SELAMA ini hanya menjadi semacam rumors. Tapi kali ini, isu pengendapan dana Tunjangan Profesi Pendidik (TPP) mencuat disertai data. Rekap data dari Kemenkeu menemukan, dana tunjangan guru yang ditransfer pusat ke seluruh pemda, untuk triwulan pertama dan kedua 2012, per Juli 2012 banyak yang belum disalurkan, alias ngendap di rekening kas pemda.
Jumlahnya lumayan gede, Rp10 triliun. Bahkan, sejumlah pemda, dana dua kali transfer itu ada yang seluruhnya belum dikirim ke rekening guru-guru. Meski ini data per Juli 2012, namun cukup miris. Yang berteriak kencang mengenai persoalan ini adalah Inspektur Jenderal (Irjen) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Haryono Umar.
Mantan pimpinan KPK itu pun mengancam akan meminta KPK menindak pejabat daerah yang memakan bunga endapan tunjangan guru itu.
Berikut wawancara reporter JPNN, M Fathra Nazrul Islam dengan Prof. Dr. H Haryono Umar, di Jakarta, Kamis (3/1).
Bagaimana soal tunjangan guru hasil penelusuran Itjen?
Ini kan anggaran transfer daerah. Jadi ternyata anggaran sektor pendidikan itu terbagi tiga. Pertama, yang di pusat di antaranya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sekitar Rp73 triliun, Kemenag Rp36 triliun, serta di kementrian yang lain.
Kedua, dana transfer daerah yang ditransfer dari Kementrian Keuangan ke daerah itu ada sekitar Rp220 triliun. Dan ketiga, yang diramaikan FITRA, yang namanya dana abadi pendidikan, itu sekitar Rp5 triliun. Dana transfer daerah adanya di APBD, dana abadi pendidikan di Kemenkeu. Jadi ini lah anggaran pendidikan. Ini memang dimana-mana ya. Kewenangan kita mengawasi hanya yang di Kemdikbud. Nah, yang ke daerah, termasuk tunjangan guru, tidak bisa kita awasi.
Namun temuan kita, per Juli 2012 itu ada sekitar Rp10 triliun tunjangan guru (semester awal) yang belum tersalurkan, itu terbagi di seluruh provinsi. Bahkan ada yang sampai Juli 2012 itu ada kabupaten yang masih nol realisasinya. Kalau satu daerah mendapat pagu tunjangan profesi Rp60 miliar, itu belum diapa-apakan anggarannya. Sekarang kita belum tahu realisasinya.
Daerah beralasan penyalran terkendala penghitungan jam mengajar 24 jam sebagai syarat pencairan tunjangan, apa itu satu-satunya alasan? Bagaimana dengan data fiktif?
Makanya itu harus dilakukan pengawasan. Mungkin bagaimana polanya, apakah persyataran 24 jam mengajar betul-betul persyaratan mutlak. Karena selama ini kan jadi kendala itu, bisa dimanfaatkan (dimanipulasi) juga kan. Inilah yang sedang kita bahas dengan KPK, Menkeu, Mendagri, BPKP, juga Kemenag. Kira-kira nanti bagaimana agar tidak ada lagi alasan menahan-nahan anggaran itu. Bila perlu payung hukumnya diperkuat.
Sebelumnya yang namanya APBD kan habis tahun itu kan. Cuma ya itu lah yang terjadi, masih ada yang mengendap di kas daerah. Bagaimana pertanggungjawabannya. Pada intinya uang itu uang guru, tidak boleh dikemana-manakan.
Apa tidak sebaiknya dikembalikan seperti dulu, langsung transfer ke guru seperti sebelum tahun 2010?
Sistem UU otonomi harus diubah, UU 32 tahun 2004 mengatakan bahwa ada fungsi-fungsi yang diserahkan ke daerah, salah satunya fungsi pendidikan. Nah di anggaran keuangann negara itu ada yang namanya money follow function, fungsinya sudah pindah ke daerah, maka uangnya ikut pindah. Seharusnya kalau uang ikut pindah ke daerah, harus diikuti dengan pengawasan dengan sistem yang kuat. Nah ini yang tidak diikuti, sehingga terjadilah seperti sekarang ini.
Jadi kalau mau ini tidak terus menerus seperti ini, kita kembalikan lagi seperti dulu, bahwa guru tidak termasuk dalam bagian yang didesentralisasi, dia kembali ke sentralisasi. Karena ternyata kepangkatannya masih ada yang di sini (pusat), gaji, tunjangan, ditambah lagi dari porsi anggaran Kemdikbud. Belum lagi masalah politik, kasihan guru diikutkan dalam masalah politik, guru harus betul-betul bebas dari masalah politik
Sekarang kan UU otonomi daerah sedang direvisi nih, dalam proses, itu harus betul-betul diyakinkan bahwa pendidikan terutama guru tidak termasuk yang diotonomikan untuk menjaga indepensi para guru, kesambungan karir dan kesejahteraan guru. Kalau seperti ini kan kasihan guru diombang ambingkan, dia tidak patuh pada pemerintah daerah dikucilkan, dihambat kenaikan pangkatnya, akibatnya ada di satu tempat kelebihan guru ada yang kekurangan guru. Jadi otonomi daerah itu bagus tapi ada yang tidak bagusnya, terutama untuk guru.
Jadi Itjen memandang bahwa guru tidak dimasukkan dalam desentralisasi otonomi?
Ya, karena kenyataan tetap saja guru jauh-jauh datang dari daerah mengurus keperluan ke pusat. Birokrasi tetap panjang. Jadi kalau saya secara pribadi bagusnya itu dikembalikan, sentralisasi, karena harapan para guru begitu loh. Kalau harapan guru kan UU untuk masyarakat, guru kan masyarakat, jadi harus memenuhi keinginan mereka, jangan UU memenuhi keinginan penguasa, itu namanya diskriminasi.
Soal anggaran yang ngendon itu apa Itjen ada kerjasama dengan daerah?
Kita ada lakukan audit di 10 daerah dan menemukan berbagai macam, itu sudah kita sampaikan, termasuk juga yang terhambat pencairannya. Soal data, ada kekurangan yang tidak terdeteksi dari awal, misalnya gaji itu setiap periode ada kenaikan, nah ini tidak disesuaikan sejak awal, jadi terakumulasi, sementara data terus berkembang. Angka Rp10 triliun itu adalah akumulasi dari semua daerah.
Tunjangan guru juga ada yang dipotong-potong Pemda, alasannya untuk biaya pemutakhiran data. Hampir di setiap kabupaten yang kita audit begitu kenyataannya. Tidak boleh itu. Mereka (daerah) kan sudah punya anggaran untuk manajemen pemutakhiran data itu, jangan lagi membenani guru, apalagi guru-guru swasta.
Akan menggandeng KPK untuk menelusuri pengendapan tunjangan guru?
Kami akan membahasnya juga dengan KPK, dengan upaya pencegahan dari KPK. Juga soal bunganya itu kemana, itu bisa ke penindakan.
Dalam soal pengawasan, siapa yang salah?
Pengawasan di daerah itu kan ada di Inspektorat. Tapi Inspektorat sendiri belum semua reform. Masih banyak yang main-main. Kita sudah minta akan Inspektorat ditingkatan, tapi alasannya anggaran kurang.
Peran DPRD mestinya seperti apa?
Ya DPRD mestinya memberi anggaran yang pantas untuk Inspektorat. Gimana mau jalan kalau bensin tak ada. DPRD harus ikut konsen ke pengawasan karena ini menyangkut pendidikan, menyangkut masa depan bangsa.
Berapa sih total dana pendidikan yang akan disalurkan ke daerah tahun ini?
Untuk tahun 2013 ini ada Rp220 triliun untuk anggaran dari pusat ke daerah. Sebanyak Rp128 triliun khusus untuk gaji guru. Dan Rp47 triliun untuk tunjangan guru. Jadi semuanya T, T, T, (triliun), tak ada yang M (miliar).***
Jumlahnya lumayan gede, Rp10 triliun. Bahkan, sejumlah pemda, dana dua kali transfer itu ada yang seluruhnya belum dikirim ke rekening guru-guru. Meski ini data per Juli 2012, namun cukup miris. Yang berteriak kencang mengenai persoalan ini adalah Inspektur Jenderal (Irjen) Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Haryono Umar.
Mantan pimpinan KPK itu pun mengancam akan meminta KPK menindak pejabat daerah yang memakan bunga endapan tunjangan guru itu.
Berikut wawancara reporter JPNN, M Fathra Nazrul Islam dengan Prof. Dr. H Haryono Umar, di Jakarta, Kamis (3/1).
Bagaimana soal tunjangan guru hasil penelusuran Itjen?
Ini kan anggaran transfer daerah. Jadi ternyata anggaran sektor pendidikan itu terbagi tiga. Pertama, yang di pusat di antaranya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sekitar Rp73 triliun, Kemenag Rp36 triliun, serta di kementrian yang lain.
Kedua, dana transfer daerah yang ditransfer dari Kementrian Keuangan ke daerah itu ada sekitar Rp220 triliun. Dan ketiga, yang diramaikan FITRA, yang namanya dana abadi pendidikan, itu sekitar Rp5 triliun. Dana transfer daerah adanya di APBD, dana abadi pendidikan di Kemenkeu. Jadi ini lah anggaran pendidikan. Ini memang dimana-mana ya. Kewenangan kita mengawasi hanya yang di Kemdikbud. Nah, yang ke daerah, termasuk tunjangan guru, tidak bisa kita awasi.
Namun temuan kita, per Juli 2012 itu ada sekitar Rp10 triliun tunjangan guru (semester awal) yang belum tersalurkan, itu terbagi di seluruh provinsi. Bahkan ada yang sampai Juli 2012 itu ada kabupaten yang masih nol realisasinya. Kalau satu daerah mendapat pagu tunjangan profesi Rp60 miliar, itu belum diapa-apakan anggarannya. Sekarang kita belum tahu realisasinya.
Daerah beralasan penyalran terkendala penghitungan jam mengajar 24 jam sebagai syarat pencairan tunjangan, apa itu satu-satunya alasan? Bagaimana dengan data fiktif?
Makanya itu harus dilakukan pengawasan. Mungkin bagaimana polanya, apakah persyataran 24 jam mengajar betul-betul persyaratan mutlak. Karena selama ini kan jadi kendala itu, bisa dimanfaatkan (dimanipulasi) juga kan. Inilah yang sedang kita bahas dengan KPK, Menkeu, Mendagri, BPKP, juga Kemenag. Kira-kira nanti bagaimana agar tidak ada lagi alasan menahan-nahan anggaran itu. Bila perlu payung hukumnya diperkuat.
Sebelumnya yang namanya APBD kan habis tahun itu kan. Cuma ya itu lah yang terjadi, masih ada yang mengendap di kas daerah. Bagaimana pertanggungjawabannya. Pada intinya uang itu uang guru, tidak boleh dikemana-manakan.
Apa tidak sebaiknya dikembalikan seperti dulu, langsung transfer ke guru seperti sebelum tahun 2010?
Sistem UU otonomi harus diubah, UU 32 tahun 2004 mengatakan bahwa ada fungsi-fungsi yang diserahkan ke daerah, salah satunya fungsi pendidikan. Nah di anggaran keuangann negara itu ada yang namanya money follow function, fungsinya sudah pindah ke daerah, maka uangnya ikut pindah. Seharusnya kalau uang ikut pindah ke daerah, harus diikuti dengan pengawasan dengan sistem yang kuat. Nah ini yang tidak diikuti, sehingga terjadilah seperti sekarang ini.
Jadi kalau mau ini tidak terus menerus seperti ini, kita kembalikan lagi seperti dulu, bahwa guru tidak termasuk dalam bagian yang didesentralisasi, dia kembali ke sentralisasi. Karena ternyata kepangkatannya masih ada yang di sini (pusat), gaji, tunjangan, ditambah lagi dari porsi anggaran Kemdikbud. Belum lagi masalah politik, kasihan guru diikutkan dalam masalah politik, guru harus betul-betul bebas dari masalah politik
Sekarang kan UU otonomi daerah sedang direvisi nih, dalam proses, itu harus betul-betul diyakinkan bahwa pendidikan terutama guru tidak termasuk yang diotonomikan untuk menjaga indepensi para guru, kesambungan karir dan kesejahteraan guru. Kalau seperti ini kan kasihan guru diombang ambingkan, dia tidak patuh pada pemerintah daerah dikucilkan, dihambat kenaikan pangkatnya, akibatnya ada di satu tempat kelebihan guru ada yang kekurangan guru. Jadi otonomi daerah itu bagus tapi ada yang tidak bagusnya, terutama untuk guru.
Jadi Itjen memandang bahwa guru tidak dimasukkan dalam desentralisasi otonomi?
Ya, karena kenyataan tetap saja guru jauh-jauh datang dari daerah mengurus keperluan ke pusat. Birokrasi tetap panjang. Jadi kalau saya secara pribadi bagusnya itu dikembalikan, sentralisasi, karena harapan para guru begitu loh. Kalau harapan guru kan UU untuk masyarakat, guru kan masyarakat, jadi harus memenuhi keinginan mereka, jangan UU memenuhi keinginan penguasa, itu namanya diskriminasi.
Soal anggaran yang ngendon itu apa Itjen ada kerjasama dengan daerah?
Kita ada lakukan audit di 10 daerah dan menemukan berbagai macam, itu sudah kita sampaikan, termasuk juga yang terhambat pencairannya. Soal data, ada kekurangan yang tidak terdeteksi dari awal, misalnya gaji itu setiap periode ada kenaikan, nah ini tidak disesuaikan sejak awal, jadi terakumulasi, sementara data terus berkembang. Angka Rp10 triliun itu adalah akumulasi dari semua daerah.
Tunjangan guru juga ada yang dipotong-potong Pemda, alasannya untuk biaya pemutakhiran data. Hampir di setiap kabupaten yang kita audit begitu kenyataannya. Tidak boleh itu. Mereka (daerah) kan sudah punya anggaran untuk manajemen pemutakhiran data itu, jangan lagi membenani guru, apalagi guru-guru swasta.
Akan menggandeng KPK untuk menelusuri pengendapan tunjangan guru?
Kami akan membahasnya juga dengan KPK, dengan upaya pencegahan dari KPK. Juga soal bunganya itu kemana, itu bisa ke penindakan.
Dalam soal pengawasan, siapa yang salah?
Pengawasan di daerah itu kan ada di Inspektorat. Tapi Inspektorat sendiri belum semua reform. Masih banyak yang main-main. Kita sudah minta akan Inspektorat ditingkatan, tapi alasannya anggaran kurang.
Peran DPRD mestinya seperti apa?
Ya DPRD mestinya memberi anggaran yang pantas untuk Inspektorat. Gimana mau jalan kalau bensin tak ada. DPRD harus ikut konsen ke pengawasan karena ini menyangkut pendidikan, menyangkut masa depan bangsa.
Berapa sih total dana pendidikan yang akan disalurkan ke daerah tahun ini?
Untuk tahun 2013 ini ada Rp220 triliun untuk anggaran dari pusat ke daerah. Sebanyak Rp128 triliun khusus untuk gaji guru. Dan Rp47 triliun untuk tunjangan guru. Jadi semuanya T, T, T, (triliun), tak ada yang M (miliar).***
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sanksi Jangan Terlalu Lama
Redaktur : Tim Redaksi