jpnn.com - Namun, prestasi membanggakan telah ditorehkan para atlet Indonesia di ajang Asian Para Games 2018. Perjuangan atlet, termasuk 12 atlet asal Sumsel, berhasil mengantarkan Indonesia ke peringkat kelima dengan torehan total 135 medali.
-----------------------
BACA JUGA: Kontingen Asian Para Games 2018 Mulai Tinggalkan Indonesia
Secara keseluruhan, para atlet Tanah Air mampu menghasilkan 37 emas, 47 perak, dan 51 perunggu. Khusus yang disumbang atlet Sumsel, dari 12 orang yang bergabung dalam kontingen Indonesia, ada delapan yang meraih prestasi membanggakan.
Total dari mereka menyumbang 8 emas, 4 perak, serta 5 perunggu. Empat atlet catur, yakni Hendy Wirawan, Yuni, Maksum Firdaus, dan Adji Hartono menghasilkan medali terbanyak.
BACA JUGA: Asian Para Games 2018 Sukses, Menpora Dapat Pujian dari JK
Dari keempat orang itu, Hendy Wirawan, menjadi yang paling produktif. Sematan “pahlawan Indonesia” mungkin layak diberikan kepadanya. Dengan segala keterbatasan dirinya yang tuna netra, Hendy mampu mempersembahkan tiga medali emas dan satu perunggu.
Dia bahkan menorehkan diri sebagai atlet Sumsel paling berprestasi. Tentu saja, bonus yang diraihnya pun paling banyak. Total Rp3,25 miliar.
BACA JUGA: APC Puji Kecakapan Jokowi Koordinasi dalam Antarstakeholder
Untuk medali emas perseorangan, Hendy menerima Rp1,5 miliar. Kemudian dua medali emas beregu masing-masing Rp750 juta. Ditambah perunggu perseorangan Rp250 juta.
"Kaget. Ini seperti mimpi bagi saya. Pencapaian yang melebihi target, karena sebenarnya secara kualitas saya tidak masuk unggulan," kata Hendy, kemarin.
Bahkan dibanding sesama atlet catur lain seperti Edy Suryanto, dia boleh dibilang underdog. Cerita Hendy, berkaca dari pengalaman ikut Asian Para Games 2017 di Malaysia, dia hanya mampu meraih dua emas.
"Tapi, dari awal saya memang punya mimpi di Asian Para Games tahun ini. Main di tanah kelahiran sendiri. Mimpi inilah yang seolah menjadi kenyataan sekarang," tutur atlet Sumsel yang kelahiran Jakarta itu.
Hendy mengaku tak ada rahasia bagaimana dia memenangkan pertandingan demi pertandingan. Menurutnya, yang paling penting mau berusaha saja dan memotivasi diri untuk mau menjadi lebih baik.
“Di samping latihan, di pemusatan, saya memang lebih banyak latihan sendiri. Bahkan levelnya dua kali lipat lebih," tambahnya.
Kerja keras itu dirasakan membawa perubahan terhadap skill dan kualitas bermainnya. Bahkan rasa untuk mendapat medali, sudah ia rasakan sebelum menjalani babak final. "Kebetulan, saat bermain di grup, saya berpasangan dengan Pak Edy. Yang secara kualitas kami cukup cocok satu sama lainya," jelasnya.
Ada sisi menarik dari perjalanan kaki Hendy. Basic utamanya bukan di cabang catur karena basic utamanya bukan berasal dari olahraga catur. Namun cabor renang.
“Saya dulu atlet renang, sampai akhir 2014, waktu itu masih turun di PON Jabar,” tuturnya. Dua tahun kemudian, dia pun pindah ke Sumsel dan gabung di cabor catur.
"Masuk juga niat saya hanya untuk cari uang, nafkah hidup. Tidak ada tujuan lain, dan saya terus berusaha di sini. Ternyata cocok hingga sekarang," terangnya. Dari pekerjaannya menjadi atlet catur inilah, dia bisa mencapai performa tertinggi. Perlahan mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga besarnya (istri dan dua anak).
Kehidupannya jauh lebih baik ketimbang saat masih menjadi tukang pijat keliling. "Ya, keluarga juga ikut senang. Dibalik kekurangan ini, saya bisa membawa nama harum bangsa. Bahkan menaikkan derajat keluarga yang ada di Bekasi," tuturnya.
Ada banyak keinginan yang akan coba ia wujudkan dari bonus itu. Di antaranya, menambah modal usaha menjahit sang istri, Ira. Kemudian, membangun ruko usaha pijat tuna netra.
“Dalam usaha ini, saya akan mengajak teman-teman (sesama tuna netra) agar mereka punya pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik,” bebernya.
Setelah punya dana yang cukup dari hasil usahanya, Hendy berkeinginan mengajak keluarganya naik haji. “Untuk sementara mungkin belum, baru sebatas umrah dulu," jelasnya.
Dia berharap, keberhasilannya bisa menginspirasi atlet National Paralympic Committe (NPC) lain untuk mengukir prestasi terbaik.
“Jangan putus semangat mengejar cita-cita. Karena bukan hal mustahil, dengan segala kekurangan dimiliki, seseorang bisa menghasilkan karya, bahkan menjadi pahlawan untuk bangsa,” tandas Hendy.
Dia juga menitipkan pesan untuk para orang tua yang punya anak dengan keterbatasan fisik. “Inilah buah keikhlasan. Jangan lah pernah merasa kecewa. Karena Allah, melahirkan seseorang dengan kekurangan, pasti memiliki juga kelebihan," imbuhnya. Sementara dua atlet catur lain, Maksum Firdaus meraih tiga perak dan Adji Hartono satu emas.
Atlet catur Sumsel lainnya yang berlaga di ajang Asian Para Games 2018, Yuni, kaget bukan kepalang. Dia tak menyangka akan mendapat bonus Rp900 juta dari pemerintah. Uang itu didapatnya setelah mampu mempersembahkan medali emas nomor beregu putri klasik VI (P1) bersama rekannya Roslinda dan Nasip Varta. Juga satu perunggu dari catur cepat perseorangan.
"Sempat tak bisa tidur. Kaget, karena bonusnya besar sekali. Alhamdulillah saya bisa persembahkan dua medali itu," tuturnya. Rencananya, bonus itu akan dimanfaatkannya untuk membeli rumah di Palembang serta untuk umrah.
"Sebelumnya dapat hadiah umrah dari Gubernur Sumsel. Rencana bulan ini berangkatnya," ungkap dia. Yuni juga berencana membuka usaha dari hasil kerja kerasnya menjadi atlet. Namun, dirinya belum memutuskan jenis usaha yang akan ditekuni.
"Usaha harus ditunggu. Sementara, takutnya saya dipanggil ke pelatnas untuk pemusatan latihan dalam waktu lama. Jadi, nanti lihat kondisinya dulu mau usaha apa, " urainya.
Yuni mengaku sangat mengapresiasi dan berterima kasih kepada pemerintah yang telah memperhatikan atlet difabel seperti dirinya, tanpa membeda-bedakan dengan atlet normal lainnya. Dibuktikan dengan memberikan bonus besar sama dengan yang didapat para atlet Asian Games.
Di balik itu semua, Yuni berharap perhatian lebih pemerintah bagi atlet berprestasi di Asian Para Games yang usianya di atas 35 tahun. Jika tidak bisa diangkat menjadi PNS, diharap ada perhatian dalam bentuk lain. “Kan kalau di bawah 35 tahun diangkat PNS. Sementara saya sudah di atas 35 tahun, " harapnya.
Tak lupa, dia berterima kasih kepada orang tua dan keluarga yang telah mendukungnya hingga bisa mencetak prestasi ini. "Support keluarga luar biasa. Sekarang saja mereka datang ke Jakarta, " ungkapnya.
Hasil satu emas dan satu perunggu, menurut Yuni, sudah sesuai target dirinya. Usai gelaran ini, dia akan mulai fokus mempersiapkan diri untuk mengikuti Asian Para Games di Filipina. "Jika masih dipercaya, 2019 ini harus sudah melakukan persiapan," pungkasnya.
Tak hanya catur, atlet Sumsel pada cabor renang, atletik dan tenis meja juga menyumbang medali untuk Indonesia. Sementara, sesal masih menggelayuti Jendi Panggabean. Dia mengaku sedikit kecewa dengan hasil yang diraihnya di Asian Para Games 2018 ini. Hanya dapat satu medali emas dan dua perunggu.
Kekecewaan Jendi karena dia tak bisa mengalahkan waktu terbaiknya saat latihan. Hal ini menjadi satu catatan bahwa dirinya masih harus memperbaiki diri. "Kalau target waktu sangat mengecewakaan untuk event ini. Karena cuma dapat best time di gaya punggung (dapat emas), tapi itu juga susah. Sebab jauh dari waktu terbaik saya," ujar Jendi.
Ke depan, Jendi tak akan berdiam diri, dia harus bisa memperbaiki catatan terbaiknya di ajang resmi. Apalagi beberapa turnamen bakal dia ikuti, termasuk kejuaraan dunia di Malaysia tahun depan.
"Setelah ini, 2019 ada Asean Para Games di Filipina, kemudian pelatnas di Solo. Kejuaraan dunia di Kutching, Malaysia. Targetnya mudah-mudahan bisa dapat medali dan bisa meningkatkan performa," lanjutnya.
Untuk Paralympic di Tokyo, persiapannya masih jauh dan masih tetap fokus. “Saya juga belum tahu akan menargetkan apa, sebab persaingan sangat berat di sana. Masalah mental juga," tutup Jendi.
Atlet Elsa Maris juga berhasil mempersembahkan medali emas dari cabor boling. Wanita asal Palembang itu turun di nomor Women Single TPB4. Dia berhasil menunaikan janjinya semasa di pelatnas Solo.
Raihan medali emas ini tentu hasil yang membanggakan bagi keluarganya. Elsa di tengah kekurangannya ternyata mampu membuat merah putih di puncak tertinggi. Tak hanya satu, Elsa juga mendapatkan medali perak dari nomor ganda campuran (TPB4+TPB4) cabor tenpin bowling bersama Azward Andrey.
Di cabor atletik nomor lompat jauh T20 putri, atlet asal Sumsel Rica Octavia juga meraih medali emas dalam Asian Para Games 2018. Dia berhasil setelah setelah melakukan lompatan sejauh 5,25 meter di kategori T20. Rica melampaui atlet andalan Jepang, Sakai Sonomi yang hanya melompat sejauh 5,02 meter.
Berkat prestasi membanggakan itu, Rica diganjar bonus Rp1,5 miliar dari pemerintah. Niat mulia pun langsung terbersit di benaknya. “Saya akan gunakan bonus ini di antaranya untuk membiayai perjalanan haji orang tua. Saya ingin ibu dan ayah naik haji,” ujar dia.
Bagi Rica, kesuksesannya di Asian Para Games 2018 ini terasa sangat spesial. Sebab, selain meraih medali emas, Rica juga berhasil memecahkan rekor Asia bertahan sejak 2016 lalu. “Alhamdulillah. Bangga sekali bisa melampaui rekor Asia. Senang bisa dapat medali (emas, red),” katanya.
Rekor Asia lompat jauh T20 putri sebelumnya dipegang atlet asal Negeri Jiran Malaysia, Siti Noor Radiah Ismail. Lompatan terjauhnya 5,20 meter saat Paralimpiade 2016 Rio de Janeiro, Brasil. Dengan modal lompatan terjauhnya itu, Rica kini membidik langkah berlaga di Paralimpiade 2020.
Even tersebut akan digelar di Tokyo, Jepang. “Saya berharap bisa kembali membela Indonesia di ajang itu dan meraih medali lagi agar merah putih bisa berkibar,” tukasnya.
Sementara di cabor tenis meja nomor tunggal putra (TT6), atlet Sumsel Rahmat Hidayat meraih medali perunggu. Sifat optimistis dan percaya dirinya sudah dia tunjukan sejak pertama kali berlaga di Asian Para Games 2018. Secara fisik kedua tangan Rahmad tak punya jari yang sempurna, tapi memang dia sangat lihai memainkan tenis meja.
Dikatakan, keberhasilannya ini karena dia suka mempelajari permainan lawannya dari video dan mempelajari teknik atau strategi lainnya. Cara bermain Rahmat memang paling berbeda dengan rekan-rekan lainnya. Jika yang lain menggunakan satu tangan saat memegang bet, Rahmad memegangnya dengan dua tangan. Bahkan, Rahmad sendiri mengklaim cara permainannya paling berbeda dengan atlet-atlet tenis meja lainnya.
Kebiasaan itu pun dikatakan Rahmad sudah dia lakukan sejak baru mengenal tenis meja. “Saya mengenal tenis meja itu SD kelas 5 di Palembang. Waktu itu ada teman-teman dan bapak-bapak yang main tenis meja. Dari situ saya mulai coba, sampai akhirnya terbiasa hingga saat ini,” ujar pemain berusia 32 tahun tersebut.
Kekurangan yang dimiliki Rahmad pun tak menjadi kendala. Buktinya, semua hal bisa dia lakukan dengan baik. Rahmad juga mengaku dengan keterbatasannya ini dia bisa membuktikan bahwa dia bisa dan kini dia sudah punya sebuah studio foto di kampung halamannya.
“Saya begini sudah biasa. Melakukan hal apa pun juga pakai dua tangan. Ya, biar begini saya bisa buktikan, saya juga punya studio foto di Palembang,” ujarnya. (cj11/gsm/aja/ce1)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal NPC Potong Bonus Atlet, Menpora Bilang Begini
Redaktur & Reporter : Soetomo