Udik-Udik

Jumat, 03 September 2021 – 17:53 WIB
Warga saat mengambil kaus dari Presiden Jokowi yang jatuh ke irigasi di Cirebon, Jawa Barat, Selasa (31/8/2021). (ANTARA/Ho-Riri)

jpnn.com - Presiden Jokowi melakukan misi muhibah ke Cirebon pada Rabu (1/9), menyambangi rumah rakyat yang sedang melaksanakan program vaksinasi dari rumah ke rumah.

Dalam kunjungan itu, seperti biasanya, Jokowi melakukan ritual khas, bagi-bagi hadiah dengan menyebarkannya kepada masyarakat yang berkerumun.

BACA JUGA: Warga Cirebon tak Menyangka Presiden Jokowi Berkunjung ke Rumahnya

Rakyat berebutan untuk mendapatkan peparing (pemberian) Jokowi. Bahkan ada yang rela terjun ke selokan untuk mengambil peparing yang dilemparkan oleh para pembantu presiden.

Rakyat tidak merasa risi terjun ke selokan yang kotor, malah merasa senang karena bisa mendapatkan peparing dan presiden.

BACA JUGA: Aster Panglima TNI Tinjau Serbuan Teritorial Skala Besar di Kuningan

Dalam praktik budaya Jawa ada tradisi yang disebut sebagai udik-udikan. Ketika seseorang ‘’nduwe gawe’’ atau punya hajatan tertentu biasanya si empunya hajat menyebar uang kecil dalam bentuk logam atau pecahan kecil, disertai beberapa jenis makanan kudapan seperti kue dan jenang.

Masyarakat berebutan untuk mendapatkan udik-udikan. Bocah-bocah kecil, gadis-gadis remaja, dan ibu-ibu, berdesakan untuk mendapatkan udik-udikan. Bahkan ada juga sebagian bapak-bapak yang ikut berebut.

BACA JUGA: Didampingi Kepala BIN, Jokowi Masuk ke Gang-Gang di Cirebon

Udik-udikan juga menjadi tradisi orang-orang ningrat. Yang dibagi-bagikan lebih banyak dan yang berebut lebih banyak lagi, bukan cuma anak-anak, orang-orang dewasa pun berebutan.

Para bangsawan Jawa melakukan udik-udikan dalam kunjungan ke desa-desa. Para kawula alit, rakyat jelata, berjejeran di pinggir jalan menanti udik-udikan yang dilempar sang bangsawan.

Raja-raja Jawa juga melakukan tradisi udik-udikan. Dari atas kereta kencana raja melempar pemberian dalam bentuk aneka ragam, mulai dari uang kertas sampai kain atau pakaian. Para kawula berebut bukan sekadar untuk mendapat pemberian raja, tapi ‘’ngalap berkah’’ dari sang raja.

Dalam konsep kekuasaan Jawa raja adalah titisan para dewa. Wakil Tuhan di bumi. Benda-benda yang didapat dari sang raja diyakini punya khasiat magis yang bisa membawa efek positif bagi yang menerima. Barang-barang itu juga diyakini bisa menyembuhkan penyakit dan disimpan sebagai jimat.

Ritual udik-udikan dilakukan untuk menunjukkan kebesaran dan kedermawanan raja kepada rakyat. Melalui udik-udikan, raja memamerkan sikap benevolent, baik hati dan pengasih.

Rakyat menerima pemberian itu dengan gembira dan penuh syukur karena merasa mendapat berkah dari raja sebagai penguasa dan wakil Tuhan di bumi.

Di masa kolonial Belanda tradisi udik-udikan diadopsi oleh para penjajah. Mereka bagi-bagi uang receh untuk menunjukkan superioritas orang kulit putih atas inlander jajahannya. Dari atas kereta kuda penguasa Belanda menyebarkan uang atau barang. Rakyat berebutan dan penjajah tersenyum senang.

Raja tradisional memperoleh legitimasi kekuasaan dari wahyu kedaton. Para penjajah mendapatkan legitimasi kekuasaannya dari kekuatan senjata melalui ekspansi kolonialisme dan imperialisme.

Di tangan para penjajah, ritual udik-udikan yang transenden dan sarat dengan nilai-nilai ketuhanan, berubah menjadi simbol dominasi dan sekaligus hegemoni penjajah terhadap jajahannya.

Sebagai manusia Jawa, Jokowi tahu persis tradisi udik-udikan itu. Semasa tinggal di Surakarta ia menyaksikan tradisi kirab. Mungkin dia dan teman-temannya juga ikut berebut tumpeng atau malah pernah menyimpan teletong Kiai Slamet, kerbau piaraan keraton yang dianggap keramat.

Semasa muda Jokowi menyaksikan kebesaran raja-raja keraton dalam berbagai ritual. Seorang raja gung binatara yang berwibawa, dari atas kereta kencana melemparkan udik-udikan kepada rakyat yang menunggunya di sepanjang jalan.

Di setiap kunjungan sang raja selalu menyediakan barang dan makanan untuk dilempar sebagai udik-udikan kepada rakyatnya.

Ketika sekarang menjadi presiden, Jokowi ‘’ngugemi’’ dan ‘’nguri-nguri’’ tradisi itu. Di setiap kunjungan ke berbagai daerah, di setiap kesempatan blusukan, Jokowi selalu menyediakan barang dan bahan makanan untuk disebarkan sebagai udik-udikan kepada kawulanya.

Semua presiden Indonesia sejak Soekarno sampai Jokowi adalah orang-orang Jawa–kecuali masa kekuasaan Habibie yang singkat–yang mempraktikkan mistisisme Jawa dengan caranya masing-masing.

Presiden Soekarno sangat akrab dengan mistisisme Jawa dengan praktik-praktik meditasi yang rutin.

Seperti tradisi raja Jawa Bung Karno diyakini punya hubungan erotis dengan Nyai Roro Kidul penguasa laut Jawa. Sang Nyai digambarkan sebagai wanita cantik yang mengendarai kereta kuda menembus gelombang samudra.

Di sebuah kamar di Hotel Indonesia di Sukabumi yang menghadap pantai selatan Bung Karno punya kamar khusus yang dipakai untuk bersemedi dan bermeditasi untuk berkomunikasi dengan Nyai Roro Kidul.

Di dinding kamar hotel terdapat lukisan besar Sang Nyai yang beratribut serba-hijau dan mengendarai kereta kuda.

Presiden Soeharto juga pengamal kejawen yang fanatik. Ia menjalankan kekuasaan kepresidenannya sebagai raja Jawa yang dermawan dengan kekuasaan yang mutlak. Sebagai raja Jawa Pak Harto tidak pernah marah di depan publik.

Ia memberi reward and punishment, hadiah dan hukuman, sambil tetap tersenyum. Pak Harto tidak pernah menunjukkan emosinya di depan umum. Saat marah dia tersenyum, apalagi saat senang.

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur keturunan ningrat kiai, tetapi dia juga pengamal mistisisme Jawa. Gus Dur paham betul mistisisme Islam ala Nahdlatul Ulama (NU) yang sangat erat kaitannya dengan mistisisme Jawa.

Karena itu Gus Dur santai saja ketika dimandikan dengan bunga pada ritual-ritual tertentu.

Megawati Soekarnoputri mewarisi spritualitas sinkretis dari bapaknya. Ia sering mengikuti ritual semedi dalam kunjungannya ke Bali.

Susilo Bambang Yudhoyono bersikap dan berperilaku sebagai presiden dan raja Jawa.

Ia berkata dan memberi gestur secara terukur dan menjaga emosinya seperti seorang raja. Ia mengikuti tradisi mistis dan menghindari pantangan-pantangan.

Sekarang Joko Widodo yang melanjutkan tradisi itu. Ia menjalankan kekuasaan kepresidenan sebagai raja Jawa yang menguasai Nusantara. Dalam beberapa kesempatan Jokowi mengenakan pakaian kebesaran raja Jawa.

Ia melakukan ritual-ritual kejawen rutin. Ia percaya weton dan ‘’naga dina’’, yang berhubungan dengan hari baik dan buruk.

Pak Harto ataupun SBY yang memainkan dramaturgi presiden-raja Jawa secara sempurna. Jokowi masih sering kedodoran.

Dedeg atau tampilan fisik Jokowi tidak sesempurna Pak Harto atau SBY. Tubuh Jokowi yang kurang berisi membuatnya diledek oleh Fadli Zon sebagai “Prabu Kantong Bolong” dalam lakon “Petruk Dadi Ratu”.

Kunjungan Jokowi ke Kasunanan Cirebon adalah muhibah Raja Jawa ke wilayah-wilayah kekuasaannya. Cirebon juga mempunyai tradisi keraton yang kuat di masa lalu yang beda dengan tradisi kerajaan Jawa.

Keraton Cirebon tetap bisa mempertahankan independensinya dari kerajaan-kerajaan Jawa.

Kali ini Raja Jokowi bermuhibah sambil melakukan udik-udik. Rakyat rela berebut sampai masuk ke selokan untuk memperebutkan peparing dari sang raja.

Peparing itu bukan sekadar benda biasa, tetapi dianggap sebagai jimat. Karena itu masuk ke selokan yang kotor pun tidak menjadi masalah bagi para kawula. (*)Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler