jpnn.com, JAKARTA - Dunia medis mulai melihat dampak positif dari rokok elektrik atau vape. Dibandingkan rokok konvensional, produk alternatif itu dinilai efektif menekan tingginya prevalensi perokok aktif di Indonesia.
Dokter Arifandi Sanjaya mengatakan, vape jauh lebih baik ketimbang rokok konvensional. Baik itu dari derajat pemanasan maupun zat kimia yang terbentuk dari proses pemanasan tersebut.
BACA JUGA: Bukan Vape, Kematian di AS Akibat Penyalahgunaan Cairan Ganja
”Beberapa pasien saya sempat nyoba (vape). Ternyata yang punya amandel, punya asma, lebih jarang kambuh dibanding saat masih menggunakan rokok," ungkap Arifandi di sela diskusi #sayapilihvape, di kawasan Ampera, Jakarta Selatan.
Memang, kata Arifandi, jika pertanyaannya lebih baik beralih ke vape atau langsung berhenti merokok maka jawabannya sebaiknya langsung berhenti. ”Kalau bisa. Tapi kan tidak semua orang bisa. Makanya, vape ini sebagai jembatan untuk orang yang mau berhenti merokok. Karena sensasinya memang mirip rokok,” terangnya.
BACA JUGA: Benarkah Vape Efektif Bantu Berhenti Merokok? Â
Arifandi tidak menampik vape juga memiliki risiko. Hanya saja risikonya jauh lebih kecil dibandingkan rokok biasa. ”Risiko tersebut bisa diminimalisir dengan bekal informasi yang cukup dalam penggunaannya,” ucap Arifandi lantas menyebutkan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan bagi para vapers.
Pertama, kata dia, perawatan dari mod atau alat vapenya itu sendiri. Mulai dari baterai sampai bagian lainnya. ”Jangan overcharging. Kalau pembungkusnya sudah rusak ya harus dibenerin lagi. Yang namanya kawat, kapas, tentu ada masa berlakunya. Kalau sudah dipakai tiga sampai empat hari harus diganti," sarannya.
BACA JUGA: Jika Tak Dikontrol, Rokok Elektrik Ancam Petani Tembakau
Penggunaan liquid, lanjut Arifandi, juga harus diperhatikan. Baiknya vapers menyesuaikan jumlah liquid dengan tingkat konsumsi nikotin saat masih menggunakan rokok konvensional. ”Yang penting jangan over (berlebihan)”.
Arifandi sekaligus menjelaskan tentang sempat ramainya kasus kematian yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Dia meyakini tidak akan terjadi di Indonesia. Sebab kasus itu diakibatkan penyalahgunaan narkotika berupa cairan ganja.
Sebagaimana daun ganja, menurutnya, ganja berupa cairan juga merupakan benda terlarang. ”Kematian di AS masalahnya ada di THC (tetrahydrocannabinol) oil (ekstrak ganja) yang bisa bikin yang namanya lipoid pneumonia. Jadi masalah di paru-paru yang disebabkan dari terjebaknya minyak di dalam. Di Indonesia sendiri THC jelas dilarang,” ungkapnya.
Meski lebih aman dibandingkan rokok, Arifandi menyarankan para vapers untuk tetap menjalankan pola hidup sehat. Dengan cara seperti banyak mengonsumsi air putih dan berolahraga. Efektifitas vape sebagai alternatif menekan jumlah perokok itu sejalan dengan hasil penelitian di Inggris. Action on Smoking and Health (ASH) mengumumkan hasil temuan tersebut.
Badan amal kesehatan yang bekerja untuk menghilangkan bahaya disebabkan penggunaan tembakau dengan sumber dana dari Cancer Research UK dan British Heart Foundation itu mengungkapkan, sekitar 3,6 juta orang di Inggris merupakan pengguna vape dengan status mantan perokok pada 2019.
Temuan yang dirilis pada akhir September 2019 itu mencatat, berdasarkan data kantor pusat statistik nasional, terdapat sekitar 7,2 juta perokok di Inggris pada tahun 2018. Sementara dari total pengguna vape, sebanyak 54,1 persen di antaranya adalah mantan perokok.(mg7/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh