Ukraina Timur Tuntut Referendum seperti Crimea

Rabu, 09 April 2014 – 06:04 WIB

KIEV - Krisis di Ukraina bagian timur terus meningkat setiap hari. Senin (7/4) massa pro-Rusia menduduki gedung-gedung pemerintahan milik Ukraina di tiga kota. Yaitu, Kharkiv, Luhansk, dan Donetsk. Massa yang menguasai Donetsk menyatakan, mereka akan memisahkan diri dari Ukraina seperti Crimea. Mereka berencana mendirikan Republik Rakyat dan akan mengadakan referendum pada 11 Mei mendatang. 
 
Tentu, pemerintah Ukraina tidak tinggal diam. Kemarin (8/4) mereka berhasil mengambil kembali gedung di Kharkiv dari massa pro-Kremlin. Otoritas pemerintah Ukraina berharap mereka pun akan menguasai dua gedung lainnya secepatnya. Pemerintah sebenarnya sudah berusaha berbicara dengan massa pro-Kremlin di Donetsk, namun belum ada hasil.
  
"Situasi di timur Ukraina sudah terkontrol, tetapi tetap berbahaya," ujar Wakil Menteri Luar Negeri Ukraina Danylo Lubkivsky. Beberapa polisi terluka dalam penyerangan di Kharkiv tersebut. Sebanyak 70 orang pro-Kremlin ditangkap tanpa tembakan.
  
Presiden sementara Ukraina Oleksandr Turchynov menegaskan, massa yang menguasai gedung di tiga kota tersebut akan dicap teroris dan pelaku kriminal. Mereka akan diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Meningkatnya ketegangan di wilayah timur Ukraina itu membuat Amerika Serikat (AS) cemas. Menteri Luar Negeri AS John Kerry pun menelepon Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.
  
Kerry beranggapan bahwa kisruh di Ukraina secara tidak langsung merupakan campur tangan Rusia. Sebab, pengambilalihan gedung pemerintah di tiga kota tersebut tampak terencana dan bukan aksi spontan. Ada kemungkinan aksi tersebut sudah diskenario.
  
Kerry pun memperingatkan Lavrov. Jika benar Rusia ikut campur dan berusaha mengakuisisi Ukraina, hal tersebut menimbulkan kerugian bagi Rusia. Sebab, tidak tertutup kemungkinan deretan sanksi di Negeri Beruang Merah itu bakal bertambah panjang. Rusia menyarankan Ukraina agar tidak menggunakan senjata dalam merebut gedung di tiga kota tersebut. Sebab, ketika senjata digunakan dan ada yang terluka atau terbunuh, kondidi itu bisa memicu perang saudara.
  
Negeri yang dipimpin Vladimir Putin tersebut menolak dikatakan ikut campur dalam kerusuhan di timur Ukraina. Sampai detik ini, pemerintah Rusia memang belum mengakui pemerintahan Ukraina yang baru. Namun, soal kerusuhan yang terjadi di negeri tersebut, Rusia menyalahkan pihak barat. Sebab, mereka selama ini mendorong Ukraina untuk berpihak pada negara-negara barat atau timur.
  
Dia juga menegaskan, Rusia siap ambil bagian untuk perdamaian di Ukraina. Termasuk di dalamnya membicarakan masa depan negeri yang tengah mengalami krisis di berbagai sektor tersebut. "Sejatinya, kami siap mempertimbangkan pembicaraan antara Eropa, Amerika Serikat, Rusia, dan Ukraina," ujar Lavrov.
 
Namun, NATO berpendapat lain. Sekjen Nato Anders Fogh Rasmussen memperingatkan Rusia untuk segera mundur dan tidak ikut campur dalam masalah Ukraina. "Jika Rusia mengintervensi Ukraina lebih jauh, ini akan menjadi kesalahan yang akan dikenang dalam sejarah dengan konsekuensi terkuburkan hubungan antara NATO dan Rusia. Selain itu, Rusia akan terisolasi secara internasional," tegasnya. (AFP/BBC/sha/c15/tia)

BACA JUGA: Amerika Bakal Uji Senapan Elektromagnetik

BACA ARTIKEL LAINNYA... YouTube Minta Turki Cabut Pemblokiran


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler