Bali memutuskan untuk menunda membuka pintunya untuk turis internasional bulan depan, sehingga akan tutup hingga akhir tahun.
Mengingat situasi di Indonesia yang masih belum kondusif menjadi salah satu alasan yang dikemukan oleh Gubernur Bali, I Wayan Koster dalam sebuah pernyataan tertulis akhir pekan kemarin (22/08).
BACA JUGA: Perempuan Asal Jakarta Hibur Warga Melbourne dengan Sepatu Roda
"Kita tidak dapat membuka pinty untuk pendatang internasional hingga akhir tahun 2020 karena situasi di Indonesia, termasuk Bali, yang belum aman untuk menerima mereka," tulis Wayan Koster.
Tak hanya itu, Wayan juga mengatakan banyak negara di dunia belum membuka perbatasannya, seperti Australia, yang menyumbang turis terbesar ke Bali.
BACA JUGA: Banyak Tenaga Kesehatan di Victoria Tertular Virus Corona di Tempat Kerja
Dari data COVID-19 keluaran John Hopkins University yang diakses ABC Indonesia Kamis siang (27/08), kasus penularan di Indonesia telah mencapai 160.165 orang dengan hampir 7.000 kematian.
Rencana sebelumnya Bali akan dibuka pada 11 September mendatang, sementara turis lokal sudah diperbolehkan datang ke Bali sejak akhir Juli lalu.
BACA JUGA: Kisah 8 Guru Asal Bandung Mengajar Bahasa Indonesia Saat Australia Dilanda Pandemi
Bertahan tanpa pendapatan Photo: Putu Eka Juliawan (kanan) bersama dengan turis lokal baru-baru ini setelah Bali dibuka untuk pariwisata dalam negeri. (Koleksi pribadi)
Putu Eka Juliawan adalah pemilik penyewaan mobil di Denpasar dengan pelanggannya yang kebanyakan adalah turis asing.
"Sebelum pandemi, kami bisa menyewakan 25 sampai 30 mobil sehari, tapi sejak April pendapatan kita nyaris nol," ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.
Ia mengaku jika selama ini bertahan dari uang tabungannya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu ia juga mengatakan ada keringanan untuk pembayaran cicilan mobil yang lebih lama.
Namun tanpa pendapatan artinya ia tidak bisa lagi memperkerjakan sopir untuk saat ini dan banyak di antara mereka yang sekarang terpaksa kembali bertani di desa masing-masing.
Eka mengaku sedih dengan pembatalan dibukanya Bali untuk turis asing, yang juga dirasakan oleh banyak pelaku dan pekerja industri pariwisata.
"Tapi bisa apa lagi? Kita hanya bisa menunggu kebijakan pemerintah," ujarnya.
"Saya pribadi berharap kita bisa segera mendapatkan vaksin." 'Sedih melihat warga lokal' Photo: Janet DeNeefe mengaku sedih melihat kondisi warga lokal, namun tetap berusaha sebaik mungkin untuk membantu mereka. (Koleksi pribadi)
Janet DeNeefe, warga asal Melbourne yang memiliki restoran dan hotel di Ubud menyebut keputusan untuk menunda kedatangan turis asing ke Bali "tidak mengejutkan".
"Saya sudah merasa jika September adalah terlalu optimis, karena kasus COVID-19 yang masih naik," ujar Janet.
'Saya sedih melihat warga lokal. Mereka sebelumnya optimis jika bisnis mereka akan kembali, tapi tentunya kita harus menunggu apa yang akan terjadi."
Menurut data Biro Pusat Statistik tingkat hunian hotel di Bali telah turun sampai ke titik terendah, yakni hanya 2,07 persen di bulan Mei.
Janet yang sudah puluhan tahun tinggal di Bali mengatakan kebanyakan hotel saat ini tutup karena tidak ada gunanya beroperasi saat hanya sedikit orang yang datang berlibur. Aksi ekspat Australia di Indonesia
Merasa sebagai rumahnya sendiri, sejumlah warga Australia di Indonesia ikut membantu warga lokal.
"Kita punya satu kamar yang sekarang disewa oleh seorang perempuan dari Jakarta … tinggal di sini selama tiga bulan," kata Janet yang juga penulis buku kuliner.
Ia sendiri masih mencoba membuka bisnisnya dengan memperkerjakan warga lokal dengan jam kerja paruh waktu.
Menurut pengamatannya warga lokal telah mencoba apa yang mereka bisa lakukan untuk bertahan dan saling mendukung satu sama lain untuk menjual makanan dengan harga yang terjangkau.
"Kita mencoba mengembangkan aspek bisnis yang lebih ke makanan sederhana dengan harga yang lebih murah," ujarnya.
"Semua hal kecil sangat membantu … banyak warga yang berjualan beras seharga Rp 2.000 di depan rumah dan toko mereka," tambahnya. Kembali ke 'Budaya asli' Bali Photo: Banyak warga Bali yang kembali ke desa masing-masing untuk bertani. (Flickr: Andreas Hunziker)
Sektor pariwisata menjadi sumber pendapatan utama bagi kebanyakan warga, karenanya pelarangan perjalanan internasional benar-benar telah memukul perekonomian di pulau tersebut.
Menurut laporan Kopernik, sebuah lembaga non-profit di Ubud, 81 persen rumah tangga di Bali merasakan dampak ekonomi dari pandemi virus corona.
Sementara 44 persen di antaranya telah kehilangan pekerjaannya, baik sementara atau selamanya.
Gede Robi Supriyanto, musisi dan aktivis lingkungan, mengatakan angka tersebut menunjukkan betapa ketergantungannya Bali terhadap sektor pariwisata selama ini. Photo: Robi Supriyanto dari kelompok musik Navicula melihat Bali telah kembali ke budaya aslinya, yakni bertani. (Koleksi pribadi)
"Tulang punggung Bali selama ini adalah pariwisata dan ekonomi anjlok karena besarnya ketergantungan pada sektor pariwisata sangat tinggi," ujarnya kepada ABC Indonesia.
Namun menurutnya masalah ini telah menciptakan "pergeseran budaya" setelah warga lokal yang kehilangan pekerjaan kembali ke desa mereka.
"Akhirnya terjadi peningkatan kerja di sektor pertanian, efeknya terhadap lingkungan secara tidak langsung adalah banyaknya orang bertani, mereka lebih banyak menggarap lahan," jelasnya.
Ia melihat semakin banyak warga Bali yang mulai merawat air, memperhatikan alam, memikirkan lahan-lahan untuk dijadikan lebih produktif, yang sebelumnya beralih fungsi untuk infrastruktur pariwisata.
"Bali telah kembali ke akarnya, kalau mau melihat budaya asli Bali yang sebenarnya adalah bertani, ini yang kita lihat sekarang," ujar Robi 'Berserah diri pada alam'
Kenali dampak psikologi pandemi virus corona di Indonesia dan cara mengatasinya.
Robi yang juga vokalis band Navikula, kelompok musik yang memadukan musik rock dengan pesan lingkungan, merasa Bali selama ini telah mengeksploitasi alamnya untuk pariwisata dan kini telah kembali ke alam.
"Alam dan budaya adalah modal utama pariwisata Bali dan kini kita me-reset Bali," tambahnya.
"Orang-orang kembali memikirkan untuk melestarikan alam dan budaya Bali secara sengaja atau terpaksa karena pandemi."
Meskipun ia juga mengaku sedih melihat perekonomian yang sudah berjalan lama kemudian harus "paceklik", tapi ia dan banyak warga Bali lainnya mencoba untuk melihat dari sudut pandang yang berbeda.
"Dalam situasi seperti ini, kita perlu beradaptasi sehingga langkah yang kita ambil menjadi solusi," ujarnya.
Simak Ngobrol Bareng ABC Indonesia soal kondisi Bali di tengah pandemi COVID-19 dipandu oleh Farid M. Ibrahim, Jumat 28 Agustus 2020, pukul 14:00 WIB atau 17:00 Waktu Australia Timur di Facebook ABC Indonesia.
Baca beritanya dalam versi bahasa Inggris.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Korban Teror di Masjid Selandia Baru: Saya Kulit Putih dan Bangga Jadi Muslim