jpnn.com, JAKARTA - Fenomena alam berupa embun beku berbentuk butiran es kembali terjadi di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Hal itu diketahui dari unggahan akun @Jateng_Twit dan menjadi trending topik pagi ini, Minggu (26/7).
BACA JUGA: Ganjar Minta Homestay di Dieng tak Terburu-Buru Menyewakan Kamar untuk Wisatawan
Dalam unggahan tersebut juga disertakan sejumlah foto karya Aryadi Darwanto, yang memperlihatkan dedaunan dan rumput di dataran tinggi Dieng, diselimuti butiran es.
"Seperti ini suhu di Dataran Tinggi Dieng lur. Ademnya keterlaluan enggak sih, sampai menjadi es, tinggal kasih sirup seger nih. Foto : Aryadi Darwanto," tulis postingan @Jateng_Twit beberapa saat lalu.
BACA JUGA: Kawasan Wisata Dieng Kini Terapkan Tiket Elektronik
Fenomena ini pernah dijelaskan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) pada 25 Juni 2020 lalu di laman resmi lembaga itu.
Menurut Deputi Bidang Meteorologi BMKG R Mulyono R Prabowo, kondisi suhu dingin yang menyebabkan terjadinya fenomena embun beku di wilayah dataran tinggi Dieng dalam beberapa waktu belakangan ini merupakan hal yang normal.
BACA JUGA: Begini Tampang SUV Terbaru Wuling Hong Guang X
"Beberapa hari terakhir suhu udara di sebagian wilayah Indonesia selatan ekuator, khususnya di wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara, cukup dingin dan mengalami penurunan signifikan pada malam hari," ucap Mulyono.
Secara umum, kondisi suhu dingin ini terjadi sebagai akibat dari adanya aliran massa udara dingin dan kering dari wilayah benua Australia yang dikenal dengan aliran monsun dingin Australia.
Secara klimatologis, monsun dingin Australia aktif pada periode bulan Juni-Juli-Agustus, yang umumnya merupakan periode puncak Musim Kemarau di wilayah Indonesia selatan ekuator.
Desakan aliran udara kering dan dingin dari Australia menyebabkan kondisi udara yang relatif lebih dingin, terutama pada malam hari dan dapat dirasakan lebih signifikan di wilayah dataran tinggi atau pegunungan.
Selain itu, kondisi musim kemarau dengan cuaca cerah dan atmosfer dengan tutupan awan sedikit di sekitar wilayah Jawa-Nusa Tenggara, dapat memaksimalkan pancaran panas bumi ke atmosfer pada malam hari, sehingga suhu permukaan bumi akan lebih rendah dan lebih dingin dari biasanya.
Kondisi ini bertolak belakang dengan kondisi saat musim hujan atau peralihan, di mana kandungan uap air di atmosfer cukup banyak karena banyaknya pertumbuhan awan.
Artinya, atmosfer menjadi semacam "reservoir panas" sehingga suhu udara permukaan bumi lebih hangat.
Berdasarkan data pengamatan BMKG waktu itu, pada pertengahan Juni lalu, suhu udara lebih rendah dari 15 derajat Celcius tercatat di beberapa wilayah seperti di Frans Sales Lega (NTT) dan Tretes (Pasuruan), suhu udara rendah terukur di Frans Sales Lega (NTT) hingga 9.2 derajat Celcius pada tanggal 15 Juni 2019.
"Kondisi suhu dingin tersebut akan lebih terasa dampaknya seperti di wilayah dataran tinggi Dieng (Jawa Tengah) ataupun daerah pegunungan lainnya di mana pada kondisi ekstrem dapat menyebabkan terbentuknya embun beku atau frost," jelas Mulyono.
Diprediksikan potensi kondisi suhu dingin seperti ini masih dapat berlangsung selama periode puncak musim kemarau, Juni-Juli-Agustus, terutama di wilayah Jawa hingga Nusa Tenggara. (fat/jpnn)
Link Twitter: https://twitter.com/Jateng_Twit/status/1287179464825163777
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam