jpnn.com - JAKARTA - Pandangan pengusaha terkait prospek bisnis 2015 tercatat pesmistis. Hal tersebut dikarenakan faktor-faktor beban usaha yang bakal ditanggung tahun depan.
Dua diantaranya adalah faktor tarif listrik dan upah minimum regional. Industri padat karya dan UKM dinilai bakal yang paling banyak terpengaruh.
Ketua Umum DPP Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Nita Yudi menuntut pemerintah untuk mencari solusi untuk menjaga dunia usaha terus berkembang. Salah satunya, rencana tarif tenaga listrik (TTL) khusus yang disesuaikan setiap bulannya. Kebijakan tersebut bakal mempengaruhi hampir semua konsumen listrik kecuali golongan 450 va dan 900 va.
"Rencana pemerintah untuk menetapkan tarif mengambang mengikuti pergerakan harga dollar Amerikas Serikat (AS) sangat merugikan pengusaha UKM. Sebab, beban yang harus ditanggung menjadi tidak pasti. Padahal, hampir 90 persen hasil usaha anggota IWAPI dipasarkan didalam negeri. Kami khawatir kondisi ini membuat bisa bisa membuat pengusaha UKM gulung tikar," ungkapnya di Jakarta kemarin (25/12).
Selain itu, lanjut dia, pihaknya juga mengeluhkan kenaikan upah minimum yang sangat luar biasa setiap tahunnya. Tahun ini saja, rata-rata upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) mencapai 12,7 persen.
BACA JUGA: Subsidi Tetap Hanya untuk Premium
"Hal ini membuat kami kehilangan daya saing dengan produk kompetitor yang diimpor dari Tiongkok. Padahal, kami juga mengalami efek dari pengurangan subsidi BBM," terangnya.
Dia menegaskan, UKM merupakan salah satu pilar ekonomi Indonesia untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akhir 2015. Bahkan, hal tersebut juga sering dikatakan oleh pihak pemerintah. Dengan iklim yang kondusif, usaha UKM bisa naik kelas menjadi perusahaan formal. Dengan jumlah UKM yang mencapai 56,5 juta saat ini, potensi penguatan ekonomi tentu cukup besar.
"Kami bersyukur sudah ada beberapa program yang meringankan beban kami. Misalnya, program BPJS Kesehatan yangmembuat biaya kesehatan perusahaan menjadi murah. Tapi, masih banyak lagi yang perlu dibantu di sektor ini. Misalnya, pelatihan untuk meningkatkan kualitas produk. Atau bantuan modal dengan bunga yang ringan."
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Tenaga Kerja Benny Soetrisno mengatakan, faktor-faktor tersebut juga mempengaruhi industri padat karya. Terutama, soal kenaikan upah minimum yang menyerap 30 persen dari total beban operasional.
"Kalau sekarang kontribusi industri padat karya di dalam PDB sektor industri sekitar 40 persen. Tapi, angka itu bisa menciut hingga 30 persen saja. Sebab, kenaikan upah setiap tahun tak sesuai dengan pertumbuhan produktifitas.
Akhirnya, otomatisasi di berbagai lini industri tak bisa dihindari. Misalnya, industri tekstil, barang kulit, alas kaki, tembakau, dan makanan minuman. Karena mereka pasti menanggung bebanyang berat," ungkapnya.
Hal tersebut terbukti dari permintaan potongan TTL dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) juga mengusulkan adanya. Diskon tersebut dinilai perlu diberikan untuk mendorong dan mempertahankan iklim investasi. "Usulannya, ada subsidi listrik tidak kurang dari 40 persen," terang Ketua Umum API Ade Sudrajat.
Pemberian diskon perlu segera dilakukan karena bisa memberikan dampak yang besar. Apalagi, listrik memberikan kontribusi ampai 20 persen dari total biaya produksi. Kalau diskon diberikan, dia yakin biaya produksi bisa lebih hemat sekitar 3 persen.
Untuk diskon terbesar yang mencapai 40 persen, tidak sepanjang hari. Menurut Ade, itu bisa diberikan pada waktu tertentu seperti pukul 23.00 sampai 06.00. Waktu itu dipilih karena tidak banyak warga yang menggunakan listrik. "Jadi, tidak ada rebutan listrik antara rumah, kantor, sekolah, dan industri di jam sibuk," katanya.
Supaya diskon itu diterima, dia memberikan contoh peralihan sektor industry di negara yang sebelumnya meninggikan sistem agratis. Di Vietnam misalnya, Ade menyebut ada diskon tariff listrik selama 24 jam. Indonesia perlu melakukan itu untuk memberikan daya saing.
Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun sebelum ini mengatakan tarif listrik untuk industry nantinya bakal naik turun. Tarif adjustmen itu menyesuaikan dengan komponen biaya penyedia jasa listrik. Kalau itu turun, tarifnya bakal ikut jatuh. Tetapi, bisa saja makin mahal jika komponennya naik.
"Biaya pokok naik, tarif naik. Biaya penyedia jasa listrik turun, tarif turun. Kami selalu diawasi terus agar pengenaan tarif fair," terangnya. Penghitungan sendiri nantinya berdasar pada tiga indikator yaitu inflasi, nilai kurs, dan harga minyak Indonesia (ICP).
Dirjen Ketenagalistrikan, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jarman mengatakan, tarif mahal yang diberikan juga diikuti dengan standar pelayanan minimum (SPM). Beberapa bentuk perlakuan istimewa itu seperti penalti terhadap pemadaman listrik. Dia menyebut kalau dulu PLN dikenakan pinalti 10 persen, sekarang naik jadi 20 persen.
"Tarif dinaikkan jadi penalti terhadap PLN juga lebih besar," urainya. Selain itu, pelanggan besar tidak perlu lagi memberikan uang jaminan dalam bentuk uang cash. Nanti cukup ini dengan bank garansi atau membayar premi tertentu kepada bank. Jadi uang cash bisa digunakan untuk yang lain. Menurutnya, itu bagian dari dukungan terhadap perkembangan industry dan bisnis. (dim)
BACA JUGA: Subsidi Tetap Rp 500 - Rp 1.000 per Liter
BACA JUGA: Libur Akhir Tahun, AP I Prediksi Penumpang Naik 11 persen
BACA ARTIKEL LAINNYA... Angkasa Pura I Operasikan Posko Natal dan Tahun Baru
Redaktur : Tim Redaksi