jpnn.com - JAKARTA - Gelombang efek terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, menjalar ke sistem finansial global. Termasuk ke Indonesia. Rupiah langsung terempas hingga titik terlemah dalam lima bulan terakhir.
Soliditas rupiah yang sempat berada di jalur tren penguatan rupanya masih rapuh. Bank Indonesia (BI) selaku otoritas moneter pun berusaha meredakan ketegangan di pasar keuangan. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, masyarakat sebaiknya tidak terpengaruh analisis-analisis pasar tentang rupiah.
BACA JUGA: Ayooo, Wisata dan Investasi ke Tanjung Lesung!
Sebab, sering kali analisis di pasar kurang mencerminkan fundamental perekonomian Indonesia. ”Kita harus melihat fundamental perekonomian,” ujarnya Jumat (11/11).
Dari sisi fundamental ekonomi, papar Mirza, Indonesia sebenarnya berada dalam tren bagus. Misalnya, angka current account deficit (CAD) atau defisit transaksi berjalan membaik dari 2,21 persen pada kuartal II 2016 menjadi 1,83 persen pada kuartal III 2016.
BACA JUGA: Perhutani Siapkan Lahan 478 Hektar
Selain itu, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,02 persen. ”Itu lebih baik dibanding Singapura, Thailand, dan Malaysia,” terang dia.
Namun, pasar keuangan memang sering kali berjalan tak seiring dengan fundamental. Kenyataannya, perilaku pasar keuangan yang reaktif sangat mudah bergejolak gara-gara dipicu sentimen negatif.
BACA JUGA: Giliran Pelabuhan Tanjung Priok Terapkan Go Live Aplikasi Inaportnet
Itu pula yang terjadi pada rupiah Jumat (11/11) kemarin. Di pasar spot, rupiah kemarin langsung terjerembap di sesi pembukaan perdagangan dengan dibuka anjlok 256 poin atau 1,95 persen di level Rp 13.394 per USD.
Berdasar kurs Bloomberg, rupiah bergerak di rentang Rp 13.233 per USD, bahkan sempat menyentuh Rp 13.873 per USD. Itu adalah level terendah dalam lima bulan terakhir.
Namun, dalam sesi perdagangan siang hingga sore, gejolak mulai mereda seiring intervensi BI. Akhirnya, rupiah ditutup di level 13.383 per USD atau melemah 1,87 persen terhadap USD.
Pelemahan itu sekaligus menjadi yang tertajam bila dibandingkan dengan mata uang lain di kawasan Asia Pasifik. Selain rupiah, ada beberapa mata uang yang kemarin ikut anjlok karena dihajar dolar. Antara lain ringgit Malaysia yang melemah 1,44 persen; won Korea Selatan yang terdepresiasi 1,26 persen; serta ringgit India yang tergerus 0,93 persen. Sementara itu, kurs tengah BI kemarin menunjukkan bahwa rupiah ditutup di level Rp 13.350, melemah 232 poin atau 1,77 persen.
Menurut Mirza, isu Trump menjadi presiden terpilih AS masih menjadi faktor utama analisis pasar yang memengaruhi banyak mata uang di berbagai belahan dunia.
Hal itu disebabkan sikap Trump yang dikhawatirkan cenderung protektif sehingga memengaruhi nilai ekspor negara-negara emerging market. Di Brasil nilai tukar juga sempat melemah 4,59 persen; sementara di Meksiko melemah 3,5 persen. Begitu juga di Afrika Selatan, melemah 4,8 persen.
Mirza terus berupaya meyakinkan pasar bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. ”Jadi, tidak perlu terlalu mengkhawatirkan soal Trump,” ucap dia.
Sebab, lanjut dia, Indonesia sebenarnya lebih terpengaruh Tiongkok sebagai negara mitra dagang utama. ”Dari tahun 2012 sampai 2015 kemarin, kita lebih dipengaruhi oleh melambatnya Tiongkok. Lalu, gara-gara itu, harga komoditas turun, lalu itu memengaruhi ekonomi beberapa daerah seperti Sumatera dan Kalimantan. Jadi, bukan tentang AS,” paparnya.
Saat ditanya soal imbas lanjutan dari perekonomian Tiongkok yang juga terpengaruh isu Trump, Mirza menilai masih terlalu dini bagi Indonesia mengkhawatirkan hal tersebut. Menurut dia, sejauh ini BI menilai fundamental ekonomi Indonesia masih baik. Karena itu, BI belum berencana membatasi perdagangan valuta asing.
BI masih akan membiarkan pasar bergerak bebas. Sebab, analisis pasar yang berkembang tidak mencerminkan fundamental ekonomi dan masih bersifat temporer. Untuk menyuntikkan kepercayaan kepada pelaku pasar, BI siap melakukan buyback surat berharga negara (SBN).
Artinya, jika investor asing melepas portofolio investasi pada SBN, BI siap membelinya sehingga bisa meredam tekanan terhadap rupiah. ”Jadi, kami siap buyback, tapi tidak akan mengambil langkah pembatasan perdagangan valas,” jelasnya. (rin/ken/gen/c11/owi/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nikmati Citilink Super++ dengan Rp 190 Ribu
Redaktur : Tim Redaksi