Ubah Ketakutan tentang Covid-19 dengan Aset Perubahan Perilaku

Sabtu, 21 November 2020 – 23:22 WIB
Warga yang mewaspadai virus corona menggunakan masker wajah. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - AC Nielsen melakukan survei untuk menggali sikap masyarakat terkait praktik pencegahan virus corona pada kehidupan sehari-hari.

Survei yang dilakukan atas kerja sama dengan UNICEF ini dilakukan di enam kota besar di Indonesia dengan 2.000 responden. 

BACA JUGA: Reaksi Nikita Mirzani soal Didoakan Dapat Hidayah

Hasil survei menunjukkan, 69,6% responden di enam kota tersebut mengaitkan virus corona dengan aspek negatif seperti, berbahaya, menular, darurat, mematikan, menakutkan, khawatir, wabah, pandemi, dan penyakit. 

“Ketakutan jika dimanfaatkan dengan benar, bisa mengarahkan ke perilaku yang lebih baik. Karena kalau tidak diolah dengan baik ketakutan ini hanya akan jadi ketakutan saja, tidak menjadi aset untuk mengolah perubahan perilaku,” ujar Rizky Ika Syafitri, UNICEF Communications Development Specialist dalam diskusi yang digelar Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN).

BACA JUGA: Tak Perlu Khawatir, Infrastruktur dan SDM Indonesia Siap Lakukan Vaksinasi COVID-19

Untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya perubahan perilaku ini, lanjutnya, penting juga untuk mengetahui media penyalurannya yang tepat.

Sumber informasi yang paling dipercayai masyarakat mengenai virus corona ini adalah media massa televisi, kemudian diikuti oleh koran, radio, media sosial, WhatsApp Group, pemberitaan media online, dan situs internet.

BACA JUGA: Berinovasi, Solusi Menjawab Tantangan di Kala Pandemi

“Jadi kalau untuk perubahan perilaku, kita cari tahu yang terpercaya. Karena kalau terpercaya asumsinya masyarakat akan mau melakukan perubahan yang dipromosikan. Medium televisi masih menjadi salah satu penyaluran terkuat untuk dimanfaatkan. Yang menarik juga di sini tokoh masyarakat dan tokoh agama masih didengarkan oleh masyarakat,” tutur Rizky.

Itu sebabnya, masyarakat harus terus diingatkan soal kampanye memakai masker, menjaga jarak aman, dan mencuci tangan (3M).

Ini dikatakan Rizky merupakan satu paket protokol kesehatan yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk mencegah penularan virus corona.

Imbauan ini perlu dipatuhi dan dijalankan secara disiplin, mengingat langkah ini adalah rekomendasi dari para ahli dan dokter. 

Survei juga mengungkap perilaku masyarakat terkait menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak (3M) secara rill di lapangan menunjukkan bahwa 31,5% responden melakukan secara disiplin. Sekitar 36% responden melakukan dua dari perilaku 3M.

Sementara 23,2% melakukan 1 dari perilaku 3M. Hanya 9,3% dari responden yang tidak melakukan kepatuhan terhadap 3M sama sekali.

“Apabila kita analisa secara individual, menjaga perilaku jaga jarak (47%) lebih rendah daripada memakai masker (71%) dan mencuci tangan (72%). Khusus untuk jaga jarak, didapatkan ternyata ada aspek norma sosial yang berperan di sini misalnya, merasa tidak enak menjauh dari orang lain, orang lain yang mendekat ke saya, atau berpikir bahwa semua orang juga tidak menjaga jarak,” imbuh Konsultan UNICEF Risang Rimbatmaja.

Selanjutnya, konsep kesalahan persepsi bahwa orang yang kelihatan sehat, dianggap tidak bisa menularkan penyakit juga menjadi faktor rendahnya penerapan perilaku menjaga jarak di kalangan masyarakat.

“Yang tidak kalah menonjol adalah salah persepsi, saya sehat atau orang lain sehat kenapa harus jaga jarak. Kelihatannya konsep Orang Tanpa Gejala (OTG) masih belum betul-betul berada di benak masyarakat,” jelas Risang.

Perlu bagi masyarakat luas mengetahui konsep OTG, karena masyarakat menjadi merasa tidak perlu menjaga jarak. Apabila masyarakat mengetahui lebih jauh lagi soal cara penularan virus corona, diyakini bahwa masyarakat akan melakukan pencegahan lebih disiplin lagi.

Kebanyakan responden berpikir bahwa penularan virus corona melalui orang yang batuk dan bersin (71%).

Hanya 23-25% responden yang menyebutkan penularan virus corona melalui berbicara dan bernafas.

Ini menjelaskan, mengapa jaga jarak dianggap tidak terlalu perlu saat berbicara dengan orang lain selama lawan bicara tidak batuk atau bersin.(chi/jpnn)


Redaktur & Reporter : Yessy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler