jpnn.com - Aneh. Kok bisa. Pukul 09.30 malam sudah tidur. Tiap hari. Setengah jam sebelumnya pun sudah mulai mengantuk.
Itulah saya. Maret tahun 2020. Gara-gara COVID-19.
BACA JUGA: Suluk Pencuci Hati
Padahal saya dulu pernah mengklasifikasikan diri sebagai ”orang malam”. Sejak umur 30, saya bekerja nyaris sepanjang malam.
Kian malam kian melotot: mempertaruhkan mutu koran yang akan dinilai pembaca keesokan harinya. Setiap malam mutu koran itu terus dipelototi sampai pukul 00.30.
BACA JUGA: Maulina Moli
Tiap malam.
Begitu bergairah. Membayangkan semua pembaca akan tertarik pada isi koran yang disiapkan malam itu.
BACA JUGA: Puasa Mutih
Setelah itu masih harus ke percetakan. Siapa tahu ada kerusakan mesin. Sampai pukul 02.00 atau setelahnya.
Pagi-pagi saya sudah harus di kantor lagi. Selama lebih 25 tahun. Sampai akhirnya terkena kanker hati itu. Tahun 2006 itu.
Lebih 25 tahun lamanya saya begadang sepanjang malam untuk perusahaan. Tidak membayangkan kelak, di bulan Maret 2020, akan bisa tidur pukul 9 malam.
Memang sejak operasi kanker hati itu hidup saya dipaksa slowdown. Namun hanya berhasil dua tahun.
Setelah itu kembali bekerja siang-malam lagi. Selama lima tahun di PLN dan di Kementerian BUMN.
Setelah itu belum bisa juga santai. Bahkan justru terkena stres berat. Selama dua tahun.
Selepas stres itulah baru punya kesempatan keluyuran ke segala pelosok dunia. Selama dua tahun. Hampir tiada henti.
COVID-19 yang membuat saya jinak. Kini saya harus me-lockdown diri di rumah. Di Surabaya. Ikut masak. Ikut main gamelan di studio sebelah rumah.
Dan setelah dua minggu lockdown, irama hidup berubah total. Kantuk pun datang setiap pukul 9 malam. Apalagi kalau naskah DI’s Way sudah selesai saya tulis.
Hanya kadang saja saya masih memaksakan diri nonton Liga Dangdut Indonesia. Namun setelah penyanyi pertama tampil, tidak kuat lagi menahan kantuk. Ganti penyanyi kedua itu yang menonton saya dari layar kaca: tergeletak di kasur di depan tv.
Akibatnya, pukul 02.30 pun saya sudah bangun. Tidak bisa tidur lagi.
Ternyata banyak hal yang bisa dilakukan sepagi itu. Revolusi ponsel benar-benar mengubah hidup manusia.
Kalau tidak, saya pantas khawatir istri saya akan hamil lagi.
Saat istri saya masih lelap itu, saya mengajar jurnalistik. Jarak jauh. Untuk 13 mahasiswa tingkat akhir yang ingin jadi wartawan. Saya pun sibuk memeriksa kiriman-kiriman WA mereka.
Pukul 04.00 saya pindah ke beberapa urusan pribadi. Lalu minum air hangat. Sebanyak setengah liter. Itu harus saya lakukan sebelum minum obat wajib: immunosuppression 1 mg.
Itulah obat untuk menurunkan imunitas saya. Agar hati orang lain yang saya pakai sekarang ini bisa kerasan di tubuh saya.
Setelah minum obat saya banyak membaca. Apa saja. Lewat ponsel.
Satu jam kemudian saya minum lagi air putih: hangat. Setengah liter lagi. Untuk obat kedua: baraclude. Yang terkait dengan kesehatan lever.
Berarti pada pukul 05.30 saya sudah minum air-putih-hangat sebanyak satu liter.
Sambil terus main ponsel saya makan satu buah pisang. Lalu satu mangkok kecil oatmeal --tanpa gula, tanpa susu, tanpa garam, tanpa apa pun.
Ups... ada! Ada dua telur ayam di dalamnya --diaduk ketika oatmeal mau diangkat dari kompor.
Istri saya tidak mau kalah. Pukul 04.00 sudah di dapur. Dia bahimat kalau masak. Biarpun kami hanya 4 orang (saya, istri, Kang Sahidin, dan Pak Man) rasanya dia seperti menyiapkan makan untuk 40 orang.
Tidak ada pembantu wanita di rumah. Istri saya terlalu jagoan untuk urusan dapur, taman, dan rumah.
Pukul 06.00 kurang lima menit saya berangkat ke tempat senam. Bersama istri.
Sejak sebulan lalu kami sudah membuat peraturan ketat di grup senam kami: tidak usah saling salaman.
Dan sejak 10 hari lalu aturan itu ditingkatkan: senamnya harus saling jaga-jarak-aman-corona. Saat foto bersama pun harus berjauhan.
Kami juga mengikuti saran dokter: cari tempat senam yang ada terik mataharinya. Untuk memperoleh tambahan vitamin D. Agar bisa menambah imunitas.
Kadang, sambil ”berjemur” itu saya tersenyum sendiri: pagi tadi saya minum obat penurun imunitas, kok sekarang ingin menambah imunitas.
Senam itu nonstop. Selama satu jam penuh. Tiap hari --kecuali Senin.
Senamnya senam dansa. Lagunya campuran. Barat, Mandarin, dangdut, India, Latino --semua ada. Mulai Twist Again, Xiao Ping Guo, sampai Bojo Anyar.
Suatu hari kami ingin mencoba memainkan semua lagu yang kami punya. Bagi yang tidak kuat boleh berhenti di tengah jalan.
Ternyata diperlukan lebih 3 jam nonstop. Separuh anggota grup kami kuat sampai selesai --termasuk saya.
Untung olahraga kami senam. Bisa berjauhan. Bagaimana bisa main sepak bola berjauhan.
Kami, 4 orang, lockdown bersama. Pak Man yang hampir 80 tahun juga sehat. Mobil kami tidak pernah dimasuki orang lain --selama lockdown.
Kalau kami merasa bosan di rumah saya ingat astronaut. Yang setahun lamanya sendirian di luar angkasa. Ia di dalam sebuah kapsul yang tidak sebesar rumah manusia.
Sekarang saya tambah ingat satu lagi: Aminarto. Yang kuat puasa mutih 40 hari. Yang tiap hari hanya makan 2 potong singkong kukus.
Apalah artinya lockdown dibanding dua contoh itu.
Bagi yang membayangkan lockdown itu harus tetap enak, mungkin mimpi hidupnya memang serbaenak:
Waktu kecil bisa dimanja.
Waktu muda bisa foya-foya.
Waktu tua kaya raya.
Waktu mati masuk surga.(***)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menjadi Ayah
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi