Penduduk asli Australia kerap kali bicara tentang betapa pentingnya tanah air. Bagaimana mereka memaknainya?

Tak begitu jauh dari Teluk Api di ujung utara Pulau Tasmania, Jamie Graham-Blair duduk di bawah pepohonan hutan yang dia percaya sebagai tempat tinggal leluhurnya selama ribuan tahun.

BACA JUGA: Sektor Properti Tiongkok Terancam Anjlok Akibat Kasus Evergrande, Perusahaan Dengan Utang Rp4 Ribu Triliun

"Pohon-pohon ini... saat melihatnya, saya dapat melihat kerabat keluarga saya," ujar warga suku Trawlwoolway Pakana.

"Saya melihat orang-orang sekampung saya," katanya.

BACA JUGA: Guru Besar UI Yakin Indonesia Bisa Menjegal Ambisi Nuklir Australia, Begini Caranya

Jamie sedang menjelaskan hubungan dengan tanah airnya - yang juga dikenal dengan sebutan Larapuna — untuk program dokumenter Back to Nature.

"Saya sangat menyukai cara orangtua saya memandang tanah air. Mereka tak melihatnya sebagai sesuatu yang terpisah dari kami," katanya.

BACA JUGA: Gempa Bumi Melanda Victoria, Melbourne, dan Tenggara Australia

Mahasiswa tingkat akhir jurusan Ilmu Kelautan dan Antartika ini juga melihat hubungan kekerabatan tersebut melalui kacamata ilmiah.

"Setiap molekul dalam tubuh kita, setiap atom, setiap protein, setiap asam berasal dari suatu tempat, bukan?" katanya.

"Fisik kita terdiri dari ratusan dan ribuan, jutaan dan miliaran komponen kecil yang kita peroleh dari udara yang kita hirup, air yang kita minum dan makanan yang kita makan," jelasnya.

"Setiap tanaman yang kita lihat di sini, setiap burung yang kita dengar bernyanyi, tempat duduk ini, sangat mungkin kita duduk di atas atom dari leluhur, nenek moyang saya yang sebenarnya," kata Jamie.

 

Jamie lantas mengumpulkan ranting-ranting dan dahan di sekitarnya untuk menyalakan api bagi keperluan upacara asap khas orang Aborigin.

"Asap ini merupakan suatu kesempatan untuk berpijak kembali dan menghubungkan diri lagi dengan tanah air," ujarnya,

 

Jamie menjelaskan bahwa leluhurnya sering dikremasi di pokok pohon yang sudah gosong, untuk melepaskan roh mereka kembali ke tanah air.

"Tubuh fisik mereka akan diisap oleh pohon-pohon itu," katanya.

"Jadi pada saat kita menggelar upacara asap, saya secara fisik dan spiritual sedang memperkenalkan kalian kepada para leluhur," ujar Jamie.

Di bagian Selatan pantai Timur Tasmania, warga suku Trawlwulwuy, Emma Lee, tampak melepaskan pandangannya ke laut luas.

Akademisi ini menceritakan kisah penciptaan leluhur di tanah air mereka, Tebrakunna.

"Leluhur pertama kali datang ke tanah air sebagai bintang-bintang jatuh," katanya.

"Kaum perempuan jatuh bersama anak-anaknya ke air," tambahnya.

 

"Mereka turun ke Trouwanna [Tasmania] dan mengambil segenggam tanah dan membawanya kembali ke bintang-bintang untuk menghidupkan manusia pertama kami, Palawa. Manusia kanguru," kata Emma.

"Tidak ada perbedaan antara kami dan leluhur kanguru ... tidak ada perbedaan antara kami dan saudara kami, Tasmanian devil," ujarnya.

"Ini keluarga. Nenek moyang yang kami jaga." 

"Dengan kekerabatan kita bisa saling menyayangi satu sama lain."

 

Ide tentang manusia sebagai bagian dari lingkungan, dan kelangsungan hidup yang saling bergantung satu sama lain, adalah tema berulang yang disampaikan orang Aborigin.

Semuanya terhubung dan perlu dihormati — bukan hanya manusia, hewan, pohon, dan batu — tetapi tanah dan langit, serta masa lalu dan sekarang.

 

Aaron Pedersen, keturunan suku Arrernte dari Australia Tengah dan suku Arabana di Australia Selatan, menjelaskan tentang rasa memiliki dan revitalisasi tanah airnya.

"Sungai, gunung, tanah merah di tanah air Arrernte, semuanya itu adalah bagian dari diri saya."

"Saya milik tanah ini, kampung ini, planet ini, kosmos ini."

"Saya terhubung dengan miliaran bintang dan planet yang melayang di angkasa."

Ia menyebut kawah gunung di sebelah barat Alice Springs yang disebut Tnorala (Gosses Bluff) adalah tempat yang sangat istimewa bagi orang Arrernte Barat.

 

"Dalam kesadaran kami, sekelompok perempuan langit menari-nari sebagai bintang di Bima Sakti."

"Salah seorang di antaranya menaruh bayinya di keranjang kayu."

Saat mereka asyik menari, keranjang itu terlepas dan bayinya jatuh ke bumi.

"Begitu kuatnya bayi menghantam tanah sehingga mendorong bebatuan ini ke atas. Dan kawah ini pun tercipta."

 

Menurut Aaron, di kalangan orang Arrernte Barat, kisah ini masih hidup sampai sekarang.

"Keranjang kayu dan bayi itu jatuh dari Bima Sakti," katanya.

"Orangtua yaitu sang ibu jadi bintang malam, dan sang ayah jadi bintang pagi. Mereka masih terus mencari anaknya."

 

Karlie Noon, seorang perempuan dari suku Gamilaraay, ahli astrofisika dan astronom yang telah mempelajari Bima Sakti, masih ingat apa yang pernah dikatakan seorang tetua kepadanya.

"Apa yang ada di bumi ini tercermin di langit," ujarnya.

"Dan apa yang ada di langit, tercermin di bumi."

Karlie mengakui bahwa kisah penciptaan yang diceritakan oleh Aaron cocok dengan ilmu pengetahuan tentang kawah yang terbentuk akibat benda luar angkasa yang jatuh di sana 142 juta tahun silam.

"Kita melihat hal yang sama, meski dengan cara berbeda."

 

Sekitar 3.000 kilometer ke Timur, di belakang wilayah Gold Coast, Queensland, terdapat tanah air bagi suku Yugambeh.

Daerah ini masih menyimpan pepohonan Antartika berusia 2.000 tahun, dari era Benua Gondwana.

Seorang warga Yugambeh dan peneliti bahasa Shaun Davies menjelaskan mereka diajarkan untuk menjaga tanah air melalui kisah turun temurun.

Termasuk adanya roh-roh penunggu yang melindungi daerah itu.

 

"Dengan menceritakan kisah ini, kita bisa menghormati dan menjaga tanah air. Dan menjaga pohon-pohon yang merupakan rohnya."

"Kami percaya penuturan kisah-kisah ini akan memberikan kekuatan."

 

Shaun bercerita tentang makhluk seperti Janjarri — "Yaitu makhluk kecil berbulu dan tinggal di semak belukar di bagian bawah pegunungan di sini" — dan Bunyun.

"Bunyun adalah makhluk yang terbuat dari batu, cukup tinggi dan mereka menyebabkan terjadinya tanah longsor di tanah air kami," jelasnya.

"Mereka hadir di sana untuk menjaga keseimbangan."

"Bila Anda datang ke sini dengan penuh rasa kebencian serta tidak sopan, Anda mungkin akan dijatuhi bebatuan."

"Bila Anda datang ke sini dengan maksud mengganggu seseorang, mungkin Janjarri akan mengambil kunci Anda. Jadi mereka juga suka iseng," jelasnya.

 

Kurang dari sejam dari Melbourne, di tanah air bernama Wurundjeri, terletak taman Organ Pipes National Park.

Taman ini memiliki kolom basal menyerupai pipa organ, yang terbentuk satu juta tahun silam oleh salah satu aliran lava kuno terbesar di dunia.

Ini adalah sisi Timur dari bekas aliran lava tersebut.

 

Tetua Wurundjeri, Tante Di Kerr, menjelaskan perasaannya tentang tanah airnya.

Aspek kekeluargaan sangat menonjol.

"Tanah air adalah ibuku, saya ini miliknya."

"Tanah ini adalah dia. Aliran sungai adalah pembuluh darahnya.

Rasa hormat dan hubungan ini melampaui tanah air sendiri dan ke mana pun dia pergi di Australia, dia tahu di tanah air siapa dia berada.

"Yang terpenting adalah selalu mengakui bahwa kita berada di tanah air orang, karena dengan mengakui hal itu serta mengakui leluhur mereka, akan membantu kita untuk merasa lebih aman," jelasnya.

Tante Di duduk bersama Indi Clarke, ketua Dewan Pemuda Koorie Victoria, yang nenek moyangnya adalah Mutti Mutti, Wemba Wemba dan Boon Wurrung dari Victoria dan New South Wales, serta Lardil dari Queensland utara.

Tapi Indi merasakan hubungan yang kuat dengan tempat ini, apalagi setelah menghabiskan banyak waktu dengan Tante Di.

"Saya menemukan tempat ini sekitar dua tahun lalu dan sejak itu, saya ke sini mungkin sebulan sekali," kata Indi.

Baginya, ini menjadi tempat mengasingkan diri dari kehidupan yang sibuk.

 

"Seringkali kita hanya perlu menekan tombol jeda dan menyegarkan kembali semangat kita," ujarnya.

"Tante Di dan tetua lainnya telah mengajari saya bahwa ke mana pun kita pergi, leluhur kita selalu mengawasi."

"Kita bisa datang ke sini, mendengarkan burung-burung, melihat mereka terbang ke sana kemari, itu membawa saya ke keluarga sendiri."

 

Di tanah Ngarigo di kaki Gunung Kosciuszko, sungai Snowy River berkelok-kelok melintasi lembah dan kaki gunung beberapa ribu meter di bawah sumber mata airnya.

Warga suku Wiradjuri, Richard Swain, yang menjadi seorang pemandu wisata, juga menjelaskan perlunya menghormati tanah air.

Dia menyimak tanah air ini, menyaksikan penanda yang ditinggalkan oleh pria, perempuan, dan anak-anak yang tak terhitung jumlahnya yang telah menggunakan tepian sungai ini rute perjalanan selama ribuan tahun.

Richard menunjukkan alat pemotong batu, dan sebuah pohon yang digunakan untuk membuat sampan.

Semuanya pulih, katanya, berkat rasa hormat yang ditunjukkan oleh para leluhur.

"Pohon ini masih hidup karena leluhur kami minta izin sebelum memotongnya," kata Richard.

"Pohon ini mengizinkan dan itulah sebabnya masih tumbuh subur sekarang."

Richard mengajak masyarakat untuk mendengarkan suara tanah air, seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat selama ini.

"Mungkin Anda pernah berjalan melewati semak-semak dan hutan dengan santai, mendengar suara burung-burung, lantas keluar jalur dan merasa tiba-tiba sunyi dan tidak enak badan," katanya.

"Itu berarti tanah air sedang bicara kepada Anda. Saat kembali ke jalur, semuanya terasa baik kembali,"

"Tanah air ini berteriak agar kita mau mendengarkannya."

Richard bilang dia hampir setiap hari berada di Snowy River.

 

"Setiap sungai adalah sungai kehidupan," ujarnya.

"Air ini keramat. Mereka ini hidup. Sungguh ajaib."

 

Sebelum melanjutkan perjalanan menyusuri sungai ini, Richard ingin menyapa tanah airnya terlebih dahulu.

Ia berdiri di tepi sungai, lalu mengambil segenggam pasir, mencapurkannya dengan keringat tubuh di bawah ketiaknya.

"Saya sebar pasir ini ke sungai sebagai pemberitahuan bahwa saya hadir di sini."

"Urusan kita akan lebih lancar bila kita memperkenalkan diri terlebih dahulu kepada tanah air," katanya.

 

Back to Nature bisa disaksikan di ABC iview. Kredit: Reporter: Video dan Gambar: Back to Nature oleh Media Stockade and Threshold Pictures, serta Dale Bremner ACS, Matthew Calissi, Ben Dowie dan Chris Tangey Produksi Digital:  dan Editor: Editor ABC Science: Penerjemah:

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Filipina dan Indonesia Beda Sikap soal Kapal Nuklir Australia

Berita Terkait