jpnn.com - SAYA mati kutu. Sumber berita saya kali ini pandai mengelak.
Waktu saya tanya soal keputusannya memberhentikan dekan fakultas kedokteran, Rektor Unair Prof Dr Muhammad Nasih justru balik bertanya: "sebaiknya bagaimana? Mohon saran dan nasihatnya, Pak Dahlan."
BACA JUGA: Disangka Gas
Saya memang bertanya: "apakah setelah didemo Kamis lalu Pak Rektor tetap pada keputusannya?"
Saya pun mengejar lewat beberapa pertanyaan lain. Dia menjawab: "putusan saya itu demi kemajuan Unair."
BACA JUGA: Ditoto Dito
Kabar baiknya: Jumat kemarin rektor mengundang tokoh-tokoh fakultas kedokteran. Termasuk guru besar yang sudah pensiun tetapi masih tetap top: Prof Dr Ario Jatmiko.
Diundang pula koordinator lapangan demo: Dr dr Yan Efrata Sembiring. Dia ahli bedah jantung. Ketua program studi. Doktor Yan ketua Program Studi Ilmu Bedah Torak Kardiak dan Vaskular.
BACA JUGA: Daging Babi
Saya pun menghubungi dokter Yan. Dia lulus SMA di Medan, lalu kuliah di Unair.
"Ingin keluar dari Medan. Saya cari tahu, Unair hebat," katanya. Sampai jadi dokter spesialis pun di Unair. Lalu meraih gelar doktor di kampus yang sama.
Dalam penelitian untuk disertasinya, Dr. Yan menemukan pembuluh darah pengganti untuk bedah jantung by pass.
Sekitar 20 persen yang melakukan by pass kesulitan karena tidak ada pembuluh darahnya.
Dokter Yan menemukan: pembuluh darah usus sapi bisa sebagai pengganti: dikombinasi dengan stem cell.
"Saya mengoordinasikan demo agar terarah. Tidak brutal," ujar Dr Yan. "Kalau sampai brutal, kan, mencoreng nama baik Unair," tambahnya.
Waktu bertemu rektor kemarin, Dr. Yan memperjuangkan aspirasi fakultas kedokteran. Yakni agar Prof Dr Budi Santoso direhabilitasi jabatannya sebagai dekan.
Saya juga menghubungi Prof Bus –panggilan Budi Santoso. Tidak direspons. Prof Bus sudah tiga tahun jadi dekan. Tahun depan masa jabatannya habis. Tidak mungkin dipilih lagi karena sudah 62 tahun.
Prof Bus memang sangat dicintai. Juga sangat berprestasi. Ranking kualitas Fakultas Kedokteran Unair naik terus. Kerja sama internasional juga terus bertambah.
Akan tetapi yang jelas Prof Bus sangat humble. Tidak sok kuasa. Menghargai anak buah, termasuk dalam melakukan pemanggilan nama.
"Memanggil saya pun Bang Yan. Bukan dokter Yan," ujar Dr. Yan.
Dr. Yan adalah teman olahraga Prof Bus. Lari. Tiap Sabtu lari bersama. Dari fakultas kedokteran ke tengah kota.
Pekan lalu sama-sama pula ikut maraton di Yogyakarta. Setengah maraton: 21 km.
Keduanya sudah beberapa kali ikut half marathon. Termasuk di luar negeri. Prof Bus adalah ahli spesialis obstetri dan ginekologi. Asli Unair.
Apakah dalam pertemuan hampir dua jam dengan rektor juga dibahas soal dokter asing?
"Tidak. Kami murni bicara soal Prof Bus," ujar Dr. Yan.
Pemberhentian Prof Bus sebagai dekan memang terkait soal dokter asing. Prof Bus punya sikap menolak dokter asing.
Rektor sendiri tidak keberatan dengan sikap Prof Bus. Asal sebagai pribadi. Atau sebagai ketua asosiasi. Prof Bus adalah ketua AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia). Anggotanya 97 FK se-Indonesia.
Rektor keberatan kalau sikap itu diatasnamakan Fakultas Kedokteran Unair. Unair adalah perguruan tinggi milik negara. Harus mendukung program pemerintah.
Saya juga dihubungi Menkes Budi Sadikin. "Pak Dahlan, apa salah saya? Kok dikaitkan dengan pemberhentian dekan FK Unair," ujarnya.
"Terkait dekan FK Unair, terus terang saya tidak mengerti mengapa dikaitkan dengan Kemenkes. Kemenkes tidak membawahi Unair, tidak ada wewenang mengatur Unair. Saya juga tidak ada kontak dengan rektor, dan jujur juga tidak masalah dengan pernyataan dekan FK Unair itu. Bingung saja ada kejadian ini seakan saya intervensi ke Unair. Astaga".
Lalu, apakah jabatan Prof Bus akan dikembalikan?
"Kita lihat mana yang baik," ujar rektor.
Rektor Unair sendiri sangat berprestasi. Dia bukan dokter. Dia akuntan.
Baru sekali ini Unair dipimpin seorang akuntan. Waktu masa jabatan pertamanya habis langsung tidak ada saingan untuk menjabat periode kedua.
Rektor ini juga dikenal sebagai Orla --orang Lamongan.(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pusat Data
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi