Urgensi Implementasi Netralitas dan Imparsialitas Dalam Pemilu

Oleh DR. I Wayan Sudirta, S.H, M.H - Anggota Komisi III DPR RI

Sabtu, 25 November 2023 – 09:34 WIB
Anggota Komisi III DPR RI DR. I Wayan Sudirta, S.H, M.H. Foto: Ðokumentasi pribadi

jpnn.com - Bangsa Indonesia kini tengah kembali memasuki tahun politik dan untuk kedua kalinya, bangsa Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Umum Serentak.

Pesta Demokrasi menjadi hal yang selalu ditunggu dan menarik perhatian masyarakat luas karena tentunya akan menentukan nasib bangsa ini ke depan, khususnya menuju pada Indonesia yang maju di tahun 2045.

BACA JUGA: Tanggapi Isu Netralitas di Pilpres 2024, FORMASI: Jangan Akal-akalan Demi Mencari Simpati Publik

Oleh sebab itu, Pemilhan Umum (Pemilu) diatur dengan ketentuan perundang-undangan agar dapat menciptakan Pemilu yang berasaskan langsung, umum, bebas rahasia, jujur, dan adil.

Visi dan tujuan penyelenggaraan Pemilu ini diwujudkan dengan penyelenggaraan pemilu yang bersih, demokratis, adil dan berintegritas.

BACA JUGA: Jajaran Polres Sarmi Bekomitmen Menjaga Netralitas di Pemilu 2024

Belajar dari Pemilu 2019 lalu, Indonesia kini tentu telah memiliki persiapan dan pengalaman lebih untuk menutup berbagai celah dan kelemahan dalam menciptakan Pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia; serta bersih, jujur dan adil sesuai dengan tujuan dan asas penerapannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

Pemilu di Indonesia telah memiliki berbagai instrumen kebijakan dan infrastruktur pendukungnya.

BACA JUGA: Irjen Dedi Minta Humas Polri Perkuat Cooling System Untuk Jaga Netralitas Pemilu 2024

Meskipun begitu, para peserta Pemilu dalam sebuah kompetisi tentu memiliki keinginan besar dengan menggunakan berbagai cara dan strategi demi mencapai kemenangan, yang terkadang menimbulkan berbagai celah dan persoalan di lapangan.

Maka ketentuan UU Pemilu ini mengatur tentang penyelenggara dan pengawasan Pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Di samping itu, pengawasan pelanggaran dan tindak pidana Pemilu juga dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (Polri dan Kejaksaan) yang kesemuanya tergabung dalam Sentra Gakkumdu.

Dengan mulai memanasnya tahun politik 2024 ini dan akan memasuki periode kampanye baik Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg), salah satu fenomena yang menciptakan perdebatan adalah dugaan adanya kampanye pendahuluan sebelum masa kampanye (“kampanye colongan”) yang tentunya akan menguntungkan salah satu atau beberapa pihak calon.

Pada Minggu, 19 November 2023 lalu misalnya, kelompok Desa Bersatu yang terdiri dari delapan (8) organisasi perangkat desa, terdiri dari APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) yang merupakan organisasi kepala desa aktif.

Selain itu, DPN PPDI (Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Perangkat Desa Indonesia), ABPEDNAS (Asosiasi Badan Permusyawaratan Desa Nasional), DPP AKSI (Asosiasi Kepala Desa Indonesia), KOMPAKDESI (Komunitas Purnabakti Kepala Desa Seluruh Indonesia).

Kemudian, PABPDSI (Persatuan Anggota BPD Seluruh Indonesia), DPP PPDI (Persatuan Perangkat Desa Indonesia), dan Persatuan Masyarakat Desa Nusantara mengadakan acara Silaturahmi Nasional di gedung Indonesia Arena.

Dalam acara tersebut, tiba-tiba terdapat deklarasi dukungan terhadap salah satu calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden di Pemilu 2024.

Hal yang kemudian dipermasalahkan di sini adalah status keberadaan para Kepala dan Perangkat Desa yang menjadi peserta dalam acara ini.

Temuan ini kemudian menjadi pembahasan atau melahirkan pro dan kontra. Ada pihak yang mengatakan bahwa hal ini lumrah karena tidak menjadi tujuan daripada acara tersebut. Namun, ada pula yang mengatakan bahwa deklarasi tersebut mengandung mobilisasi yang tentunya dapat berdampak secara hukum terkait pelanggaran.

Beberapa pihak dan elemen organisasi masyarakat sipil kemudian mengeluarkan pendapat atau pernyataannya. Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Demokratis (yang dihuni oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat), berpendapat bahwa hal ini merupakan indikasi ketidaknetralan aparatur negara dalam Pemilu dan telah melanggar ketentuan, khususnya dalam UU Pemilu dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa.

Mereka khawatir bahwa mobilisasi aparatur ini akan mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsinya, menciderai legitimasi hasil Pemilu, dan adanya polarisasi dalam masyarakat.

Jika hal ini benar tentunya akan sangat mengancam prinsip demokrasi dan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat. Pengalaman berharga dalam beberapa waktu sebelumnya, persoalan polarisasi menjadi dampak yang tidak terbendung.

Netralitas dan Imparsialitas

Netralitas dan imparsialitas aparatur negara merupakan asas dan prinsip yang penting dalam pelaksanaan Pemilu, yang tentunya memiliki filosofi dan tujuan. UU Pemilu dan UU Pemerintahan Desa maupun ketentuan lain seperti UU tentang Aparatur Sipil Negara (UU Nomor 20 Tahun 2023) telah mengatur sedemikian rupa agar penyelenggaraan Pemilu dapat berjalan secara adil dan demokratis tanpa intervensi.

Hal ini menjadi sangat penting untuk menjamin kehidupan demokrasi dan legitimasi hasil Pemilu yang bersih dan berintegritas; atau dengan kata lain tidak ada campur tangan Pemerintah.

Rakyat memiliki kedaulatan yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 untuk secara bebas menentukan pemimpinnya.

Oleh sebab itu, penyelenggaraan Pemilu yang bersih dan baik yakni sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil akan mampu meningkatkan kualitas kompetisi yang sehat dan partisipatif, sehingga menjamin keterwakilan yang kuat dan akuntabel.

Lalu seperti apa jaminan netralitas ini? Pasal 280-283 UU Pemilu misalnya secara tegas melarang beberapa hal yang dapat menganggu netralitas dan imparsialitas para aparatur penyelenggara negara.

Ketentuan ini bahkan dilengkapi dengan instrumen sanksi baik administratif maupun tindak pidana. Pihak pengawas seperti Bawaslu (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota) dan Panwaslu (tingkat Kecamatan, Desa, dan Luar Negeri) diberi kewenangan untuk mengawasi “netralitas” aparatur sipil negara maupun TNI/Polri.

Kata netralitas ini muncul berulang kali untuk mewujudkan asas dan prinsip penyelenggaraan Pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 3 UU Pemilu.

Netralitas menjadi kata kunci dalam menjamin pelaksanaan penyelenggaraan kompetisi yang jujur (fairplay) dan adil.

Netralitas sendiri berarti kecenderungan untuk tidak memihak dalam suatu konflik atau kompetisi atau tidak bias.

Netral dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat berarti kesamaan dalam perlakukan atau setara dan penuh dengan rasa hormat.

UU ASN juga mengatur bahwa Netralitas ASN adalah ketidakberpihakan kepada segala pengaruh dan kepentingan manapun.

Kode Etik dan Perilaku ASN misalnya juga tentunya mengatur tentang Netralitas ASN yakni menjalankan tugas secara profesional, non-diskriminatif, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Demikian pula dengan imparsialitas atau keseimbangan secara non-diskriminatif penting untuk diterapkan tidak hanya pada panitia penyelenggara Pemilu, namun juga para aparatur penyelenggara negara. Imparsial (impartiality) didefinisikan oleh Oxford sebagai prinsip etika demokrasi oleh para pejabat berwenang yang obyektif dan relevan, tidak bias atau memihak sehingga terjadi persamaan.

Hal ini sejalan dengan prinsip dan asas yang dianut dalam UU Pemilu, UU ASN, maupun UU Pemerintah Desa.

Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa netralitas dan imparsialitas dalam penyelenggaraan Pemilu adalah sangat penting dimiliki oleh semua pihak, yakni pihak penyelenggara, pihak pengawas, hingga pihak terkait lainnya untuk bersama-sama menciptakan Pemilu yang bersih, adil, jujur, dan berintegritas.

Hal apa saja yang kemudian perlu ditekankan dalam sifat netralitas dan imparsialitas para aparatur penyelenggara negara dalam kegiatan politik yakni antara lain: 

1. Netralitas aparat diukur dengan seberapa besar aparat mampu menghindari berbagai intervensi atau pengaruh serta kegiatan-kegiatan yang dapat bersinggungan dengan kepentingan salah satu pihak atau kepentingan tertentu. Prinsip kehati-hatian dalam hal ini memainkan peranan penting agar seseorang tidak kemudian melanggar hukum dan berakibat hukum pada perbuatannya.

2. Prinsip keseimbangan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Hal ini memerlukan sebuah kesadaran penuh bahwa perlakuan yang sama (equal) terhadap seluruh pihak menjadi kunci kriteria dalam menentukan langkah dan tindakan selanjutnya. Fair and equal treatment akan mampu memberikan kesan tidak memihak.

3. Profesionalitas yang perlu dijaga setinggi-tingginya dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, mandiri, transparan, dan obyektif dalam melakukan tugas dan fungsi maupun seluruh kegiatan di luar yang mempengaruhi sikap dan jabatannya.

4. Peningkatan integritas dengan tidak memihak, bebas dari intervensi dan potensi konflik kepentingan, objektif, dan sadar dengan itikad baik, bermaksud untuk tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan.

Seorang aparatur negara tentu memiliki hak politik sebagai individu, namun dalam jabatan publiknya, ia tidak boleh sembarangan dalam bertindak atau bersikap. Hal ini untuk menjaga integritas dan kapasitasnya sebagai pejabat publik yang bermoral dan beretika.

Saran 

Dari berbagai kajian di atas, terlihat bahwa prinsip netralitas dan imparsialitas memang bukan hal yang mudah diraih dan dilaksanakan jika diiringi dengan berbagai kepentingan.

Netralitas dan imparsialitas bukan hanya ditujukan pada para kelompok tertentu, peserta, penyelenggara, maupun pengawas dalam Pemilu, namun juga para aparatur penyelenggara negara.

Ketentuan perundang-undangan telah mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Oleh sebab itu, dalam rangka mencapai tujuan bersama yakni penyelenggaraan Pemilu yang bersih, adill, jujur, dan berintegritas (maupun langsung umum, bebas, dan rahasia) sebagaimana telah diatur dalam undang-undang; maka para pihak harus berpegang teguh pada komitmen dan aturan yang telah ada.

Aturan yang telah dibuat sedemikian rupa dalam penyelenggaraan Pemilu dimaksudkan untuk menghasilkan legitimasi hasil pemilihan yang didukung oleh seluruh rakyat dan menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban umum.

Oleh karenanya, seluruh pihak harus mampu menahan diri dan berkompetisi secara sehat sesuai dengan aturan yang berlaku.

Para pihak termasuk aparatur desa, pemerintah daerah, atau para penyelenggara lainnya memang diberikan hak politik sebagai kepentingan pribadi atau individu yang dijamin oleh Konstitusi.

Namun, dalam jabatannya sebagai pejabat publik, mereka harus memperlihatkan netralitas dan imparsialitasnya agar tidak dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu yang justru melahirkan persoalan selanjutnya.

Para peserta atau kontestan dan tim pendukung yang mana bekerja keras untuk dapat memenangkan salah satu pasangan calon atau kepentingan calon lainnya, hendaknya juga lebih bijaksana dan mampu untuk berjalan sesuai koridor peraturan perundang-undangan.

Negara kita saat ini telah merdeka selama 78 tahun dan tentunya telah lebih dewasa secara politik. Era reformasi politik dan demokrasi juga telah berjalan selama 23 tahun dan memberi banyak pelajaran berharga kepada pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945. Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat) bukan berdasarkan pada kekuasaan belaka (machtstaat).

Semua pihak wajib menjunjung tinggi hukum dengan segala kedudukannya.

Selanutnya untuk Para pengawas maupun penegak hukum yang telah diberikan kewenangan oleh undang-undang juga harus melaksanakan kewajibannya sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, di samping memberi perlakuan yang setara.

Dalam hal ini independensi atau kemandirian serta obyektivitasnya akan diuji untuk dapat menindaklanjuti permasalahan atau laporan/temuan secara bijaksana, adil, dan berkepastian hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam hal ini masyarakat tentu akan mengawasi dan terus memberikan penilaian terhadap tingkat kepercayaan publik. Seluruh pihak harus mampu menjadi aparat yang netral, profesional, dan imparsial.

Maka selanjutnya mari kita saling menghormati dan berhati-hati, yakni dewasa dan bijaksana dalam berkata, bertindak, maupun melangkah. Kita jaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Merdeka!

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler