Tumbang di Final PD ke-6

Catatan Arsito Hidayatullah, Jakarta

Senin, 12 Juli 2010 – 12:17 WIB
LANGSUNG - Begini kira-kira mungkin pemandangannya kalau menonton langsung laga final Piala Dunia - jika anda adalah Presiden FIFA. Foto: Alexander Hassenstein/Getty Images/FIFA.com.
MAAFTulisan yang satu ini bukan kabar dari Afrika Selatan (Afsel)

BACA JUGA: Waka Waka di Closing Ceremony

Judul di atas juga bukan merujuk pada Belanda, karena tim Oranje sendiri baru menjalani final Piala Dunia (PD)-nya yang ketiga tahun ini
Ini adalah tulisan pribadi, berdasarkan pengalaman dan catatan pribadi, dari sudut pandang yang benar-benar pribadi (orang bilang namanya 'curcol')

BACA JUGA: Ibu-Anak Dukung Jerman

Tapi, mungkin saja cukup layak disimak sejenak, karena masih berhubungan dengan sepakbola dan world cup, cabang olahraga serta even yang disuka jutaan umat manusia, di Indonesia maupun di dunia.

Sejak awal gebyar PD 2010 mulai bergema, khususnya dalam beberapa bulan terakhir, saya secara pribadi sudah merasakan bangkitnya kembali semangat tersendiri
Pertama, sebagai salah seorang pecinta bola (meski bukan pemain maupun pengurus bola), kedua, sebagai seorang jurnalis yang notabene bakal berhubungan banyak dengan sumber data sekaligus sajian tulisan-tulisannya

BACA JUGA: Condong ke Spanyol, Kecewa ke Prancis

Dan sejak awal, kendati memfavoritkan kekuatan klasik macam Brazil dan Jerman untuk menjadi juara, keyakinan itu ada bahwa PD kali ini akan berbeda, bagaimanapun itu caranyaTentu saja, karena ini bukan kebetulan adalah even kali pertama di Afrika.

Dalam perjalanan itulah, ketika kemudian putaran final PD 2010 benar-benar dibuka dan berlangsung dengan segala kejutan dan dramanya, dari hari pertama hingga menjelang final, kenangan sejumlah PD sebelumnya pun kerap kembali hadir di ingatanKenangan akan laga final tepatnya, karena memang partai puncak-lah yang lazimnya oleh banyak orang lain juga paling dikenang.

Saya sudah merasakan atmosfir final PD sejak 1986 - mungkin juga sudah sejak Espana '82 meski ini samar-samar sekali - yang diadakan di MeksikoLogo PD bertopi sombrero itu masih terpatri di ingatan masa kecil karena terasa lucu dan menghiburSementara tayangan-tayangan pertandingannya yang diingat, adalah banyaknya hiburan adegan-adegan aneh dan kocak sebagai intermezoTayangan finalnya sendiri tak begitu ingat, namun di antaranya ada sosok Karl-Heinz Rummenigge, Rudi Voeller, serta Jorge Burruchaga (asal Argentina, yang kemudian jadi juara)Oya, sebelumnya, tentu gol 'tangan Tuhan' dan dribble separuh lapangannya Maradona (di perempat final) pun masih bisa diingat.

Eh, tapi kenapa sudah ada PD 1986, judulnya (sekarang) final ke-6? Ah, mungkin karena Mexico '86 sebenarnya belum 'masuk hitungan'Karena barangkali, bagi saya yang saat itu masih kanak-kanak, piala dunia itu lebih dirasa sebagai hiburan dan main-mainDan memang semestinya, bagi seorang anak-anak khususnya, sepakbola dan tayangannya tak lebih sebagai bagian dari sesuatu yang menyenangkanAsyik dan seru saja jika dimainkan, menghibur - dan kadang bikin takjub - saat disaksikanJelas, tidak ada hubungannya dengan bursa taruhan, permusuhan, sampai urusan politik kepengurusan, apalagi kerusuhan - yang parahnya sekarang pun malah bisa terjadi di negeri ini walau Indonesia sendiri tak terlibat di Afsel sana.

To cut the story short, empat tahun tak terasa, lantas sudah datang saja PD 1990 (di Italia)Lalu empat tahun berikutnya PD 1994 (di AS), dilanjutkan PD 1998 (Prancis), PD 2002 (Korsel-Jepang), serta PD 2006 (di Jerman), sebelum akhirnya hadir yang tahun iniFinal PD 1990 meninggalkan bayang-bayang tendangan penalti Andreas Brehme untuk kemenangan Jerman, yang saya nikmati tengah malam pada masa liburan di rumah tua di desa terpencil nan indah di Simarasok (Sumbar) sanaFinal 1994 saat mencari (kemungkinan) peluang kerja - antisipasi jika tak kuliah - di BatamLalu, final PD 1998 di masa-masa antiklimaks kegiatan demo aksi reformasi di Padang, final 2002 ketika sudah berstatus wartawan dan kebetulan tengah meliput di Pesta Danau Toba sendirian, serta final PD 2006 di Pekanbaru (sambil santai bersama rekan wartawan yang sama-sama terbiasa menulis bola).

Lantas sekarang, ternyata final PD 2010 yang sedari awal memang menarik karena ada hal-hal yang berbeda, harus berbeda juga bagi sayaBukan, bukan lantaran akhirnya dapat tugas yang diimpi-impikan dan hadir langsung di Afsel sana di tengah atmosfir aslinya yang pasti luar biasaSesuatu yang sampai seumuran ini masih saja menjadi mimpi saya kendati sebenarnya ada 'celah' untuk mewujudkannya (sebagai wartawan) - entah kalau 2014 di Brazil kelakYang berbeda adalah karena untuk (tayangan) final ini saya sama sekali harus melewatkannya, lantaran terbaring ketiduran di kantor sendirian, gara-gara perut yang melilit mules, masuk angin sejak sejam sebelumnya.

Baru terbangun ketika stasiun TV sudah 'ribut' membahas gol tunggal Spanyol yang jadi penentu itu, saya hanya bisa 'menikmati' jalannya laga lewat laporan internet dan sesekali cuplikan di TVApes? EntahlahPadahal di hampir seluruh pertandingan yang penting dan saya pilih ingin nikmati di sepanjang penyelengaraan PD kali ini, saya sukses bertahan bahkan sampai berita (laporannya) kelarPadahal pula hampir semua tugas pemunculan headline utama (world cup) portal JPNN ini sedari hari pertama tak pernah gagal dieksekusiLalu kenapa di final malah tumbang? Ah, tapi saya bertekad, kalau memang umur panjang, dan 2014 dapat kesempatan entah bagaimana berada di Rio de Janeiro atau Sao Paolo, tak akan ada lagi yang namanya 'tumbang-tumbangan' begini kelakIngat, ini janji seorang pecinta bola! (ito/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Topi Unik yang Bawa Hoki


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler