Badan Intelijen Iran telah memperingatkan warga yang mengikuti unjuk rasa yang semakin memanas belakangan ini bahwa mereka telah melanggar hukum dan bisa dituntut.

Pernyataan tersebut tertulis di situs berita Iran setelah unjuk rasa terjadi sejak meninggalnya Mahsa Amini, yang ditangkap karena mengenakan pakaian "tidak senonoh".

BACA JUGA: Tangan Nenek Nell Cooper Siap Ditato Bila Sydney Swans Menang di Final AFL

Aksi unjuk rasa tersebut sudah menyebar ke lebih dari 80 kota di Iran, dan didominasi partisipan perempuan yang melambaikan dan membakar jilbab, hingga memotong rambut mereka di depan umum.

Kelompok HAM mengatakan setidaknya 31 warga telah terbunuh dalam unjuk rasa tersebut, sementara stasiun televisi setempat mencatat 17 kematian.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Ada Planet Lain yang Punya Cincin Selain Saturnus?

Kamis lalu (22/09) pengunjuk rasa di Tehran dan beberapa kota Kurdi bahkan membakar kantor dan kendaraan polisi.

"Setelah melihat eksploitasi beberapa peristiwa yang baru-baru ini [unjuk rasa] oleh kelompok oposisi, keterlibatan dalam perkumpulan ilegal ... [perilaku demikian] bisa berujung pada tuntutan yudisial," bunyi pernyataan dalam situs yang mengutip menteri.

BACA JUGA: Ini Cara Menenangkan Bayi yang Menangis Menurut Sains

Mahsa yang berusia 22 tahun mengalami koma ketika ditahan polisi sebelum akhirnya meninggal di rumah sakit.

Presiden Iran Ebrahim Raisi telah mengumumkan akan melakukan penyelidikan penyebab kematiannya. Pihak berwajib namun membantah tuduhan mereka telah menganiaya massa.

Video yang beredar di media sosial menunjukkan seorang pria yang ditembak oleh pihak keamanan berdarah di jalan, sehingga mengundang teriakan para pengunjuk rasa yang meminta tolong.

Video lain menunjukkan seorang polisi menembak pengunjuk rasa yang merobek spanduk pro-pemerintah di provinsi Khorasan Utara. Tidak jelas apakah pria tersebut luka-luka.'Jangan lepaskan para kriminal'

Massa pendukung pemerintah akan melakukan unjuk rasa mereka Jumat ini, menurut media setempat Iran.

"Ini keinginan warga Iran: jangan lepaskan para kriminal," tulis sebuah editorial di koran Kayhan.

Unjuk rasa karena kematian Mahsa adalah aksi protes terbesar yang pernah terjadi di Republik Islam tersebut sejak 2019.

Sekelompok pakar PBB, termasuk Javaid Rehman, wartawan khusus HAM di Iran, dan Mary Lawlor, wartawan khusus pembela situasi HAM, menuntut pertanggungjawaban Mahsa.

"Kami terkejut dan sangat sedih mendengar kematian Mahsa," bunyi pernyataannya.

"Ia adalah korban lain dari represif dan diskriminasi sistematis terhadap perempuan di Iran dan tuduhan aturan berbusana yang mencabut otonomi tubuh perempuan dan kebebasan beropini, ekspresi, dan kepercayaan mereka."

Amerika Serikat pada hari Kamis, telah memberikan sanksi karena moralitas Iran, menuduh mereka telah melakukan kekerasan terhadap perempuan Iran dan melanggar hak pengunjuk rasa Iran, ujar Bendahara AS.Kebebasan pribadi

Kematian Mahsa telah membangkitkan amarah terhadap isu kebebasan pribadi di Iran, termasuk di antaranya aturan gaya berpakaian yang ketat bagi perempuan, dan guncangan ekonomi akibat sanksi tersebut.

Pemimpin Iran khawatir munculnya unjuk rasa di tahun 2019 akibat kenaikan harga gas, fenomena paling berdarah di negara tersebut, bisa kembali terulang lagi.

Sekitar 1.500 orang terbunuh dalam unjuk rasa tersebut.

Pengunjuk rasa juga mengutarakan amarah mereka pada Kepala Negara Iran Ayatollah Ali Khamenei.

"Mojtaba, semoga Anda meninggal dan tidak menjadi Kepala Negara," sahut pengunjuk rasa di Tehran, mereferensi pada anak Ayatollah yang menurut beberapa orang bisa melanjutkan warisan kepemimpinan ayahnya.

Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan ABC News dalam bahasa Inggris

Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?

BACA ARTIKEL LAINNYA... Eks Polisi Australia yang Membantu Korban Bom Bali Mengenang 20 Tahun Lalu

Berita Terkait