Tuntutan Jaksa Dinilai Abaikan Fakta Persidangan

Rabu, 12 Juni 2013 – 10:10 WIB
JAKARTA -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) dinilai tidak memertimbangkan sejumlah fakta persidangan, sehingga menuntut terdakwa Kukuh Kertasafari 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta dalam kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pasifik Indonesia (CPI).

Kukuh yang merupakan Koordinator Tim Environmental Issues Seatlement SLS Minas PT CPI, dituntut 5 tahun penjara pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (10/6) hingga Selasa (11/6) pagi.

Penilaian ini disampaikan Penasehat Hukum Kukuh, Maqdir Ismail, di Jakarta, Selasa malam (11/6). Menurut Maqdir, sejumlah fakta persidangan dikesampingkan JPU, sehingga terkesan menghalalkan segala cara untuk membuktikan tuntutannya.

Misalnya, kata dia, keterangan saksi-saksi yang menguntungkan terdakwa dibuat hampir tidak ada atau tidak tercatat dalam tuntutan JPU. "JPU terkesan menghalalkan segala cara untuk membuktikan tuntutannya dan mengabaikan fakta persidangan," ujar Maqdir.

Ia juga menilai keterangan ahli yang diajukan kliennya dari PT CPI, bernama Dikri juga dikesampingkan JPU. Dia menyesalkan keterangan Dikri yang merupakan Ahli Bioremediasi PT CPI, itu hampir tidak menjadi pertimbangan JPU sama sekali.
Sebelum proyek bioremediasi tahun 1994 silam itu dimulai, Dikri bersama tim lainnya dari PT CPI, telah melakukan berbagai penelitian tentang bioremediasi, sebelum pemerintah mewajibkan melakukan bioremediasi alias memulihkan kembali tanah yang terkena pencemaran minyak. Bahkan, Dikri merupakan orang yang menentukan SOP bioremediasi di PT CPI.

Kemudian, lanjut Maqdir, keterangan Suarno yang merupakan ahli tanah dari Institut Pertania Bogor (IPB), juga sama sekali tidak masuk catatan tim JPU yang menuntut Kukuh.

Saat memberikan keterangan keahliannya itu, Suarno menyangkal tata cara pengambilan sampel tanah yang dilakukan oleh JPU dari area bioremediasi, karena tidak sesuai dengan ketentuan.

"Saat JPU ambil sampel, ada yang tidak disepakati. Ini terjadi karena penanganan kasus ini buruk dari awal. Bahka ada penyidik yang terlibat dari mulai penyidikan sampai penuntutan. Kalau boleh, mungkin akan jadi hakim juga. Apa gak ada yang lain di Kejaksaan?" kata Maqdir.

Pada persidangan, Jumat (24/5/2013) lalu, salah seorang ahli bioremediasi bernama Sri Haryati Suhardi mengatakan, bahwa tenggat waktu 14 hari tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan proses bioremediasi. Penegasan ahli bioremediasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu bertolak belakang dengan dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
 
Keterangan ahli bioremediasi tersebut menyanggah dakwaan JPU yang mematok waktu 14 hari untuk menentukan berhasil tidaknya proses bioremediasi. Dalam dakwaan disebutkan, karena tidak terjadi penurunan TPH dalam 14 hari dan tidak ada mikroorganisme pendegradasi minyak, proses bioremediasi dinyatakan nihil. “Empat belas hari bukan acuan, karena tingkat keberhasilan diizinkan hingga 8 bulan,” kata Sri Haryati yang bersaksi untuk terdakwa Koordinator Tim Environmental Issues Seatlement SLS Minas PT Chevron, Kukuh Kertasafari.
 
Dia menjelaskan, 14 hari merupakan waktu bagi mikroba bekerja mendegradasi limbah minyak pada tanah tercemar. Kepmen nomor 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi, juga tidak mengatur batas minimal proses bioremediasi. “Dalam prakteknya, maksimumnya 8 bulan,” ujarnya.
 
Menurut Sri Haryati, Kepmen nomor 128 thun 2003, mewajibkan pemeriksaan persentase kandungan minyak mentah pada tanah tercemar atau Total Petroleum Hydrocarbon per dua pekan. Pengecekan minimal dilakukan 3 kali untuk melihat konsistensi hasil uji. “Kalau TPH sudah di bawah 1 persen, kita bisa nyatakan bioproses bisa dihentikan,” ujarnya.

Sedangkan pada persidangan pembacaan tuntutan yang berlangsung selama 13 jam dan melewati pergantian hari tersebut, yakni hingga pukul 03.45 WIB, Selasa, (11/6), JPU yang terdiri dari Sugeng Sumarno, Ariawan Agustiartono, dan Syamsul Kasim, meminta majelis hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih, menjatuhkan vonis 5 tahun penjara kepada Kukuh. Tidak hanya itu, Kukuh juga diharuskan membayar uang denda sebesar Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.

"Menyatakan terdakwa Kukuh Kertafasari terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi," kata jaksa Sugeng Sumaarno yang menjerat Kukuh dengan Pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Korupsi.

Dituntut 5 tahun dan denda Rp 500 juta, Kukuh berjanji akan mengajukan pledoi secara pribadi. Begitu juga dengan tim kuasa hukum. Majelis memberi kesempatan kepada Kukuh membacakan pledoi, Senin 17 Juni mendatang. "Banyak yang tidak sesuai dengan fakta persidangan," kata Kukuh, singkat.

Kukuh Kertasafari didakwa secara tidak sah telah menetapkan 28 lokasi tanah terkontaminasi limbah minyak (COCS), yaitu tanpa melakukan pengujian secara benar konsentrasi total petroleum hydrocarbon (TPH) yang tidak sesuai dengan Kepmen Lingkungan Hidup nomor 128 tahun 2003.

Setelah menetapkan tanah terkontaminasi, Kukuh membantu Direktur PT Sumigita Jaya Herland bin Ompo untuk melakukan pembersihan atau pengangkatan tanah dari beberapa sumber lokasi.

Sedangkan dari hasil pemeriksaan ahli Kejagung, tanah terkontaminasi minyak pada lokasi penampungan tanah (stockpile) di kedua lokasi tidak mengandung mikroorganisme pendegradasi minyak. Karena itu jaksa berkeyakinan tidak mungkin bioremediasi dapat terjadi.

Perbuatan Kukuh juga dianggap menguntungkan kontraktor proyek PT Sumigita karena biaya pekerjaan bioremediasi 6,9 juta USD dibebankan kepada negara melalui mekanisme cost recovery. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kemensos Jamin Distribusi BLSM Mudah dan Cepat

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler