jpnn.com, MAGELANG - Libur dan cuti Lebaran hampir usai. Banyak pengamat sosial kini mulai ramai-ramai memalingkan kajiannya bukan pada pemaknaan mudik, melainkan pada hiruk-pikuk urbanisasi.
Sayangnya, banyak dari mereka yang terlalu gampang untuk terjebak memaknai urbanisasi dari sisi masalah. Padahal, urbanisasi tak selamanya mendatangkan dampak negatif pada kota-kota besar.
BACA JUGA: Arus Balik Meningkat, Sudah 831 Bus ke Jakarta
“Banyak dari kita, bahkan pakar sekalipun, gampang terjebak untuk memaknai urbanisasi secara negatif. Padahal, perpindahan penduduk dari desa ke kota tak selamanya berdampak negatif,” tegas Peneliti Cultural Studies dari Merapi Cultural Institute (MCI) Gendhotwukir dalam keterangan persnya, Sabtu (1/7).
Ia menjelaskan urbanisasi adalah dinamika perkotaan. Sebagai sebuah dinamika, tentu saja ada kompetisi. Di satu sisi kompetisi melahirkan kemajuan, tetapi di sisi lain juga melahirkan keterpinggiran bagi yang kalah dalam kompetisi.
BACA JUGA: Tol Cipali Macet, Polisi Terapkan Contraflow
“Banyak dari kita, termasuk pakar sosial, pakar perkotaan hingga pejabat pemerintah itu gampang membuka mata dan berargumentasi hingga terkesan menjadi latah untuk melihat mereka yang datang ke kota lalu kalah dalam kompetisi tersebut, dibandingkan melihat persentase mereka yang bisa berkompetisi,” tegasnya.
Gendhot sepakat urbanisasi itu perlu dikaji secara komprehensif alias tidak selalu dari kacamata masalah. Ia pun lantas mencontohkan dua dampak positif bagi kota dengan adanya urbanisasi. Pertama, kebutuhan tenaga kerja yang berkualitas terpenuhi. Kedua, peningkatan dinamika ekonomi.
BACA JUGA: Ckckck, Antrean Rest Area Sampai 15 Km
“Terkait dengan terpenuhinya kualitas tenaga kerja harus diakui bahwa dunia itu terus bergerak maju seiring dengan teknologinya. Tesisnya jelas: pekerja yang tidak mengikuti perkembangan zaman dan teknologi akan tergusur dengan sendirinya. Sementara itu terkait dengan dinamika ekonomi, urbanisasi jelas melahirkan peningkatkan permintaan yang akan menggerakkan roda perekonomian.”
Banyak pakar, imbuhnya, terlalu gampang mengabaikan dampak positif dan latah menyebut pengangguran, permukiman kumuh hingga kerawanan sosial dan kriminalitas. Tak ayal, banyak dari pakar dan pejabat pemerintah yang lantas menderita fobia urbanisasi.
“Motif urbanisasi tentu saja masih mayoritas faktor ekonomi dan anggapan bahwa kota akan menyediakan pilihan lapangan pekerjaan. Kalaupun tidak mendapatkan pekerjaan seperti yang diharapkan, banyak yang lantas berprinsip: orang tidak akan mati kelaparan di kota kalau mau melakukan pekerjaan apa saja,” imbuh peneliti asal Magelang ini.
Salah satu pendiri Rumah Baca Komunitas Merapi (RBKM) di lereng Gunung Merapi ini menambahkan pemahaman “melakukan pekerjaan apa saja” ini lalu ditafsirkan dengan seenaknya sebagai asal muasal tindak kriminal. Padahal, berapa sih persentase korelatif antar keduanya.
“Urbanisasi adalah hak setiap orang. Urbanisasi tak bisa dilarang. Jangan sedikit-sedikit yang disalahkan orang desa. Kota memang masih menjadi tempat bagi mayoritas warga Indonesia untuk mewujudkan mimpi karena daya tarik kota yang kian memikat. Sampai kapan pun urbanisasi itu tidak akan pernah mati. Mau di New York, Berlin, London, Beijing, Paris, Roma, New Delhi dan ibukota negara lainnya, urbanisasi itu tetap saja ada,” tegas peneliti yang pernah mendalami filsafat di Jerman ini.
Solusi urbanisasi yang tak terkendali, terangnya, tentu saja pembangunan yang tidak hanya terpusat di kota-kota besar yang telah ada.
“Pemerintah ditantang untuk membangun dan menciptakan kota-kota baru. Urbanisasi itu bukan masalah, tetapi tantangan baru untuk pemerataan pembangunan dan penciptaan kota-kota baru atau bahkan pemindahan ibukota negara yang baru,” pungkasnya.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Butuh Empat Jam untuk Tempuh Tol Gringsing hingga Berxit
Redaktur & Reporter : Friederich