JAKARTA – Kubu terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan Driving Simulator SIM Korlantas Polri dan Tindak Pidana Pencucian Uang bekas Kepala Korlantas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo menilai Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan pelanggaran yang sangat merugikan hak-hak hukum sang jenderal.
Hotma Sitompul, Penasehat Hukum Djoko Susilo, mengatakan, telah terjadi sejumlah pelanggaran yang sangat merugikan hak-hak hukum terdakwa. Antara lain, proses penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah karena melanggar KUHAP dan peraturan hukum yang berlaku.
“Proses penyidikan terhadap terdakwa selama di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dijalankan dengan sewenang-wenang, melanggar hukum acara yang berlaku, baik KUHAP maupun hukum acara dalam UU KPK, dan melanggar hak asasi terdakwa,” kata Hotma, saat membacakan nota keberatan atas surat dakwaan penuntut umum pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (30/4).
Hotma mengatakan, Djoko ditetapkan sebagai tersangka pengadaan Driving Simulator SIM pada 27 Juli 2012 tanpa alat bukti yang cukup karena hanya berdasarkan keterangan saksi Bambang Sukoco, yang tanpa didukung dengan bukti pendukung lainnya.
Menurutnya, ini terlihat pada Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang terdapat dalam berkas perkara terdakwa. Dalam sprindik nomor: Sprin.Dik-37./01/VII/2012 bertanggal 27 Juli 2012, alat bukti yang menjadi dasar penetapan menjadi tersangka hanyalah keterangan saksi dan alat bukti surat.
“Dari penelusuran kami terhadap tempus (waktu) pemeriksaan saksi-saksi dan penyitaan dokumen-dokumen di dalam berkas perkara Terdakwa tersebut, jelas terlihat bahwa saksi yang diperiksa pada tanggal 27 Juli 2013 hanya Sukoco Bambang,” jelas dia.
Selain itu, ia mengatakan, semua saksi diperiksa setelah Djoko ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, hal ini tentu saja melanggar asas unnus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Sehingga penetapan Djoko sebagai tersangka pada 27 Juli 2012 adalah sangat prematur
“Dengan demikian penyebutan alat bukti yang cukup berupa keterangan saksi sudah terpenuhi sesuai ketentuan pasal 184 KUHAP di dalam Surat Perintah Penyidikan nomor: Sprin.Dik-37./01/VII/2012 tertanggal 27 Juli 2012 adalah tidak benar,” ungkap Hotma.
Dikatakan, dokumen-dokumen yang disita dari Sukoco Bambang 27 Juli 2013 hanya berupa empat lembar asli print out dari account email Bambang@kotjo.com pada tanggal 6 November 2009 pukul 12.30 AM dengan judul “email biaya fabrikasi Simulator“.
Hal ini sebagaimana tertera dalam Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti (STPBB) -529/23/VII/2012, tanggal 27 Juli 2012. Tiga (3) lembar asli print out dari account email Bambang@kotjo.com pada tanggal 18 Juli 2010 pukul 09.56 PM dengan judul “email foto Simulator 2”.
Ini sebagaimana tertera dalam Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti (STPBB) -529/23/VII/2012, tanggal 27 Juli 2012, sehingga menjadi sangat prematur apabila hanya dokumen-dokumen tersebut saja yang menjadi dasar penetapan tersangka. “Karena dokumen-dokumen tersebut belum memberi gambaran secara jelas mengenai unsur tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa,” kata Hotma yang didampingi penasehat hukum lainnya, Juniver Girsang, Teuku Nasrullah dan Tommy Sihotang.
“Dengan demikian telah terjadi pelanggaran serius terhadap ketentuan KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum acara dalam penetapan tersangka terhadap terdakwa pada tanggal 27 Juli 2012,” jelasnya.
Kemudian, Hotma juga menjelaskan, selama ditahan di Rutan Guntur, Djoko telah berkali-kali menjalani pemeriksaan tanpa melalui panggilan yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Penyidik KPK, kata dia, tiba-tiba datang menjemput Djoko dan menyatakan akan diperiksa sebagai tersangka tanpa memberitahukan kepada penasihat hukum terdakwa terlebih dahulu.
“Penyidik KPK sering menjemput terdakwa (Djoko) untuk diperiksa selaku tersangka tanpa terlebih dahulu memberikan surat panggilan yang sah kepada terdakwa, dan tanpa memberitahukan kepada penasihat hukum terdakwa,” kata Hotma.
Sidang berjalan dengan tertib dan lancer. Selama persidangan, Djoko yang mengenakan pakaian batik tanpa turut mencermati dan ikut membaca dokumen nota keberatan tersebut. (boy/jpnn)
Hotma Sitompul, Penasehat Hukum Djoko Susilo, mengatakan, telah terjadi sejumlah pelanggaran yang sangat merugikan hak-hak hukum terdakwa. Antara lain, proses penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah karena melanggar KUHAP dan peraturan hukum yang berlaku.
“Proses penyidikan terhadap terdakwa selama di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dijalankan dengan sewenang-wenang, melanggar hukum acara yang berlaku, baik KUHAP maupun hukum acara dalam UU KPK, dan melanggar hak asasi terdakwa,” kata Hotma, saat membacakan nota keberatan atas surat dakwaan penuntut umum pada persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (30/4).
Hotma mengatakan, Djoko ditetapkan sebagai tersangka pengadaan Driving Simulator SIM pada 27 Juli 2012 tanpa alat bukti yang cukup karena hanya berdasarkan keterangan saksi Bambang Sukoco, yang tanpa didukung dengan bukti pendukung lainnya.
Menurutnya, ini terlihat pada Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang terdapat dalam berkas perkara terdakwa. Dalam sprindik nomor: Sprin.Dik-37./01/VII/2012 bertanggal 27 Juli 2012, alat bukti yang menjadi dasar penetapan menjadi tersangka hanyalah keterangan saksi dan alat bukti surat.
“Dari penelusuran kami terhadap tempus (waktu) pemeriksaan saksi-saksi dan penyitaan dokumen-dokumen di dalam berkas perkara Terdakwa tersebut, jelas terlihat bahwa saksi yang diperiksa pada tanggal 27 Juli 2013 hanya Sukoco Bambang,” jelas dia.
Selain itu, ia mengatakan, semua saksi diperiksa setelah Djoko ditetapkan sebagai tersangka. Menurutnya, hal ini tentu saja melanggar asas unnus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi). Sehingga penetapan Djoko sebagai tersangka pada 27 Juli 2012 adalah sangat prematur
“Dengan demikian penyebutan alat bukti yang cukup berupa keterangan saksi sudah terpenuhi sesuai ketentuan pasal 184 KUHAP di dalam Surat Perintah Penyidikan nomor: Sprin.Dik-37./01/VII/2012 tertanggal 27 Juli 2012 adalah tidak benar,” ungkap Hotma.
Dikatakan, dokumen-dokumen yang disita dari Sukoco Bambang 27 Juli 2013 hanya berupa empat lembar asli print out dari account email Bambang@kotjo.com pada tanggal 6 November 2009 pukul 12.30 AM dengan judul “email biaya fabrikasi Simulator“.
Hal ini sebagaimana tertera dalam Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti (STPBB) -529/23/VII/2012, tanggal 27 Juli 2012. Tiga (3) lembar asli print out dari account email Bambang@kotjo.com pada tanggal 18 Juli 2010 pukul 09.56 PM dengan judul “email foto Simulator 2”.
Ini sebagaimana tertera dalam Surat Tanda Penerimaan Barang Bukti (STPBB) -529/23/VII/2012, tanggal 27 Juli 2012, sehingga menjadi sangat prematur apabila hanya dokumen-dokumen tersebut saja yang menjadi dasar penetapan tersangka. “Karena dokumen-dokumen tersebut belum memberi gambaran secara jelas mengenai unsur tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa,” kata Hotma yang didampingi penasehat hukum lainnya, Juniver Girsang, Teuku Nasrullah dan Tommy Sihotang.
“Dengan demikian telah terjadi pelanggaran serius terhadap ketentuan KUHAP dan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hukum acara dalam penetapan tersangka terhadap terdakwa pada tanggal 27 Juli 2012,” jelasnya.
Kemudian, Hotma juga menjelaskan, selama ditahan di Rutan Guntur, Djoko telah berkali-kali menjalani pemeriksaan tanpa melalui panggilan yang sah sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Penyidik KPK, kata dia, tiba-tiba datang menjemput Djoko dan menyatakan akan diperiksa sebagai tersangka tanpa memberitahukan kepada penasihat hukum terdakwa terlebih dahulu.
“Penyidik KPK sering menjemput terdakwa (Djoko) untuk diperiksa selaku tersangka tanpa terlebih dahulu memberikan surat panggilan yang sah kepada terdakwa, dan tanpa memberitahukan kepada penasihat hukum terdakwa,” kata Hotma.
Sidang berjalan dengan tertib dan lancer. Selama persidangan, Djoko yang mengenakan pakaian batik tanpa turut mencermati dan ikut membaca dokumen nota keberatan tersebut. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Muncul di Youtube, Susno Dinilai Ejek Aparat Hukum
Redaktur : Tim Redaksi