidup sang pahlawan.
Dia dibantu komunitas Rumah Kartini, yang mengkhususkan diri untuk mengumpulkan dokumentasi dan peninggalan sang pahlawan.
Kru film juga mengunjungi rumah masa kecil Kartini dan makamnya. Studi pustaka juga dilakukan. Buku-buku tentang Kartini seperti Habis Gelap Terbitlah Terang, Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, serta buku-buku biografi Kartini karya Elizabeth Keesing dan Joss Cote menjadi bahan referensi yang digunakan untuk menulis skenario dan membangun set syuting. (len/c7/na)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mooryati: Jadilah ?Kartini-Kartini Modern
Redaktur & Reporter : Adil