'Urban Villagers'

Selasa, 04 Februari 2014 – 18:28 WIB

TERKADANG terlintas di benak saya sesuatu yang membuat saya bertanya “Mengapa tidak terpikirkan oleh saya tentang hal itu!”

Dua pekan lalu, seorang teman baik dan juga kolumnis, Pankaj Mishra menulis kolom di Bloomberg Views berjudul “Urban Villagers Are Asia’s New Force”. Sebuah tren baru yang sedang berlangsung di politik Asia, khususnya Ibukota di India dan Indonesia –negara demokrasi yang pertama dan ketiga terbesar di dunia.

BACA JUGA: Eropa 1914

Argumen Pankaj sederhana: pendatang yang berasal dari masyarakat pedesaan telah mengubah corak politik perkotaan, menciptakan demografis baru yang disebut kaum “Urban Villagers”.

Jumlah mereka juga sangat banyak. Pada 2012, sekitar 1,96 miliar orang atau 46% dari total penduduk Asia yang tinggal di daerah perkotaan – peningkatan yang signifikan dari yang semula kurang dari 40% di tahun 2002.

BACA JUGA: Dahlan Iskan

Mengapa mereka memadati kota-kota di Asia? Mereka mencari pekerjaan, kesempatan yang lebih besar, pendidikan dan untuk berkumpul kembali bersama keluarga mereka. Apapun alasan yang mendasarinya, kehidupan kota telah mengubah pemikiran politik mereka.

Kalau orang-orang ini tinggal di desa-desa, mereka akan mengikuti pertalian suku, agama dan etnis lokal pada pilihan suara dalam loyalitas mereka. Lebih lagi, mereka akan mudah dipengaruhi oleh penguasa daerah atau tuan tanah di desa-desa.

BACA JUGA: Aburizal Bakrie

Namun, setelah penduduk desa berpindah dari pedesaan terpencil mereka--atau bisa dikatakan telah melepaskan diri dari ikatan feodal mereka --pandangan mereka tentang dunia global juga otomatis berubah. Mendadak, suku dan budaya tidak lagi dominan. Tidak perlu dikatakan lagi, proses “pembebasan” pikiran ini juga berdampak pada pola pemungutan suara.

Mereka terkena langsung tekanan kehidupan perkotaan dan mengalami kesenjangan yang mencolok antara si kaya dan si miskin. Hal ini kemudian cenderung mengubah cara pandang mereka terhadap orang lain yang berbeda suku, agama bahkan kasta.

Mereka mulai melihat diri mereka sama seperti lainnya: sama-sama dikesampingkan dan diabaikan. Mereka menjadi semakin skeptis pada siapa saja yang seharusnya memperhatikan kebutuhan mereka.

Korupsi dan kesalahan pengelolaan yang ada dimana-mana, membuat mereka berpikir tentang  pemerintahan yang baik, transparan dan memiliki akuntabilitas yang tinggi sebagai faktor penting dalam kehidupan mereka. Karena akses layanan pemerintah yang layak adalah jalan bagi pendidikan, perumahan dan masa depan yang baik.

Pada dasarnya, setelah mereka tidak bersinggungan dengan desa dan pola pikir konservatif yang mengungkung mereka, mereka akan berpikir bahwa wakil-wakil terpilih yang benar-benar melayani rakyat dan memiliki rekam jejak yang baik adalah yang paling penting.

Akhirnya, pemerintah harus melakukan dan memenuhi janjinya atau terpaksa diganti dengan pemerintahan baru. Sebuah cara yang mirip dengan layanan ponsel.

Hal ini kebanyakan berlaku pada pemuda yang tidak mengidentifikasi diri mereka dengan partai-partai, namun memberikan masukan bagaimana politisi menangani isu-isu penting.

Kenyataannya, pergeseran ini tidak hanya berhenti pada kaum migran perkotaan. Penduduk migran saat ini sudah terhubung dengan teknologi komunikasi yang bisa menjangkau kampung halamannya dan mempengaruhi orang-orang untuk menyalurkan suara mereka. Memang, inilah apa yang sering disebut “demokrasi informasi”.

Pankaj mencontohkan pada Arvind Kejriwal, mantan insinyur yang berubah haluan menjadi politisi dari Aam Aadmi Party/AAP (“Common Man Party”). Partai ini membuat kesal Partai Kongres sebagai partai incumbent di pemilihan umum New Delhi. Kejriwal terpilih menjadi Kepala Menteri New Delhi yang mengguncang pendirian politik di India.

AAP sekarang memiliki 10 juta anggota dan akan menyebar sedikitnya 73 calon legislatif dalam pemilihan umum mendatang di India.

Dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk Kejriwal dan partainya disebabkan ketidakpuasan publik terhadap persoalan korupsi, kesewenang-wenangan dan inefisiensi pada pemerintahan sebelumnya. Sangat mirip dengan peristiwa pemilihan gubernur Jakarta yang terjadi pada bulan September 2012.

Bagian tersebut merupakan persoalan persepsi, bahwa Kejriwal --seperti halnya Joko Widodo (“Jokowi”) adalah orang bersih yang berusaha membereskan masalah. Lebih lagi, dua orang ini bisa memanfaatkan lumbung suara dari sebagian besar masyarakat migran perkotaan.

Perubahan bukan lagi hal yang tabu dalam politik – sebagaimana Asia dengan warga kotanya yang terus meningkat, dan memenangkan siapa saja yang bekerja keras. Hal ini harus disambut baik, terutama agar membuat para politisi terus berpijak pada niat semula mereka.

Di Indonesia, hal ini bisa menjadi sesuatu yang bagus. Kita lihat nanti apakah Kejriwal dan Jokowi memiliki kemampuan untuk memanfaatkan kaum urban secara maksimal – dan turut mengguncang golongan elit politik nasional.[***]

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tahun Baru lewat Televisi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler