Sebuah unit tentara Mauritania dilaporkan menembaki konvoi kendaraan Abdel Aziz yang baru pulang dari acara liburan akhir pekan pada Sabtu lalu (13/10). Rombongan Abdel Aziz saat itu hendak kembali menuju Nouakchott, ibu kota Mauritania. Insiden penembakan terhadap tokoh yang pernah dua kali memimpin kudeta di Mauritania (saat menggulingkan Presiden Maaouya Ould Sid"Ahmed Taya pada Agustus 2005 dan menjatuhkan Presiden Sidi Ould Cheikh Abdallahi pada Agustus 2008) itu terjadi ketika rombongannya berada sekitar 40 kilometer utara ibu kota.
Minggu (14/10) Abdel Aziz diterbangkan ke Prancis untuk mendapatkan perawatan khusus atas luka-lukanya setelah peluru menembus lengannya. Sehari sebelumnya, tokoh yang masa jabatannya berakhir pada 2014 tersebut telah menjalani operasi di rumah sakit di Mauritania.
Sebelum terbang ke Prancis, Abdel Aziz sempat tampil di televisi untuk berbicara kepada publik sambil terbaring di ranjang rumah sakit tempat dia dirawat sebelumnya. Saat itu, dia menuturkan bahwa operasi yang dijalaninya setelah insiden penembakan berjalan baik dan sukses.
"Saya ingin menegaskan kembali mengenai kesehatan saya setelah insiden itu. Penembakan tersebut terjadi akibat kesalahan sebuah unit militer," jelasnya di televisi. "Tapi, Alhamdulillah, tidak ada masalah yang berarti pada diri saya," tambahnya.
Pemerintah Mauritania juga berupaya meredam polemik terkait penembakan tersebut. Menteri Komunikasi Hamdi Mahjoub menyebut bahwa presiden hanya mengalami luka ringan. Menurut dia, insiden tersebut tidak disengaja dan terjadi akibat ketidaktahuan tentara yang berjaga.
"Terjadi insiden penembakan pada konvoi presiden saat kembali ke ibu kota. Sebuah unit tentara tidak tahu bahwa konvoi itu adalah rombongan presiden," terang Mahjoub melalui siaran televisi.
Namun, sumber militer Mauritania menuturkan kepada Agence France-Presse bahwa tembakan tersebut memang sengaja menarget presiden. Abdel Aziz memimpin negara di Afrika Barat tersebut setelah melancarkan kudeta militer. Kudeta pada 2008 terjadi setelah dia dipromosikan sebagai perwira tinggi pada pasukan keamanan kepresidenan.
Sumber itu tidak menyebut secara jelas di mana peluru bersarang di tubuh Abdel Aziz. Namun, dia menegaskan bahwa tak ada organ vital presiden yang terganggu hingga membahayakan nyawanya. Abdel Aziz pun diterbangkan ke Paris, Prancis, setelah menjalani operasi pengangkatan proyektil peluru di tubuhnya.
Sejumlah media di Nouakchott melansir kabar simpang siur mengenai penembakan tersebut. Sebagian menyebut peluru menembus lengan Abdel Aziz. Sebagian lainnya menyatakan bahwa peluru bersarang di bagian perutnya.
Sumber militer lainnya mengatakan bahwa Abdel Aziz terkena tembakan di bagian lengannya ketika pulang dari Tweila, sekitar 40 kilometer dari ibu kota. Pelaku yang saat itu berada di dalam mobil menodongkan senjatanya ke arah presiden. Namun, dia tidak menyebut identitas penembak maupun motif penembakan.
Mauritania terus mengalami pergolakan politik setelah kudeta militer pada 2008. Anggota parlemen dari oposisi menuding bahwa Abdel Aziz mengingkari kesepakatan Dakar sehingga dia terpilih sebagai presiden pada 2009. Oposisi menginginkan sebuah pemerintahan transisi untuk mengambil alih kekuasaan dari Abdel Aziz yang dianggap sebagai pemimpin zalim. Mereka menuntut pemerintahan baru untuk menyelesaikan krisis terkait kemiskinan, angka pengangguran tinggi, perbudakan, dan pelanggaran HAM di Mauritania.
Abdel Aziz, yang juga mantan jenderal itu, telah berkali- kali menolak mundur meski diserang berbagai aksi protes dari oposisi. "Saya tidak akan mundur dan melepaskan kekuasaan. Sebab, saya yakin bahwa di alam demokrasi, perubahan harus dilakukan melalui kotak suara," tegas Abdel Aziz pada Agustus lalu.
Dia juga memimpin kampanye militer untuk melawan kelompok militan Al Qaeda di wilayah Maghribi (AQIM). Presiden 55 tahun tersebut juga telah beberapa kali menjadi target pembunuhan anggota AQIM meski gagal. AQIM, yang berakar pada kelompok radikal Aljazair dan berdiri pada akhir 1990-an, secara formal mengadaptasi ideologi Al Qaeda pada 2007. Namun, setelah menjalankan operasi penyerangan atas sejumlah tokoh penting, tentara Aljazair memerangi mereka untuk membatasi pergerakannya.
Kelompok itu bangkit setelah terjadi pergolakan politik di Mali yang berujung pada kudeta pada Maret lalu. Setelah itu, kelompok garis keras tersebut menguasai sebagian wilayah di utara Afrika. (AFP/AP/BBC/cak/dwi)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Nobel Perdamaian 2012 Jatuh ke Uni Eropa
Redaktur : Tim Redaksi