Turun Gunung

Oleh: Dahlan Iskan

Jumat, 20 Januari 2023 – 07:07 WIB
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - COVID selesai, profesor senior harus turun gunung lagi. "Hari ini saya operasi bedah jantung ke-3 sejak diminta turun gunung lagi 11 Januari lalu," ujar Prof Dr Puruhito, kemarin.

November depan usia Prof Ito genap 80 tahun.

BACA JUGA: Tri Dharma

Berarti tiap dua hari Prof Ito turun gunung. "Jadwal saya ke depan tiap dua atau tiga hari operasi," katanya.

Operasi yang ditugaskan kepada Prof Ito adalah yang punya nilai pembelajaran. Kalau operasinya biasa-biasa saja tidak perlu beliau.

BACA JUGA: Ngaji Wagiman

Ada pelajaran tambahan dari operasi kemarin: benang yang diperlukan tidak ada. Yakni benang ukuran 4.0. Yang ada ukuran lebih kecil, 5.0.

Lalu apa yang harus dilakukan: harus lebih hati-hati. Bagaimana cara hati-hati: calon dokter bedah jantung dapat penjelasan dari Prof Ito.

BACA JUGA: Sobekan Irawan

Di operasi kedua pasca Covid, ada pelajaran dadakan juga: setelah jantung dibuka, ditemukan juga tumor di dalamnya.

Meski itu tidak ada dalam rencana operasi, tumor itu harus dibuang: bagaimana membuang tumornya.

Kalau sebatas tidak ada benang ukuran tertentu masih bisa dicarikan jalan keluar. Tidak perlu menunda operasi. Tetapi kalau menjelang operasi tidak tersedia obat, ya harus ditunda.

Maka bertambahlah persoalan reformasi kesehatan: jumlah dokter spesialis, ketersediaan obat dan peralatan.

Untuk obat dan pendukung yang diperlukan operasi jantung, misalnya, 90 persen masih impor. Itemnya begitu banyak.

Pelayanan kepada pasien tidak hanya soal ketersediaan dokter spesialis tetapi juga obatnya.

Lalu soal alat. Salah satu penyebab mengapa spesialis berkumpul di kota besar adalah kelengkapan alat. Dokter itu tidak hanya perlu gaji besar. Tetapi juga kepuasan dalam mempraktikkan ilmunya.

Saya jadi ingat dokter Boyke, ahli ginjal. Ketika diminta pindah ke kota kecil, yang ia tanyakan tidak hanya gaji. Tetapi juga apakah kota tersebut mau membelikan alat yang ia inginkan. Yang di kota sebesar Surabaya pun, saat itu, belum punya.

Begitu Gubernur (waktu itu) Awang Faroek membelikan alatnya, Boyke langsung pindah ke Samarinda.

Orang Surabaya seperti istri saya pun harus operasi ke Samarinda. Untung bisa sekalian pulang kampung.

Jadi, Menkes Budi Gunadi Sadikin harus menyediakan begitu banyak alat untuk begitu banyak spesialis di begitu banyak kota kecil. Dan Menkes sudah menyanggupinya.

Rupanya kalangan dokter sudah semakin kompak: mendukung reformasi kesehatan.

Orang seperti Prof Dr Ario Djatmiko (72 tahun) ahli  kanker senior itu, menulis dukungan yang sangat rinci. Termasuk soal memperbanyak spesialis lewat hospital based. Bahkan lebih hebat lagi: spesialis bedah jangan sampai mengusir bedah umum.

Misalnya, untuk operasi payudara. Bisa dilakukan dokter bedah umum yang cukup  dilatih secara khusus. Maka, kata Prof Miko, harus dibedakan antara pendidikan dan kursus.

Pendidikan itu untuk urusan karakter. Termasuk pendidikan spesialis. Kursus untuk meningkatkan keterampilan.

Prof Dr Siti Fadilah pun memberikan dukungan yang rinci. Mantan menteri kesehatan yang kritis itu punya mantera: kekurangan dokter spesialis adalah nyata, kekhawatiran terjadi kelebihan dokter tidak harus dikhawatirkan

Bahkan, Siti Fadilah langsung saja: setujui RUU Kesehatan. Kekurangan dokter spesialis itu akan teratasi.

Bagaimana dengan dokter lulusan luar negeri? Orang seperti Prof Puruhito dan Ario Djatmiko tidak punya problem apa-apa.

Keduanya pulang dari luar negeri sebelum aturan adaptasi dan ujian ada. Dan lagi, keduanya adalah perintis di bidang masing-masing.

Covid sudah selesai. Selamat turun gunung ramai-ramai. (*)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Gunung Poso


Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler