Sudah lama Anastasia Lee berusaha mencari kata yang tepat untuk mendeskripsikan dirinya dalam bahasa Vietnam.
Jika ia bisa mendapatkannya, ia mengaku akan seperti "pulang kampung".
BACA JUGA: Penantian Berakhir, Australia Segera Datangkan Pekerja Pertanian dari Vietnam
"Rasanya seperti pulang kampung, berjumpa dengan ibu, dan dia tahu apa yang harus dikatakan dan apa yang harus ia masak tanpa kita harus memintanya," ujar Anastasia.
Untuk menemukan kata yang tepat, Anastasia, transpuan yang pindah dari Vietnam ke Australia saat masih remaja, terlibat dalam inisiatif untuk menyusun panduan terminologi LGBTIQA+ dalam bahasa lain, selain bahasa Inggris.
BACA JUGA: Australia Abaikan Peringatan, Politisi Kepulauan Solomon Sangat Kecewa
"Saya masih tidak tahu bagaimana menyatakan identitas saya sebagai seorang warga Vietnam, meski lancar berbahasa Vietnam," katanya.
Menurutnya kata-kata dalam bahasa Vietnam untuk mendeskripsikan komunitas dan konsep LGBTIQA+ seringkali bersifat merendahkan atau menghina.
BACA JUGA: Sengit! Pilres Timor Leste Lanjut ke Putaran Kedua
'Queer' tidak bisa asal dibicarakan di IndonesiaSaat ini panduan terminologi dan sumber terjemahan sedang dikembangkan oleh RMIT University di Melbourne bersama dengan AGMC, lembaga tertinggi untuk komunitas lesbian, gay, biseksual, trans, interseks, dan queer di Australia dari berbagai kalangan budaya dan kepercayaan.
Koordinator proyeknya, Budi Sudarto, mengatakan meski sudah ada sumber referensi yang lain, proyek ini punya keunikan tersendiri yakni mengizinkan anggota komunitas LGBTQIA+ untuk menyusun panduannya sendiri.
Budi yang besar di Indonesia mengatakan "karena situasi sosial, kebudayaan dan politik [di Indonesia], hal berbau queer tidak bisa asal dibicarakan".
"Akronim yang ada terkait dengan stigma sosial tertentu dan ini merupakan hasil dari kebudayaan heteronormatif yang berakar dari budaya patriarki, ini berasal hasil dari sejarah panjang diskriminasi."
Sebagai seorang non-biner, Budi mengatakan sulit untuk menemukan kata yang bisa menjelaskan pengalaman dan identitasnya. Namun, bahasa terus berkembang dengan cepat.
"Saya mencoba mencari kata non-biner dalam Bahasa Indonesia, karena kata ini tidak ada waktu saya masih remaja, sebelum pindah ke Australia," katanya.
"[Sekarang] kata itu sudah ada."
Perkembangan bahasa yang cepat juga menjadi alasan lain pentingnya campur tangan anggota komunitas LGBTQIA+ dalam proyek penyusunan panduan terminologi tersebut.
Sejauh ini, enam bahasa sudah dipilih untuk proyek tersebut.
Bahasa Vietnam, Spanyol, Mandarin dan Kanton dipilih karena terus bertambahnya anggota komunitas yang menggunakan bahasa tersebut di Australia.
Bahasa Korea dan Arab dipilih karena adanya keinginan untuk meningkatkan kesadaran tentang terminologi yang paling layak digunakan dalam bahasa-bahasa ini.
Khususnya untuk bahasa Korea, Budi mendengar dari seorang penerjemah bahwa terdapat sentimen anti-LGBTQ yang kuat.
Begitu juga dengan penjelasan dalam bahasa Vietnam, Anastasia sempat menemukan brosur dukungan terhadap komunitas LGBTIQA+ yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke Vietnam namun menggunakan istilah yang malah menyinggung.
Ketika Anastasia tiba di Australia, ia menemukan lebih banyak ruang untuk mengeksplorasi gendernya. Namun, prosesnya sulit karena tidak ada sumber informasi yang dapat membantunya memahami identitas sebagai LGBT.
"Saya ingin bunuh diri karena saya terus memiliki gambaran dan terminologi [negatif] yang saya serap waktu kanak-kanak, dan waktu saya tiba di Australia, penjelasannya tidak ada dalam bahasa Vietnam," katanya.
"Ketika saya melihat diri saya sebagai LGBTIQ dalam bahasa Vietnam, saya merasakan lebih banyak trauma dibandingkan hal-hal baik."
Ia berharap panduan terminologi akan menolong komunitas LGBTIQA+, terutama anak muda, dengan memberikan pengetahuan dan kekuatan untuk membicarakan identitas mereka pada teman dan keluarga dalam bahasa yang berbeda.
"Sebagai orang yang tidak punya hubungan baik dengan orangtua, saya tidak mau ini terjadi lagi [pada orang lain]," ujarnya.
"Harapannya proyek seperti ini dapat memperbaiki kembali hubungan yang sudah rusak." Tidak ada yang mau membicarakan 'topik aneh' ini
Michael Tien mengatakan tidak banyak orang yang ia tahu di Tiongkok mengerti pentingnya bahasa terutama ketika membicarakan terminologi LGBTQIA+.
Menurutnya, tidak ada yang mau membicarakan "topik aneh" ini di Tiongkok.
Ia mengatakan bahkan mereka yang memahami terminologi tidak ingin memperbaiki kata-kata yang tidak tepat, "karena mereka ingin menjadi orang baik yang tetap menyimpan identitas sebenarnya".
Namun, ia memutuskan untuk berbicara.
"Menurut saya sangat penting topik ini dibahas, pentingnya menggunakan kosakata yang tepat," ujarnya.
Michael, pria gay dan mentor yang bekerja dengan mahasiswa internasional di RMIT juga sempat menjadi mahasiswa internasional.
Ia datang ke Australia beberapa tahun yang lalu untuk melakukan studi master keuangan yang dianggapnya "membosankan" dan adalah pelajaran yang disukai orangtua Asia.
Michael turut berpartisipasi dalam proyek terminologi tersebut karena yakin ini akan menjadi sumber informasi yang berguna untuk mahasiswa internasional dan berharap keberadaannya dapat disebar ke universitas di Australia.
"Penting sekali memahami bagaimana berbicara dengan [pelajar LGBTQIA+], dan membuat mereka merasa dilibatkan dan disambut," katanya.
Ketika masih adalah mahasiswa, Michael berusaha tidak mengacuhkan bahasa tidak senonoh yang dipakai mahasiswa internasional Tiongkok.
"Namun sepanjang waktu berlalu, dalam pikiran, mungkin kita bisa merasa stres dan kewalahan mengapa orang-orang tidak menghormati bahasa dan kosakata kita?" Berharap komunitas LGBT lebih dilibatkan
Dr Miranda Lai, kepala departemen penerjemah di RMIT University mengatakan universitas tersebut menerima masukan dari industri bahwa kebanyakan penerjemah tidak dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup bila berhubungan dengan komunitas LGBTQIA+.
Ia menghadapi masalah ini ketika sedang mencari penerjemah yang bisa dilibatkan di sesi pelatihan untuk mengerjakan panduan ini.
"Sederhananya, ketika berusaha merekrut penerjemah, saya sedikit terkejut karena tidak semudah itu ternyata," katanya.
"Ahli penerjemah yang ada mungkin tidak merasa nyaman bahkan ketika ada dalam situasi seperti itu, bahkan ketika mendiskusikan konsep dan terminologinya."
Budi mengatakan tujuan dari proyek ini adalah untuk memastikan agar orang-orang dilibatkan dan dirayakan bukan hanya oleh komunitas budaya masing-masing, tapi juga seluruh komunitas LGBTQIA+ di Australia.
"Proyek ini diadakan untuk memastikan bahwa anggota komunitas multi budaya, multi bahasa, dan multi kepercayaan dapat melihat sesuatu yang berkaitan dengan mereka," ujar Budi.
Mereka berharap melalui panduan ini, serta perubahan bahasa yang bebas stigma dan perilaku tidak sopan, pengertian akan muncul.
"Kami bukan hanya sekelompok orang yang duduk di luar komunitas, kami adalah bagian dari komunitas."
Diproduksi oleh Natasya Salim dari laporan dalam bahasa Inggris
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Butuh Pengasuh Anak, tetapi Perang di Ukraina Membuat Warga Eropa Takut Datang