UU Cipta Kerja Berikan Jaminan Kepastian Hukum untuk Investor

Minggu, 03 Januari 2021 – 14:45 WIB
Salah satu investor terbesar di Batam, Pegatron sudah beroperasi mulai Juli lalu. Foto: batampos/jpg

jpnn.com, JAKARTA - Guru Besar IPB University Prof. DR Ir. Yanto Santosa, DEA mengatakan, tujuan mendasar dari Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah membentuk iklim usaha yang bagus di Indonesia. 

Salah satu caranya dengan mendorong kemudahan investasi dan peningkatan lapangan kerja di tanah air.

BACA JUGA: 5 Berita Terpopuler: Deklarasi Nama Baru Pengganti FPI Tetap Terlarang, Reaksi Rizieq, Sosok Habib Jafar yang Selalu Dikenang

"Ketika investasi meningkat, tentu lapangan kerja juga meningkat, ini tujuan UU Cipta kerja sebenarnya, demi kesejahteraan masyarakat. Artinya, kehadirannya dapat menjadi akselerasi pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19," kata Prof. Yanto Santosa di Jakarta.

Hanya saja, lanjut Prof Yanto, untuk mengimplementasikan UU Cipta Kerja agar sesuai harapan pemerintah, di antaranya, penyederhanaan regulasi perizinan, mendorong kemudahan investasi, dan peningkatan lapangan kerja, tentunya ada sejumlah syarat-syarat yang harus terpenuhi.

BACA JUGA: Tahun Baru, Saatnya Pemulihan Ekonomi dengan UU Cipta Kerja

Menurutnya, prasyarat yang pertama adalah pelaku usaha harus dijadikan sebagai mitra yang sejajar, bukan sebagai pihak yang dicurigai atau diwaspadai.

"Dengan status tersebut maka bentuk interaksi atau hubungan antara pemerintah dan pengusaha akan bersifat saling membantu dan membutuhkan," terangnya.

BACA JUGA: Pemerintah Optimistis Pertumbuhan Ekonomi 2021 Bakal Capai Target

Kemudian, prasyarat selanjutnya ialah jenis usaha harus dibedakan menjadi dua yakni usaha yang merupakan inisiatif atau prakarsa pemerintah dan usaha yang merupakan inisiatif atau prakarsa pelaku usaha.

Untuk jenis usaha yang merupakan inisiatif atau prakarsa pemerintah, seyogyanya seluruh perizinan diurus oleh pemerintah, sehingga pelaku usaha hanya tinggal melakukan operasional usahanya.

Sementara, untuk jenis usaha yang merupakan inisiatif atau prakarsa pelaku usaha, proses pengurusan perizinan dilakukan oleh pelaku usaha dengan senantiasa dibantu oleh pemerintah.

Kemudian, lanjutnya, adanya jaminan kepastian hukum dan konsistensi kebijakan atau peraturan antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah kabupaten atau kota.

UU Sapu Jagat harus bisa menyederhanakan, menyinkronkan, dan memangkas regulasi dikarenakan terlalu banyaknya aturan yang diterbitkan di pusat dan daerah yang menghambat kegiatan berusaha dan penciptaan lapangan kerja.

Hal tersebut selaras dengan peryataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebutkan, UU Cipta Kerja memberikan kepastian hukum dan kemudahan dengan adanya standar, khususnya terkait dengan persyaratan dan proses perizinan berusaha.

Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam proses perizinan berusaha.

"Hukuman dan penghargaan harus bersifat reciprok sepenuhnya berlandaskan hukum dan peraturan yang berlaku juga harus ada. Itu beberapa prasyarat yang saya usulkan dalam Peraturan Pemerintah terkait UU Cipta Kerja," jelas Prof Yanto.

Sebelumnya, Pakar Hukum Pembangunan Ekonomi UKI Dhaniswara K Harjono mengapresiasi pemerintah, di tengah pandemi Covid-19, Indonesia mampu menghadirkan produk hukum baru yang memberi harapan yakni UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja yang terdiri 116 pasal ini mampu merevisi 77 UU sebelumnya yang ternyata isinya saling tumpang tindih dan tidak ada kepastian.

Adapun UU Cipta Kerja ini menyentuh masalah perizinan dan penanaman modal dimana implementasi dari UU ini sebagai upaya meningkatkan investasi yang akan membuka lapangan kerja lebih luas.

"Salah satu sisi positif dari UU Cipta Kerja, kalau bikin perusahaan mudah, nggak perlu banyak modal. Kalau dulunya minimal Rp 50 juta, sekarang nggak ada," ujarnya di Jakarta, Jumat (1/12/2020).

Dia juga menilai, UU Cipta Kerja sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada serta tantangan ke depan.

Seperti memanfaatkan bonus demografi yang akan dialami Indonesia dalam 10-20 tahun mendatang (2020-2040), kemudian menyederhanakan, menyinkronkan, dan memangkas regulasi dikarenakan terlalu banyaknya aturan yang diterbitkan di pusat dan daerah yang menghambat kegiatan berusaha dan penciptaan lapangan kerja.

"Kita akan dihadapkan pada persoalan masa depan, antara lain bonus demografi pada 2030 dan puncaknya pada 2040. Artinya jumlah usia produktif komposisinya akan jauh lebih besar. Kita perlu solusi untuk mengantisipasi bonus demografi ini dengan peningkatkan lapangan kerja," kata Dhaniswara yang juga menjabat Rektor UKI tersebut. (flo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler