Usai SBY Terima Gelar Doktor, Akuisisi Danamon Kian Kencang

Kamis, 16 Mei 2013 – 18:18 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR, Arif Budimanta mengatakan, rencana akuisisi Bank Danamon oleh Development Bank of Singapore (DBS) Group Holding Ltd indikasi terjadinya ancaman terhadap kepentingan perbankan nasional.

Sebuah rencana akuisisi menurut Arif, tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa apalagi bila keputusan itu didorong oleh faktor politik tertentu antara pemerintah dan Singapura.

"Saya melihat, usai pemberian gelar doktor kehormatan (honorary doctorate of letters) 23 April lalu dari Nanyang Technological University (NTU), Singapura kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), rencana akuisisi itu melaju kencang dari yang semestinya," kata Arif Budimanta, di gedung DPR, Senayan Jakarta, Kamis (16/5).

Dikatakannya, dalam etika pergaulan internasional, kita apresiasi apapun bentuk penghargaan yang diberikan kepada Kepala Negara. Tapi, penghargaan itu jangan membuat Indonesia terlena, apalagi menggadaikan kepentingan ekonomi nasional Indonesia," kata politisi PDI-Perjuangan itu.

Diingatkannya, salah satu poin krusial dalam akuisisi perlunya diterapkan asas resiprokal (timbal-balik) antara bank nasional dan bank asing. BI harus memiliki posisi tawar yang tinggi di hadapan otoritas perbankan asing.

"Daya tawar Bank Indonesia (BI) harus tinggi dan tidak boleh mengalah. Kalau DBS disetujui akuisisi Danamon, maka bank-bank dari Indonesia harus dipermudah jika membuka cabang dan melakukan aktivitas keuangan di Singapora dan juga negara lain," pintanya.

Salah satu indikasi rendahnya posisi tawar di hadapan asing, lanjut Arif,  adalah posisi Direktur Utama Bank Danamon diisi oleh asing. Padahal, saat krisis ekonomi 1997, Danamon mengalami kesulitan likuiditas dan akhirnya oleh pemerintah meletakan Danamon di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai bank yang diambil alih (BTO - Bank Take Over).

"Pada 1999, pemerintah melalui BPPN melakukan rekapitalisasi Bank Danamon sebesar Rp32 miliar dalam bentuk Surat Utang Pemerintah (Government Bonds). Artinya di situ kan ada uang rakyat. Kalau ada pembelian saham asing, mengapa bukan orang kita yang di posisi puncak? BI harus berani bicara soal  ini," saran Arif.

Karena itu, BI jangan gegabah. Akuisisi, lanjutnya, jangan dilakukan saat ini karena akan menunjukkan bahwa Gubernur BI Darmin Nasution melakukan manuver politik menjelang jabatannya berakhir pada 22 Mei mendatang. "Perlu dibahas kembali persoalan akuisisi yang masih menimbulkan pro-kontra mengingat sejumlah masalah krusial yang belum tuntas," imbuh Arif Budimanta. (fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan Minta BUMN Manfaatkan Limbah Sawit untuk Listrik

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler