Tukar Langsung Rupiah dengan Won Rp 115 T

Ketergantungan pada Dolar AS Berkurang

Jumat, 07 Maret 2014 – 08:14 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Ketergantungan Indonesia terhadap dollar AS dalam kegiatan perdagangan terus dikurangi. Salah satu upayanya adalah melalui kerjasama bilateral mata uang dengan negara sahabat. Misalnya yang terbaru adalah kesepakatan Bilateral Currency Swap Arrangement (BCSA) antara Indonesia dengan Korea.

 

Perjanjian yang senilai 10,7 triliun Won Korea (USD 10 miliar) atau sekitar Rp 115 triliun, ini memungkinkan swap mata uang lokal antara kedua bank sentral Indonesia dan Korea. BCSA yang disepakati sejak oktober 2013 lalu, itu berlaku efektif selama tiga tahun, dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua pihak.

BACA JUGA: 25 Perusahaan Tambang Setuju Renegosiasi Kontrak

Tak hanya Korea, sebelumnya Indonesia juga pernah menyepakati perjanjian yang sama dengan Tiongkok, senilai ekuivalen USD 15 miliar pada 2010.

BACA JUGA: Target Bangun 999 Rusunawa untuk Ponpes

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo mengatakan, perjanjian ini bakal menjamin penyelesaian transaksi perdagangan dalam mata uang lokal antara kedua negara,sekalipun dalam kondisi krisis.

"Karena itu, perjanjian ini dapat mendukung stabilitas makroekonomi dan keuangan regional, dalam menghadapi ketidakpastian global yang masih tinggi," ungkapnya usai penandatangan BCSA, di Gedung BI, kemarin (6/3).

BACA JUGA: Dahlan Minta PLN Cepat Antisipasi Krisis Listrik di Jawa

Selain diteken oleh Gubernur BI, kesepakatan itu juga ditandatangani oleh Gubernur Bank of Korea Choongsoo Kim. Hubungan dagang Indonesia dengan Korea memang sangat erat. Dengan total perdagangan ekspor-impor mencapai USD 22,8 miliar per 2013, Negeri Gingseng itu menjadi negara tebesar kelima tujuan ekspor Indonesia. Sekaligus negara keenam terbesar sumber impor Indonesia mencapai USD 11,6 miliar.

Lantaran itu, dengan adanya BCSA, menurut Agus, tak ada lagi alasan bagi korporasi khususnya swasta di kedua negara, mengalami kerugian kurs akibat fluktuasi nilai tukar terhadap USD. Sebab, pebisnis Indonesia maupun Korea sudah dapat melangsungkan ekspor-impor menggunakan mata uang lokal masing-masing negara.

"Perusahaan Indonesia, BUMN maupun swasta pada tahun lalu banyak yang rugi karena nilai tukar. Kini tak bisa bilang rugi lagi karena foreign exchange. Kalau kita ada tagihan dalam Won Korea, atau Korea impor dari Indonesia, itu bisa gunakan dua currency," jelasnya.

Selama ini BI memantau banyak perusahaan di Indonesia khususnya swasta yang sering bermain risiko atas valuta asing (valas) di luar kegiatan usahanya. Misalnya utang luar negeri dalam valas padahal berpendapatan rupiah. Selain itu, belum banyak pula perusahaan yang menggunakan fasilitas hedging atau lindung nilai valas.

"Perusahaan di Indonesia apabila melakukan kegiatan usahanya harus fokus. Jangan ambil risiko dengan kurs mata uang. Saya maksud dengan perjanjian swap bisa kurangi risiko tersebut (rugi kurs)," paparnya.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Internasional BI Aida S. Budiman mengungkapkan, pihaknya saat ini tengah memfinalisasi PBI untuk operasional BCSA dengan Korea. Ia meyakini perjanjian BCSA tersebut bisa lebih aktif dibandingkan BCSA dengan Tiongkok.

Aida mengakui, sampai sekarang BCSA dengan Tiongkok belum diaktivasi. Sebab, ada kendala pada kebijakan pemerintah di Tiongkok yang mengembangkan dua skim penggunaan renmimbi. Yakni melalui komersial dan kerja sama dengan bank sentral.

Saat ini transaksi renmimbi berdasarkan komersial lebih berkembang daripada kerja sama antar bank sentral. "Di Korea tidak punya skim ini dari pemerintahnya. Jadi kami optimistis BCSA dengan Korea lebih efektif," paparnya.

Hingga kini, ia menyebutkan, transaksi perdagangan khususnya importasi menggunakan Won Korea masih mencapai USD 5,9 juta. (Gal)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Studi Kelayakan Tol Atas Laut Jakarta-Surabaya Segera Dilapor


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler