jpnn.com - JAKARTA - Ketua Umum Asosisasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPP APERSI), Eddy Ganefo mengatakan, mengacu data Biro Pusat Statistik, kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal (backlog) pada 2014 sudah mencapai lebih dari 15 juta unit.
Menurut dia, hal itu berarti sekitar 15 juta kepala keluarga saat ini tidak memiliki rumah.
BACA JUGA: BI Rate Tetap 7,5 Persen
"Artinya, hak dasar mereka sebagai warga negara tidak terpenuhi," kata Eddy di Jakarta, Selasa (7/10).
Mirisnya lagi, kata Eddy, backlog terus naik dari tahun ke tahun. Pada 2010 lalu 13,6 juta unit, tahun ini sudah meningkat sebesar 10,29 persen.
BACA JUGA: Bangun Rumah Murah untuk PNS, Pemkot Salatiga Dipuji
"Bisa dibayangkan lima tahun ke depan, maka backlog diperkirakan bisa “meledak” hingga mencapai 17 juta KK atau setara dengan 68 juta jiwa rakyat Indonesia belum memiliki rumah layak huni," paparnya.
Dia menjelaskan, potensi ledakan pertambahan jumlah masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah yang tidak memiliki rumah layak huni diperkirakan bakal mencapai 60 juta jiwa pada tahun depan. Ini semakin melukiskan wajah buram masyarakat berpenghasilan rendah yang terbelit dalam potret ketidaklayakan hidup.
BACA JUGA: Rumah Khusus PNS Seharga Rp 83,5 Juta
Rumah dan permukiman yang tidak layak, menghuni kawasan kumuh (slum area), daya beli rendah, dan taraf kesejahteraan yang amat memilukan, secara tidak langsung akan makin membebani warga produktif.
Seyogianya fokus strategik dalam program pembangunan bagi pemerintahan baru ke depan, salah satunya adalah memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak bagi warga Indonesia.
"Terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah," ungkapnya.
Eddy menjelaskan, ada beberapa hambatan untuk mengentaskan backlog yang menjadi tantangan bagi pemerintahan baru agar rakyatnya sejahtera.
Pertama, masih adanya hambatan fisik berupa keterbatasan lahan untuk pembangunan perumahan. Selain karena lahan untuk perumahan terbatas, harganya yang cenderung mahal dan juga prosedur pembebasan yang belum kondusif untuk pengembangan perumahan bagi MBR.
Kedua, masih ada hambatan hukum dan peraturan perundang-undangan. Yaitu ketidakkonsistenan antar peraturan peraturan terkait perumahan rakyat dengan UU nomor 1 tahun 2011 dan UUD 1945.
Ketiga, masih adanya hambatan organisasi, dimana manajemen kebijakan pengembangan perumahan cenderung berorientasi pada pembangunan rumah komersil yang dapat mengeliminasi hak MBR.
Keempat, masih ada hambatan politik berupa masih kurangnya komitmen pemrintah pusat dan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pengembangan perumahan untuk MBR.
Kelima, masih ada hambatan distributif, karena aksebilitas MBR ke pasar perumahan masih sangat terbatas akibat kecenderungan harga naik dan daya beli mereka rendah bahkan tidak berdaya sama sekali.
Keenam, hambatan dana. Berbagai skema pembiayaan perumahan yang diluncurkan melalui kebijakan selama ini belum efektif menyentuh persoalan dalam usaha membuka akses MBR untuk memiliki rumah.
Ketujuh, hambatan SDM karena pemegang kebijakan perumahan rakyat belum menjiwai ruh dari perumahan untuk rakyat khususnya perumahan untuk MBR.
"Serta sikap mental yang “korup” masih melekat pada mereka," kritik Eddy.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Bahas Penyelamatan Merpati Bersama 100 Calon Investor
Redaktur : Tim Redaksi