Inilah yang menjadi alasan utama, mengapa tujuh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berlatar pendidikan berbeda, mengajukan permohonan pengujian Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, tentang guru dan dosen. Ketujuh pemohon tersebut masing-masing Aris Winarto, Achmad Hawanto, Heryono, Mulyadi, Angga Damayanto, M Khoirur Rosyid dan Siswanto.
“Kami mengajukan permohonan uji materi, karena hal ini telah menimbulkan diskriminasi pada sarjana yang berlatar belakang kependidikan," ungkap kuasa hukum pemohon, Muhammad Sholeh, dalam sidang perdana yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (5/10).
Dalam pasal 9 UU tersebut menyebutkan, bahwa kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, diperoleh melalui pendidikan sarjana atau program diploma empat. Menurut Sholeh, kliennya melihat bahawa pasal ini mengandung multitafsir. “Karena tidak ada kejelasan harus sarjana pendidikan, sehingga memunculkan tafsir yang membolehkan sarjana non kependidikan menjadi guru.”
Oleh sebab dalam permohonan uji materi ini, pemohon ungkap Sholeh kemudian, meminta agar MK memberi tafsir atas pasal yang dimaksud. Dengan menyatakan, calon guru harus memiliki latar belakang sarjana kependidikan.
Menanggapi uraian pemohon, anggota Majelis Hakim Konstitusi, Ahmad Fadlil melihat, permohonan para pemohon lebih kepada tindakan ketidakadilan konkrit. “Sepertinya uraian yang disampaikan merupakan tindakan ketidakadilan konkrit, bukan ketidakadilan dalam bentuk normatif. Paparan ketidakadilan normatif malah tidak dijelaskan. Seharusnya, permohonan ini mengangkat permasalahan pada arah normatif saja, bukan pada arah konkrit," ungkapnya.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... ITB Kampus Pertama Pendidikan Anti Korupsi
Redaktur : Tim Redaksi