Untung Cacian Tak Runtuhkan Fly Over

Kamis, 03 Januari 2013 – 08:31 WIB
Pembangunan Fly Over mengubah wajah kota Pekanbaru, Ibukota Provinsi Riau. Foto: Humas Pemprov Riau
SERING kita bertanya, mengapa kita tidak bisa seperti negara-negara lainnya di dunia? Kita sering tunjuk laut kita yang luas, daratan yang subur, sumber daya alam yang melimpah, lokasi strategis dan lain sebagainya. Seolah menempatkan kita di surga dunia tapi mengeluh menjadi negeri yang biasa-biasa saja. Kita selalu bertanya, tanpa pernah mau tahu apa sebab di balik itu semua.

Alih-alih mencari sumber persoalan, kita justru lebih sering terjebak mencari kesalahan sebagai dalil pembenaran. Salah satunya, pemimpin sering disebut tidak bisa berbuat. Tidak melahirkan kebijakan yang pro rakyat. Kebijakan apapun dinilai salah. Tidak tepat atau pun disebut tidak membawa manfaat. Pesimisme yang biasanya berimbas pada nihilisme perubahan.

Itulah pula yang saya rasakan, ketika pertama kali melahirkan ide pembangunan jembatan layang atau fly over di jalan Sudirman Pekanbaru. Belum lagi tiang terpancang, kanan kiri sudah menghadang. Lagi-lagi untuk kesekian kali, program kerja untuk rakyat, disebut hanya proyek buang-buang duit. Tak terkira sudah hantaman rasa pesimisme dan sinisme terhadap salah satu ‘mimpi besar’ itu.

Padahal marilah sejenak kita menyimak. Usia kota Pekanbaru, Ibukota Provinsi Riau, sudah memasuki 228 tahun. Usia yang sangat tua melebihi usia manusia. 2,5 Abad lebih menjadi bagian dari sebuah negeri dan 67 tahun tercatat menjadi bagian dari bumi bernama Indonesia. Namun jantung kota dimana Riau berdetak dan bergerak ini, 10 tahun lalu sama sekali jauh dari kata kota metropolis. 

Infrastruktur seadanya. Jalan, jembatan, bangunan, perkantoran, perumahan, semua biasa-biasa saja. Hanya ada satu gedung tinggi, namanya Surya Dumai. Hanya ada dua jembatan tua, Siak I dan Siak II. Hanya ada jalanan, yang semakin hari semakin sempit. Kita punya fasilitas publik, yang jauh dari kata apik. 

Berhari-hari di awal mendapat amanah, sering saya berpikir lama. Karena dipercaya menjadi pemimpin, tidak hanya dituntut bisa berucap tapi berbuat. 'Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri. Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat'. Kutipan gurindam Raja Ali Haji itulah yang jadi pegangan.

Perubahan tidak bisa menunggu kata nanti. Tapi hari ini juga. Seorang pemimpin harus bisa memberi bukti kepada rakyatnya, bahwa pembangunan infrastruktur adalah nyata pembawa perubahan. Terlebih lagi Kota Pekanbaru sebagai Ibukota Provinsi, terpilih menjadi tuan rumah berbagai event akbar.

Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII dan Islamic Solidarity Games (ISG), bukan hanya sekedar pesta olahraga di negeri kita. Tapi inilah momentum untuk Pekanbaru dan Riau secara umum menunjukan jati dirinya. Kita bisa bangkit. Kita bisa membuat perubahan.

Setahap demi setahap, dimulailah pembangunan di Ibukota Provinsi Riau ini. Gedung 9 lantai yang menjadi pusat pelayanan daerah berdiri indah. Lalu terbangun gedung pustaka Riau, yang menjadi tempat baca termegah se Indonesia. Terbangun jalan raya, pelabuhan, bandara dan fasilitas publik lainnya guna mengimbangi geliat pembangunan yang terjadi.

Kota Pekanbaru juga menjadi pusat pembangunan berbagai venues olahraga. Bukan hanya berkelas nasional tapi juga internasional. Fasilitas yang lebih dari setengah Abad merdeka, tak pernah dimiliki kini telah bisa kita nikmati. Pembangunan-pembangunan itu mulai memberi dampak baik. Ibarat gula, mulai dirubungi semut investasi. Menggeliatlah perekonomian yang terlihat dari semakin macetnya jalanan. Pergerakan barang dan orang sudah demikian hebatnya.

Cukupkah itu semua? Belum. Pekerjaan belum selesai. Pekanbaru masih butuh satu infrastruktur lagi. Fly over!

Sebagai halaman terdepan Provinsi Riau, Pekanbaru menjadi basis dari segala perputaran kegiatan kerja. Baik pemerintahan maupun swasta. Kota ini dituntut mampu memberi kenyamanan bagi tamu yang datang. Mampu menjadi gerbang yang bisa membawa berjuta peluang. Dan yang lebih penting, mampu memanjakan rakyatnya di tanah mereka sendiri.

Percayalah anggaran negara saja tidak akan cukup mewujudkan semua mimpi tentang fasilitas publik yang baik. Dibutuhkan peran pihak swasta, mendatangkan lapangan kerja, menggerakan roda ekonomi. Sehingga sejahtera, bukan hanya cerita dan angan-angan semata. Tapi benar-benar milik kita.

Bila tidak berani mengambil kesempatan mengubah infrastruktur yang ada, maka akan selamanyalah kita hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Gigit jari. Kemacetan hanya akan membuang waktu. Menimbulkan ketidaknyamanan. Fly over di sepanjang jalan Sudirman, bukan lagi kebutuhan tapi kewajiban.

Pemimpin tidak boleh hanya beretorika tapi tidak berani mengambil resiko dalam bekerja. Maka dimulailah menyusun rencana pembangunan. Dan seperti yang sudah diduga, bermunculan penolakan dan pesimisme yang dialamatkan membabi buta.

Cibiran dan tuduhan datang bertubi-tubi tiada henti. Terlebih saat proyek itu sempat terhenti. Urusan pancang jembatan beralih pada tudingan berbalut intrik politik. Sangat disayangkan, mimpi bersama tentang rencana pembangunan fly over pertama di Ibukota Riau itu malah dihujani dengan ungkapan ‘tidak akan mungkin berdiri’.
Apakah saya mundur? Tidak mungkin!

Lihatlah Singapura. Tidakkah kita iri pada negara kecil tetangga itu. Baru merdeka 9 Agustus 1965, namun mampu menjadi salah satu negara terkemuka di dunia. Negara yang tidak sampai per 1000 nya Indonesia itu, usianya lebih muda namun kemajuan negeri mereka luar biasa dahsyatnya. Bahkan terpilih sebagai kota dengan infrastruktur terbaik di dunia.

Sementara kita? Jangankan ingin membangun menjadi negeri yang maju, baru bermimpi besar saja kita tak mau. Padahal mimpi, adalah nama lain dari motivasi. Mewujudkan yang tidak mungkin menjadi sesuatu yang nyata. Atas dasar itu pula, semua rasa pesimisme ditunjukan dalam bentuk optimisme bekerja. Mengabdi dengan semangat ‘Sekali Layar Terkembang, Pantang Surut Ke Belakang’.

Hingga terwujud wajah baru kota kita, Pekanbaru. Ibukota yang mulai bersolek dengan anggun. Mulai berdiri fasilitas publik yang baik, tertata rapi, menjelma menjadi kota metropolitan sesungguhnya. Kita tidak lagi bermimpi untuk melihat gedung tinggi. Tidak pula membayang tentang sebuah jembatan layang.

Fly over itu kini telah dibangun pada dua titik yakni di Jalan Sudirman membentang dari arah Selatan ke Utara. Kemudian di titik persimpangan antara Jalan Sudirman dan Jalan Tuanku Tambusai. Fly over itu bukan hanya pemecah jalanan mengurai kemacetan. Tapi inilah landmark baru kota ini. 

Jembatan layang itu berdiri berpancang keteguhan hati. Teguh dari cacian, kukuh dari segala pesimisme dan sinisme. Apa yang tidak mungkin itu telah berdiri dengan indah. Lengkap dengan hiasan ornamen Melayu, yang menunjukan siapa kita.

Jembatan layang itu akan terlihat, menjulang menjadi kebanggaan, persembahan bagi seluruh anak negeri. Jembatan di atas jalan itu, menjadi saksi sekaligus tugu peringatan. Setiap tiangnya seolah tersirat seuntai pesan: Lihatlah dan yakinlah, suatu ketika kelak, dengan tekad dan kerja keras kita semua, negeri kita ini bisa seperti negeri tetangga. Bahkan lebih..! ***

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler