jpnn.com - Mata dunia masih terus ke Turki. Biarpun ada pelantikan perdana menteri baru. Di Pakistan Jumat lalu: Imran Khan.
Biarpun perang dagang Amerika-Tiongkok masih seru. Biarpun Mahathir akhirnya ke Tiongkok. Di hari Imran Khan jadi perdana menteri itu.
BACA JUGA: Antara Bali dan Jakarta
Mahathir yang selama ini terkesan anti-Tiongkok. Ke Tiongkok. Ditemani isterinya. Bertemu Jack Ma. Di pusat Alibaba di Hangzhou. Juga bersama Perdana Menteri Li Kejiang. Menghadiri penandatanganan banyak kerja sama.
Termasuk memproduksi Proton di Tiongkok. Mobil nasional Malaysia itu menggandeng Geely. Salah satu produsen mobil utama di Tiongkok.
BACA JUGA: Superman Itu Tetangganya Sendiri
Di sana Mahathir juga menawarkan durian yang dibekukan. Dalam jumlah besar.
Tapi Turki masih bikin waswas. Kejatuhan mata uang Turki bisa menular ke mana-mana.
BACA JUGA: Sajak Sunyi Sebelum Sapi Sepi
Apalagi ada kejadian Jumat lalu. Lembaga rating Standard & Poor's ikut bikin waswas. Menurunkan rating Turki. Dari B ke B-minus. Dengan tambahan: prospeknya negatif.
Dengan rating seperti itu sama artinya mendekati junk bond: bond yang dikeluarkan Turki bernilai sampah. Tidak laku. Artinya, Turki kian sulit cari sumber dana. Dari pasar uang. Kalau pun ada bunganya tinggi.
Mata uang lira Turki ikut merosot lagi. Di hari Sabtu. Lima persen. Setelah tiga hari sebelumnya menguat 17 persen. Yakni setelah bantuan USD 15 miliar diumumkan. Dari Qatar itu.
Turki masih gonjang-ganjing. ”Ini kudeta ekonomi,” ujar Presiden Erdogan di depan lebih lima ribu pendukungnya Sabtu malam kemarin.
Erdogan selalu punya istilah baru untuk yang mengancam kedudukannya. Ada kudeta militer: tahun 2016. Ia menegaskan Kiai Fetullah Gulen di balik kudeta itu.
Ada kudeta hukum: tahun 2013. Ia mensinyalir Kiai Fetullah Gulen ada di baliknya.
Ada kudeta ekonomi: tahun 2018. Ia menuduh Kiai Fethullah Gulen di baliknya.
Tiga kudeta. Satu Gulen.
Semua kudeta itu ingin: Erdogan jatuh. Kalah. Mundur.
Itulah kesimpulan Erdogan. Orang kuat Turki zaman ini.
Kudeta militer itu ia gagalkan. Kudeta hukum itu ia kalahkan. Kudeta ekonomi kali ini ia lawan.
Masih belum tahu apakah Erdogan akan berhasil. Kali ini.
Setidaknya Erdogan belum bisa menangkap Gulen. Erdogan dan Gulen itu sebenarnya satu kubu. Satu ideologi. Satu perjuangan. Sama-sama menentang sekulerisme. Sama-sama ingin Islam menjadi way of life dalam kehidupan sehari-hari.
Sama-sama antikomunis pula. Pernah saling bekerja sama. Lalu berbeda jalan. Berseberangan. Bermusuhan.
Di dunia komunis pun ada yang mirip Erdogan-Gulen ini. Sama-sama ideolog. Sama-sama seperjuangan. Sama-sama mendirikan partai komunis. Tapi kemudian berbeda jalan: Leon Trotsky dan Joseph Stalin.
Saling berjauhan. Saling jatuh-menjatuhkan.
Tapi ini di Turki. Saat kudeta itu terjadi Kiai Gulen tidak lagi di Turki. Ia tinggal di pengasingan. Sejak 1999. Di Amerika. Di negara bagian Pennsylvania. Sejak sebelum Erdogan jadi perdana menteri.
Di Amerika Kiai Gulen tinggal di satu padepokan luas. Di pintu gerbangnya tertulis: Chestnut Camp.
Di Amerika kata chestnut sering diberikan kepada kuda. Kuda pilihan. Yang berwarna chestnut. Kacang chestnut. Ada 30 orang yang tinggal di padepokan itu. Mereka adalah para Gulenis.
Kiai Gulen sendiri tinggal di satu kamar sempit. Tidak ada tempat tidur. Kasurnya ditaruh di lantai. Di dekat sajadah. Yang selalu terhampar. Untuk salat.
Chestnut Camp ini memiliki aula. Bisa untuk salat berjemaah. Bisa juga untuk tempat ceramah.
Kiai Gulen terus mengajar. Menulis. Menciptakan puisi. Juga merekam pidato-pidatonya. Videonya viral. Pengikutnya kian berjuta.
Sejak masih di Turki Fethullah Gulen sudah digelari kiai berjuta umat. Pengikutnya luar biasa. Ada yang menduga sampai 6 juta orang.
Mereka menyebut dirinya Gulenis. Lalu menyatukan diri dalam gerakan sosial. Ekonomi. Keagamaan. Demokrasi.
Lahirlah: Hizmet. Gerakan pelayanan untuk rakyat di segala bidang.
Hizmet lantas memiliki ribuan sekolah, poliklinik, koran (harian Zaman), stasiun teve (Jamanyolu TV) dan bank (bank Asya). Jemaatnya yang dari kalangan pengusaha juga besar: mendirikan semacam Kadin.
Ideologinya: rahmatan lil alamin. Kerukunan. Toleransi. Dialog antar-iman. Islam harus menjadi jalan hidup.
Dari jutaan pengikut Kiai Gulen banyak juga yang di militer. Di parlemen. Di kalangan penegak hukum. Hakim. Jaksa. Polisi. Bahkan di dalam partainya Erdogan sendiri.
Kiai Gulen punya doktrin “People of the Book” harus rukun. Islam-Kristen-Yahudi. Tidak boleh bermusuhan. Mereka itu sesama “People of the Book”. Ahli kitab.
Saya jadi ingat: tahun lalu. Membeli satu novel. Judulnya: People of the Book. Betapa mengharukan: yang menyelamatkan kepunahan kitab suci Yahudi itu ternyata orang Islam.
Novel itu begitu enak dibaca. Sastranya tinggi. Misinya mulia.
Saya sampai bilang ke teman-teman saya: novel “People of the Book” layak mendapat Nobel. Bidang sastra. Tidak perlu menunggu penulisnya meninggal dunia: Geraldine Brooks. Wartawan Amerika yang luar biasa. Pemenang Piala Oscarnya jurnalistik: hadiah Pulitzer.
Kiai Gulen kerasan tinggal di negerinya Geraldine Brooks. Menyandang predikat baru: teroris. Yang menuduh begitu adalah Erdogan. Stalin menuduh Trotsky.
Hizmet dituduh sebagai organisasi teroris. Semua usaha Hizmet dibubarkan. Secara paksa.
Harian Zaman diberedel. TV-nya diberangus. Banknya ditutup. Wartawan spesialis investigasi ditangkap. Tiga wartawan dihukum seumur hidup. Ada 73 wartawan lagi masih di penjara.
Seorang pastor ditahan. Namanya kini terkenal: Andrew Brunson. Dianggap terlibat dalam kudeta. Jadi mata-mata.
Brunson kini jadi tokoh dunia. Pastor biasa. Dibela Amerika. Sampai Presidennya sendiri turun tangan. Juga wakil presidennya: Mike Pence.
Trump menggunakan kekuasaan sepenuh-penuhnya. Termasuk sampai memberi sanksi ekonomi. Yang membuat lira kelimpungan.
Bukan tidak ada pembicaraan. Tahun lalu Erdogan mengirim utusan resmi. Dua menteri. Menlunya. Dan menantunya. Yang sudah menjadi menteri energi.
Secara resmi Erdogan minta Kiai Gulen agar dikirim pulang ke Turki. Sebagai gantinya Pastor Brunson dipulangkan ke Amerika.
Amerika menolak. Kiai Gulen sudah memegang KTP Amerika. Jenis green card. Permanent residence.
Amerika juga berpendapat tuduhan kepada Kiai Gulen itu mengada-ada. Tidak ada bukti.
Sebaliknya Turki juga menolak memulangkan Pastor Brunson. Yang keterlibatannya di kudeta jelas. ”Sejernih kristal,” kata Erdogan berkali-kali.
Setidaknya nama Brunson kini top sekali. Ia sendiri mungkin tidak mau pulang. Sudah sangat kerasan di Turki. Sudah 23 tahun di sana. Di sebuah kampung kecil. Di Kota Izmir. Dengan jemaat sekitar 30 orang.
Istri Brunson yang sangat gigih. Norine Brunson. Mengadukan kasus suaminya itu ke mana-mana. Termasuk ke presiden Amerika. Dan ke presiden Turki sendiri.
Semula tidak banyak yang peduli: Brunson berasal dari negara bagian North Carolina. Tepatnya dari kota Black Mountain. Tidak jauh dari kantor saya. Di Mount Holly.
Usaha Norine berhasil. Sebagian. Suaminya dikeluarkan dari penjara. Setelah dua tahun di dalamnya. Kini status Brunson tahanan rumah. Menunggu proses peradilan.
Erdogan memang melakukan pembersihan total. Setelah kudeta militer yang digagalkannya itu. Di tahun 2016 itu. Saat ia lagi melakukan perjalanan weekend.
Pembersihan itu akan mengarah ke Kiai Gulen juga. Erdogan minta dengan keras. Kepada Amerika. Agar Kiai Gulen diekstradisi. Dipulangkan ke Turki. Untuk diadili.
Yang didapat Turki adalah sanksi. Produk bajanya dikenakan tarir ampun-ampun: 50 persen kalau diekspor ke Amerika.
Erdogan terus melawan. Ia seorang fighter yang luar biasa.
Tapi musuh Turki saat ini tidak kasat mata: mata uang. Beda dengan tahun 2013. Saat terjadi –istilah Erdogan– kudeta hukum. ‘Kudeta’ pertama yang ia alami. Jauh sebelum kudeta militer dan kudeta ekonomi ini.
Itu tahun 2013. Ekonomi Turki lagi baik-baiknya. Nama Turki top. Bintangnya negara berkembang. Mega bintangnya negara Islam.
Di Indonesia nama Turki juga sangat harum. Jadi panutan. Untuk memajukan ekonomi. Dan memajukan masyarakat.
Sampai-sampai di PKS muncul 'aliran Turki'. Di samping aliran yang sudah ada: aliran Saudi dan aliran Mesir. Sampai-sampai kebab pun kini mengalahkan martabak.
Erdogan menjadi pahlawan. Buah bibir. Idola.
Banyak yang ingin terinspirasi: apa kunci memajukan Turki. Di sinilah orang bisa salah menilai Erdogan. Tidak semua kunci itu bisa dibuka. Banyak kuncinya yang rahasia.
Erdogan tokoh yang berani vivere pericoloso. Nyerempet-nyerempet bahaya. Menerobos sana menerobos sini.
Karakter pemimpin belum tentu bisa ditiru. Karakter Erdogan amat kuat. Penirunya bisa-bisa akan ketahuan: palsu.
Salah satu terobosannya itu… adalah… rahasia.
Ups…. perlukah saya ungkapkan di sini?
Erdogan sangat nasionalis. Agamis. Untuk berambisi memajukan Turki. Apa pun akan ia lakukan. Termasuk melakukan terobosan yang berisiko ini: Pasar gelap.
Pasarnya gelap. Tapi hasilnya terang. Bisa memajukan ekonomi Turki.
Erdogan harus menanggung risiko. Dicurigai. Kanan kiri. Luar dalam.
Dan Erdogan tidak mungkin bisa menjelaskan dunia gelap itu. Itu rahasia negara. Juga keamanan anak buahnya. Yang bergerak di kegelapan itu.
Tidak mungkin seorang Tommy Winata menjelaskan fungsi sebenarnya. Tentang dirinya. Mengapa ia terlibat di operasi Kalimantan Utara. Atau di Timtim. Atau operasi-operasi yang lain. Yang semuanya penugasan rahasia. Demi negara.
Mustahil pula menyebut sumber dananya. Yang dilakukan timnya Erdogan sangat-sangat rahasia: mengirim emas ke Iran.
Untuk apa? Agar Turki mendapat gas. Dengan harga murah. Untuk kebangkitan ekonominya.
Gas itu dikirim lewat jalan memutar. Lewat perusahaan dagang tertentu.
Kalau ditotal, emas yang dikirim ke Iran itu senilai hampir Rp 200 triliun. Semua melalui skema rahasia. Kalau ketahuan bisa celaka.
Iran lagi dalam status diisolasi. Oleh negara-negara barat. Siapa yang berdagang dengan Iran akan mendapatkan hukuman dari Amerika.
Seperti perusahaan telekomunikasi Tiongkok ZTE. Yang ketahuan rahasianya: jualan ke Iran. Lalu disanksi oleh Amerika. Bayar denda 40 triliun rupiah. Dan hampir saja tutup. Tidak boleh beli chip dari Amerika.
Turki lebih pintar dari ZTE. Tidak ketahuan. Setidaknya tidak ada bukti. Tidak ada aliran uang. Tidak ada transaksi bank.
Tapi asapnya sampai ke mana-mana. Asap yang bukan muncul dari api. Asap itu tidak bisa dipegang. Tapi baunya terhirup.
Entah siapa menggunakan siapa: tiba-tiba terjadi penangkapan besar-besaran. Di Turki. Oleh penegak hukum.
Mula-mula dirut sebuah BUMN yang ditangkap: Suleyman Aslan. Ditemukan uang USD 4,6 juta di rumahnya. Di dalam kardus sepatu.
Penangkapan merembet ke mana-mana. Sebanyak 51 orang pejabat diperiksa. Dengan tuduhan korupsi.
Pedagang emas itu: didakwa melakukan penyelundupan. Pejabat-pejabat partainya Erdogan pun kena. Lalu dua menteri.
Turki heboh besar. Pemerintahan Erdogan terpojokkan. Citranya: banyak melakukan korupsi. Memberi aib.
Beberapa anggota DPR mundur. Dari partai Erdogan sendiri. Malu.
Arah berikutnya kian jelas. Menyasar ke anak-anak Erdogan: Bilal dan Burak Erdogan. Bahkan akhirnya akan sampai ke Erdogan sendiri.
Bumi Turki gonjang-ganjing. Langitnya kelap-kelap.
Tapi Erdogan tidak kehilangan pegangan. Ia genggam kekuasaannya. Ia remaskan ke telapaknya. Kuat-kuat.
Ia pecat jaksa agungnya.
Ia pecat kepala polisinya.
Hakim. Jaksa. Polisi. Tentara. Semua dirombak.
Dan Erdogan dapat dukungan publik. Tapi juga begitu banyak yang sakit hati.
Erdogan lolos dari kejatuhan. Lantas ia ciptakan istilah itu: kudeta hukum. Upaya menggulingkan Erdogan melalui cara penegakan hukum: memberantas korupsi.
Tiga tahun kemudian terjadi kudeta militer. Tahun 2016. Tak lain sebagai buntut peristiwa 2013 itu.
Jumat sore itu Erdogan sedang liburan di luar kota. Malamnya sejumlah tank tentara terlihat di jalan-jalan raya. Yang di Ankara menuju istana. Yang di Istanbul menuju jembatan Bosporus.
Istana dikepung. Lalu dibombardir. Jembatan Bosporus diblokade.
Kendaraan dari arah Eropa tidak bisa melintas ke arah Asia. Selat Bosporus yang cantik itu menjadi tegang.
Bandara Internasional Istanbul ditutup. Dikuasai militer.
Rakyat bingung. Ada apa. Maunya menunggu kabar. Tidak ada penjelasan. Media sosial heboh: di mana Erdogan. Tidak ada kabar.
Semua membuka handphone. Saling komunikasi. Terbelah.
Lewat tengah malam baru jelas. Lima belas menit setelah pukul 00.00 Erdogan muncul di “Facebook”. Memberikan seruan: lawan!
Heboh!
Media sosial tidak tidur.
Erdogan menentukan bentuk perlawanan itu: people power. Rakyat diminta keluar rumah. Turun ke jalan. Menenuhi semua jalur.
Bentrokan terjadi. Hampir 300 orang tewas. Ribuan luka-luka. Heroik sekali. Rakyat mengalahkan tank. Jalan-jalan padat manusia.
Media sosial mengalahkan persenjataan berat. Kudeta gagal.
Penangkapan pun dilakukan. Kepada yang terlibat kudeta. Kepada pendukungnya. Termasuk pastor itu. Dan Kiai Gulen.
Erdogan memberlakukan keadaan darurat. Media diberangus. Oposisi dilibas. Erdogan berjanji: akan mengembalikan demokrasi.
Hanya saja ia ingin melakukan perubahan mendasar. Tidak mau lagi sistem parlementer. Ia ingin pindah ke sistem presidensial. Yang lebih stabil.
Maka usulan perubahan pun dirumuskan. Perubahan konstitusi. Untuk disetujui atau ditolak. Dalam sebuah referendum nasional. Yang dijadwalkan tahun 2017.
Usulan perubahan itu meliputi:
1. Dari parlementer ke presidensial.
2. Presiden lebih memiliki kekuasaan.
3. Presiden mengangkat hakim agung dan jaksa agung.
4. Anggota DPR dari 550 menjadi 600.
Dalam kartu suara hanya ada dua pilihan: evet atau hayir. Setuju atau menolak. Itulah referendum.
Rakyat diminta mencatatkan diri ke KPU. Ikut referendum. Yang mendaftar 58 juta orang. Dari total penduduk 80 juta. Hampir 100 persen penduduk dewasa ikut.
Hasilnya:
51 persen evet.
49 persen hayir.
Erdogan kian percaya diri. Ia janjikan pemilu. Di tahun 2018. Mengembalikan demokrasi.
Pemilu pun berlangsung.
Erdogan menang.
Partainya, AKP, mendapat 290 kursi. Belum cukup mayoritas. Tapi hanya kurang 11 kursi. Ia rangkul partai MHP. Yang punya 50 kursi.
Erdogan pun berhasil membentuk pemerintahan. Yang sekarang ini. Dengan Erdogan menjadi presiden Turki pertama. Di bawah konstitusi baru.
Tapi ia belum berhasil membawa pulang Kiai Gulen. Yang kini sudah berumur 77 tahun. Dan masih tetap saja jomlo. Tidak pernah menikah.
Seperti juga Trotsky dan Stalin, hubungan Erdogan dan Gulen akan abadi. Dalam sejarah perjalanan dua ideolog.
Dan akan selalu begitu. Selalu terulang. Seperti antara Mao Zedong dengan Lin Piao. Ayatullah Khomeiny dengan Rafsanjani. Bung Karno dan Syahrir. Jokowi dan Mahfud MD….(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tit-for-Tat Setelah Telat 30 Menit
Redaktur : Tim Redaksi