JAKARTA - Berakhirnya shutdown (penutupan pemerintahan) di Amerika Serikat (AS) berdampak ekonomi sangat besar. Pemerintah AS harus menanggung beban utang lebih dari USD 17 triliun atau sekitar Rp 187.000 triliun! Hal itu merupakan konsekuensi setelah Presiden Barack Obama dan Kongres bersepakat membuka shutdown dan menambah utang.
Berdasar keterangan resmi Departemen Keuangan AS pada Jumat sore (18/10) waktu setempat, jumlah utang ditingkatkan USD 328 miliar menjadi total USD 17,027 triliun
Kesepakatan itu justru membuat Kongres AS menunda debt ceiling alias ambang legal utang baru. Sebaliknya, pemerintah AS bisa menambah utang atau meminjam uang sebanyak yang dibutuhkan. Hal itu ditujukan untuk menutupi kewajiban selama kurang dari lima bulan ke depan.
Dalam ketentuan baru tersebut, kebijakan untuk menaikkan utang dibatasi hanya sampai 7 Februari 2014.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara menyatakan, kebijakan untuk meningkatkan utang AS memang tidak bisa dihindari. Hal itu mengakibatkan posisi utang AS terhadap output ekonominya makin besar.
''Dari sisi utang terhadap PDB (produk domestik bruto), AS jauh lebih besar dari Indonesia. Kita hanya sekitar 30 persen (dari PDB), sedangkan AS di atas 60 persen dari PDB,'' ungkapnya.
Indonesia merupakan salah satu pemegang surat utang AS. Jumlahnya mencapai USD 23 miliar. Jumlah itu setara dengan 23,95 persen cadangan devisa yang mencapai USD 95,6 miliar.
Merujuk data Department of the Treasury/Federal Reserve Board AS per Juli 2013, Indonesia masuk sebagai pemegang obligasi pada kategori negara eksporter minyak yang nilai keseluruhannya USD 257,7 miliar. Selain Indonesia, dalam kategori tersebut ada Ekuador, Venezuela, Bahrain, Iran, Iraq, Kuwait, Oman, dan Qatar.
Sementara itu, Tiongkok masih menjadi pembeli obligasi AS terbesar dengan nilai USD 1,27 triliun. Disusul Jepang dengan penguasaan USD 1,13 triliun. Setelah itu, ada Carribean Banking Centers dengan nilai USD 287,7 miliar.
Menurut Mirza, posisi utang AS yang membengkak tidak baik untuk jangka panjang. Karena itu, pemerintah AS harus mengurangi utangnya. ''Kalau mengajari negara berkembang harus disiplin fiskal, Amerika juga harus disiplin fiskal. Jangan menambah utang. Kalau sekarang bernegosiasi menambah utang, jangka panjang bagaimana Amerika mengurangi utang,'' terangnya.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta, A. Tony Prasetyantono mengungkapkan, jika AS tidak berupaya mengontrol utangnya, krisis di zona euro berpotensi terjadi lagi. ''Krisis zona euro berawal dari utang pemerintah Yunani yang mencapai 160 persen terhadap PDB,'' ungkapnya.
Kendati demikian, Indonesia sementara mendapat sisi positif dari kemelut AS yang masih belum selesai tersebut. Tony optimistis Bank Sentral AS atau The Federal Reserve masih akan menjalankan stimulus moneter quantitative easing (QE).
Jika QE diberhentikan, harga obligasi pemerintah AS bakal jatuh dan memantik aksi jual besar-besaran. Likuiditas di pasar lewat dana QE yang mencapai USD 85 miliar masih akan terus bergulir. ''Hal itu akan menambah sentimen positif dan meningkatkan kekuatan kurs rupiah terhadap dolar AS,'' paparnya.
Dalam jangka panjang, Tony melihat kekuatan AS dalam menyerap barang-barang dari luar negeri, termasuk dari Tiongkok, bisa berkurang jika perbaikan ekonomi tidak segera terjadi. Hal itu akan memengaruhi sektor perdagangan Indonesia. Sebab, AS dan Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor utama Indonesia. (gal/c5/ca)
BACA JUGA: Transaksi Narkoba, Keliru SMS Polisi
BACA ARTIKEL LAINNYA... Berlusconi Dihukum Tidak Boleh Berpolitik Dua Tahun
Redaktur : Tim Redaksi