jpnn.com - Politikus pindah partai adalah berita biasa, karena politikus disamakan dengan kutu loncat yang bisa meloncat ke sana kemari. Seorang politikus bisa dengan enteng ganti partai dan pindah dukungan dari satu calon presiden ke lainnya tanpa beban. Pragmatisme politik lebih dipentingkan ketimbang berpegang pada ideologi dan idealisme.
Namun, kali ini ada politikus muda bernama Tsamara Amany Alatas yang berhenti dari partai politik, tetapi kemudian membuat heboh dan menjadi viral di mana-mana.
BACA JUGA: Ini Kalimat Lengkap Sebut Tsamara Amany Bau Gurun Pasir & Kadrun, Keterlaluan!
Tsamara ialah wakil ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dikenal sebagai partai anak milenial dan partai pendukung Jokowi paling fanatik.
Partai ini tidak punya kursi di DPR RI Senayan, tetapi suaranya sudah menggaung-gaung keras di jagat politik nasional. Selain menjadi pendukung berat Jokowi, partai ini sudah memosisikan diri sebagai partai yang sangat kritis terhadap Anies Baswedan.
BACA JUGA: Tsamara Amany Minta Tolong Gegara Dituduh Kadrun, Kombes Gatot Bilang Begini
Saking kritisnya sampai bisa disebut PSI ini partai anti-Anies Baswedan.
Nyaris tidak ada kebijakan Anies Baswedan yang tidak dikritisi oleh PSI.
BACA JUGA: Giring Beri Tanggapan soal Pengunduran Tsamara Amany
Dari urusan sumur resapan sampai Jakarta International Stadium tidak ada yang lolos dari kritik PSI.
Secara terbuka PSI sudah mengumumkan akan mengadang Anies Baswedan pada perhelatan pilpres 2024 mendatang.
Tidak tanggung-tanggung, di sebuah acara yang dihadiri Jokowi, ketua umum PSI Giring Ganesha menegaskan jangan sampai Indonesia jatuh ke tangan seorang pembohong yang pernah dipecat dari jabatan menteri.
Giring tidak menyebut nama, tetapi referensinya jelas menuju kepada siapa.
Giring membuat pernyataan itu, mungkin, karena melihat dukungan terhadap Anies yang makin meluas dan polularitas Anies yang kian memuncak.
Saking takutnya terhadap fenomena Anies, PSI dianggap mengidap penyakit psikologis ketakutan terhadap Anies alias Anies-phobia.
Sebagai partai yang didesain untuk menarik perhatian anak-anak milenial, PSI sebenarnya punya brand yang menarik. Cukup banyak anak muda milenial yang bergabung ke PSI.
Meski di level nasional belum ada calonnya yang lolos ke DPR RI, tetapi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan PSI mendapatkan suara yang lumayan.
Tidak gampang membuat partai yang bisa menarik anak-anak milenial yang umumnya dianggap alergi terhadap politik. Namun, PSI dengan dukungan modal yang cukup dan strategi marketing yang tajam bisa menjadi daya tarik bagi anak-anak muda.
Puluhan partai politik yang muncul pascareformasi tidak ada satu pun yang segmentasinya fokus kepada anak muda seperti PSI.
Politikus senior Din Syamsudin sekarang membidani partai anak-anak muda bernama Partai Pelita.
Masih harus dilihat apakah ‘’partai anak muda yang didirikan orang tua’’ ini bisa berbicara pada perhelatan politik 2024.
Partai Pelita memperebutkan ceruk kecil yang selama ini sudah padat dan sesak oleh banyak partai yang berorientasi Islam. Meskipun partai ini dipimpin oleh anak-anak muda dan ceruk yang dibidik adalah ceruk milenial, tetapi partai ini tetap akan dilihat sebagai partai yang dikendalikan oleh orang tua, terutama karena peran Din Syamsudin sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Partai.
Partai Pelita akan membidik kelas milenial muslim perkotaan.
ini sudah menjadi bidikan ‘’partai-partai tua’’ seperti PAN dan PKS.
Kemudian muncul juga Partai Ummat bentukan Amien Rais, dan partai-partai lain yang berebut suara di kanan seperti Partai Masyumi dan lainnya.
Selain berebut kue yang sama persis dengan PAN, Partai Ummat juga terlihat ingin merebut pemilih muda muslim perkotaan. Pengangkatan Ridho Rahmadi, menantu Amien Rais, sebagai ketua umum menunjukkan upaya Partai Ummat untuk memperluas konstituennya pada pemilih muda.
Ini berarti akan terjadi perebutan head to head dengan Partai Pelita. Persaingan lama antara Din Syamsudin vs Amien Rais berlanjut dalam bentuk perang proxy dua partai baru itu.
Fokus Partai Ummat adalah bersaing memperebutkan pemilih kelas menangah kota yang umumnya berafiliasi dengan gerakan Islam modernis, terutama Muhammadiyah.
Pangsa ini sudah lama menjadi lahan garapan PAN yang tidak mudah ditembus partai lain, termasuk oleh PKS. Karena fokus bersaing dengan PAN, Partai Ummat tetap terlihat sebagai ‘’old party’’ meskipun dipimpin oleh anak muda.
Dengan peta persaingan seperti ini posisi PSI sebagai partai milenial sampai sekarang masih belum mempunyai pesaing yang riil.
Masih harus dilihat apakah Partai Pelita punya kapasitas untuk menyaingi PSI. Tampaknya Partai Pelita masih akan sibuk berebut ceruk tengah dengan PAN, PKS, dan Partai Ummat, sehingga belum akan fokus menjadi pesaing PSI.
Dengan segala plus minusnya, PSI sekarang bisa disebut sebagai satu-satunya partai anak muda milenial.
Dengan ideologi liberal, plural, dan sekular PSI harusnya bisa menarik minat anak muda jika bisa lebih mengartikulasikan aspirasi politik anak muda modern yang konsen dengan isu global seperti teknologi, lingkungan hidup, keseteraan gender, dan problem-problem ketidakadilan ekonomi.
Sampai sejauh ini PSI tidak menunjukkan potensi untuk bisa mewarnai wacana pemikiran intelektual semacam itu.
PSI terlalu sibuk dengan politik praktis jangka pendek seperti mengadang Anies pada pilpres 2024.
PSI belum bisa menunjukkan kapasitas sebagai partai kader yang mampu melahirkan politis-politisi muda nasionalis yang intelektual dan berwawasan global.
Dengan memakai nama PSI tentu diharapkan ada ‘’tabaruk’’ mencari berkah dari Partai Sosialis Indonesia yang didirikan oleh Sutan Sjahrir semasa perjuangan kemerdekaan.
Sejak awal, Sjahrir sudah menunjukkan kapasitas intelektual yang mumpuni yang bisa menyaingi kapasitas intelektual Soekarno dan Hatta.
PSI menjadi partai kader yang kecil, tetapi sangat berbiwaba dan menempatan diri sebagai antitesis terhadap garis perjuangan Soekarno dan Hatta yang kompromistis.
Sjahrir memilih jalur perjuangan non-kompromi terhadap Jepang, dan dengan demikian berseberangan dengan Soekarno-Hatta yang berkolaborasi dengan Jepang, sehingga disebut sebagai kolaborator.
Sjahrir konsisten dengan sikapnya yang non-kolaboratif terhadap penjajah. Kualitas Sjahrir sebagai pemimpin partai kader bawah tanah membuat Soekarno tidak punya pilihan lain kecuali berbagi kekuasaan dengan Sjahrir dengan mengangkatnya sebagai perdana menteri pada November 1945.
Sekarang lahir PSI baru. Namanya saja yang mirip, tetapi bukan reinkarnasi dari PSI lama.
Politisi-politisi muda PSI baru tidak menunjukkan kapasitas intelektual ala Sjahrir yang teguh dan konsisten menempuh jalan perjuangan pengaderan intelektual yang sunyi.
PSI milenial tidak melahirkan budaya politik baru kecuali sebutan ‘’bro dan sis’’ yang menjadi trademark mereka.
Elite-elite PSI seperti Grace Natalie tidak mempunyai kapasitas intelektual yang cukup untuk mengangkat isu-isu global. Terpilihnya Giring Ganesha sebagai ketua umum partai menunjukkan bahwa partai ini lebih suka memilih ‘’brand’’ ketimbang ‘’brain’’, memilih nama terkenal ketimbang otak cemerlang.
Kader yang punya pengalaman intelektual dan aktivisme yang mumpuni seperi Juli Raja Antoni, akhirnya harus minggir memberi tempat kepada Dea Tunggaesti sebagai sekjen.
Satu-satunya yang diketahui publik mengenai Dea adalah dia kakak kandung Dokter Raisa Broto Asmoro. Itu saja, selebihnya tidak ada.
Sulit mengharapkan munculnya wacana intelektual dari komposisi elite partai seperti itu. PSI mencoba merekrut kader dari luar seperti Faldo Maldini yang dibajak dari PAN. Faldo yang punya latar belakang aktivisme dan intelektualitas yang baik mungkin terkaget-kaget begitu masuk ke PSI.
Tidak perlu waktu lama bagi Faldo untuk merasa kesepian dan terisolasi di lingkungan PSI. Dia pun lebih banyak muncul dengan atribut sebagai jubir sekretariat negara ketimbang sebagai kader PSI.
Dalam kondisi seperti ini bisa dipahami mengapa Tsmara Amany merasa butuh atmosfer lain untuk bisa lebih mengekspresikan gagasan-gagasannya.
Sebagai anak muda milenial yang punya kapasitas intelektual besar Tsamara tidak menemukan lahan yang cukup subur untuk berkembang di PSI.
Tsmara yang menikah dengan Ismail Fajrie Alatas, seorang profesor studi Islam di New York University, ingin lebih mengembangkan kapasitas intelektualnya untuk memperdalam isu-isu kesetaraan gender. Tsmara tidak melihat PSI bisa menampung kapasitas intelektualnya itu.
Dia memutuskan mundur dari PSI. Sebuah keputusan yang seharusnya disikapi dengan biasa-biasa saja.
PSI pun mencoba ‘’play down’’ dengan menganggap pengunduran itu sesuatu yang biasa.
Namun, ternyata tidak sesederhana itu. Beberapa hari berselang isu itu menggelinding menjadi liar.
Tsmara di-bully karena dianggap berkhianat, dan kemudian dihubung-hubungkan dengan kemungkinan akan menyeberang ke Anies Baswedan. Seperti biasa, rundungan kalap ala buzzer bermunculan, sampai-sampai muncul posting-an fasis ala Nazi Hitler.
Tsamara tentu sudah paham betul karakter para buzzer mata gelap itu. Namun, mungkin baru sekarang dia merasakan bahwa mereka ternyata benar-benar jahiliyah. Alih-alih menyesal Tsmara pasti bersyukur sudah mengambil keputusan yang tepat mundur dari PSI. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror