jpnn.com - Melihat anak percaya diri dan berani mengutarakan pendapat pasti menjadi dambaan setiap orang tua. Memang ada faktor genetik, namun rasa percaya diri anak sebagian besar dipengaruhi lingkungan sekitar, terutama orang tua.
***
BACA JUGA: Kurang Minum Timbun Batu
RASA percaya diri dapat dibangun sejak dini. Semakin dini, semakin baik. Sebab, rasa percaya diri yang tumbuh pada diri anak-anak akan memberikan pengaruh positif dalam masa perkembangan selanjutnya. Pada masa yang akan datang, anak lebih berani mengutarakan pendapat dan bermental kuat.
Menurut Srisiuni Sugoto PhD, bunda dapat menanamkan rasa percaya diri kepada buah hati sejak baru lahir. Namun, perlu diperhatikan, penanaman percaya diri disesuaikan dengan tahap usia anak berdasar pembagian teori Erik Erikson.
BACA JUGA: Terlalu Semangat Ngupil Berbahaya
Tahap awal, masa oral, saat bayi berusia 0–1 tahun. Pada masa tersebut, bayi mengembangkan rasa percaya terhadap orang sekitarnya. Bila bayi berhasil membangun rasa percaya terhadap bunda, akan terbentuk rasa nyaman dan terlindungi pada mereka. ’’Dekapan dan pelukan bunda sangat berpengaruh dalam pembentukan rasa percaya diri pada bayi. Mereka dapat memutuskan rasa percaya dan tidak percaya pada tahap awal ini,’’ terang dosen Fakultas Psikologi Ubaya tersebut.
Kegagalan pengembangan rasa percaya pada tahap itu akan berdampak fatal. Timbul ketakutan dan kegelisahan pada bayi. Tentu saja, hal tersebut berpengaruh pada tahap perkembangan selanjutnya. Rasa percaya diri pun tidak dapat terbentuk dengan sempurna.
BACA JUGA: Ini Tanda Anak yang Kemungkinan Idap Autisme
Tahap selanjutnya, usia 1–3 tahun, anak cenderung aktif dalam segala hal. Bunda dapat memanfaatkan masa itu untuk mengembangkan rasa percaya diri sekaligus kemandirian anak. Namun, bunda wajib mengontrol secara seimbang ruang gerak anak pada tahap tersebut.
Pembatasan ruang gerak, ungkap Siuni, dapat mengakibatkan anak menjadi pemalu dan tidak memiliki rasa percaya diri. Segala hal yang mereka lakukan akan selalu bergantung kepada orang lain. Sebaliknya, apabila bunda terlalu memberikan kebebasan, akan terbentuk kepribadian overpercaya diri. Mereka cenderung bertindak sesuai keinginannya tanpa memperhatikan baik dan buruknya. ’’Segala hal yang berlebihan itu juga tidak baik. Bunda harus pintar mengontrol ruang gerak anak. Bunda dapat mengajari mereka tentang berbagi dan privasi,’’ ujarnya.
Usia 3–5 tahun, anak memasuki tahap psikososial ketiga. Pada masapreschool tersebut, anak gemar mencoba segala hal yang baru dan dianggap menarik. Karena mulai berinteraksi dengan lingkungan di luar rumah, rasa ingin tahu anak semakin besar. Karena itu, memicu inisiatif untuk mencoba hal baru.
Psikolog 48 tahun itu menjelaskan, jika pola asuh orang tua terlalu otoriter, anak takut mencoba segala hal baru. Akibatnya, buah hati akan minder. Sebaiknya, orang tua memberikan pola asuh secara demokratis, namun tetap dalam pengawasan. ’’Kamu makan ini saja, jangan main jauh-jauh, pakai baju ini saja. Segala aturan itu akan membentuk rasa tidak percaya diri pada anak untuk mencoba hal baru,’’ kata perempuan berkacamata tersebut.
Meski demikian, bunda tidak patut memaksakan kehendak. Misalnya, bunda memaksa anak ikut lomba menyanyi agar percaya diri, namun anak menolak. Hal tersebut berakibat fatal. Bukan rasa percaya diri yang timbul, anak malah takut dan trauma. ’’Tolong jalan dengan ukuran sepatuku. Sehingga kamu akan tahu bahwa aku tidak bisa melangkah seperti orang dewasa. Ibarat itulah teriakan hati anak yang mendapat paksaan dari orang tuanya,’’ ungkap perempuan kelahiran Surabaya, 15 Maret 1966, itu.
Akar percaya diri semakin kuat apabila cara pola asuh pada tiga masa perkembangan awal tersebut dikombinasikan dengan cara perilaku bunda yang benar dalam menghadapi temperamen (sifat alami anak).
Teori Alexander Chess dan Stella Thomas membagi tiga kategori sifat bawaan lahir. Pertama, anak yang ’’mudah’’ dan memiliki mood positif. Artinya, anak terlahir dengan sifat yang mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sifat alami itu sering disertai energi sedang (tenang dan tidak berontak). Anak ingin selalu mendapatkan rasa nyaman. Dalam hal itu, bunda wajib memfasilitasi kebutuhan anak sehingga rasa nyaman pada diri anak tumbuh.
Kedua, anak ’’sulit’’ dan cenderung negatif. Anak mudah menangis dan rewel. Jika pola asuh otoriter orang tua diterapkan, si kecil cenderung kesulitan. Anak akan semakin reweldan agresif. Sebaliknya, bila orang tua memberikan pola asuh demokratis, anak tenang dan lebih percaya diri.
Ketika, anak yang ’’lambat’’ dan hangat. Anak memiliki sifat oversensitif. Dibutuhkan waktu lama untuk melakukan perubahan. Di sini juga diperlukan pemahaman dari orang tua. Bunda harus sabar mendampingi.(bri/mas/nda)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menopause Dini Sebabkan Penyakit Jantung
Redaktur : Tim Redaksi