Skema visa baru Australia yang dikhususkan bagi pekerja di sektor pertanian dari negara ASEAN dikhawatirkan akan mengarah ke eksploitasi massal.
Peringatan ini disampaikan pekerja dan kelompok advokasi hak-hak pekerja dalam wawancara dengan program Radio National ABC.
BACA JUGA: Kasus Harian COVID-19 di Indonesia Naik, Epidemiolog Ingatkan Angka Sebenarnya Jauh Lebih Tinggi
Menurut rencana, visa khusus bagi pekerja asal negara ASEAN dibuat untuk menutupi kekurangan pekerja 'backpacker' asal Inggris di tahun-tahun mendatang.
Namun pengalaman Green, seorang pekerja asal Taiwan di Australia, menunjukkan kondisi yang amat memprihatinkan.
BACA JUGA: Kasus Harian COVID-19 di Indonesia Naik, Epidemiolog Ingatkan Angka Sebenarnya Jauh Lebih Tinggi
Ketika pertama kali datang ke Australia, Green tertarik dengan janji bekerja di wilayah pedalaman dengan penghasilan sesuai ketentuan upah minimum.
Kenyataan yang dialami pria berusia 27 tahun ini setelah bekerja di perkebunan berry dan brokoli di Tasmania dan Victoria sangat berbeda.
BACA JUGA: Indonesia Terpilih Jadi Anggota Reguler GB-ILO 2021-2024
Ia mengaku dibayar sekitar AU$100, atau Rp1 juta lebih per minggu
"Di Taiwan saya mendengar banyak informasi tentang kehidupan backpacker di Australia dan saat tiba saya tidak tahu mengenai kondisi kerja di sini," katanya kepada ABC.
"Uang saya pernah hanya tersisa tinggal AU$300 dolar," ujarnya. "Saya merasa hampir mati saat itu."
Skema visa baru ini nantinya bisa mendatangkan ribuan pekerja seperti Green untuk tinggal dan bekerja selama tiga tahun di wilayah pedalaman.
Menteri Pertanian Australia, David Littleproud menyatakan syarat dan ketentuan visa pertanian untuk warga ASEAN akan berbeda dengan visa pekerja musiman asal negara-negara Pasifik.
Selain itu, David juga menyatakan kondisi dan keselamatan kerja visa pertanian akan menjadi perhatian utama.
"Visa ini merupakan perluasan dari visa WHV, sehingga kami akan memastikan 10 negara ASEAN tersebut yakin untuk mengirimkan rakyatnya ke sini," jelasnya.
"Saya kira tidak adil bila menyebut petani Australia tidak membayar upah yang layak. Mereka telah melakukannya," kata David.
Namun ia mengakui di dalam industri pertanian, sebagaimana terjadi dalam industri lainnya, selalu ada oknum operator yang mengeruk keuntungan.
"Yang perlu dilakukan adalah memberantas oknum-oknum ini dari industri pertanian," tegasnya.
Menurut Matt Kunkel dari kelompok advokasi Migrant Workers Centre, eksploitasi masih terus berlangsung di industri pertanian Australia.
"Kami mendapat laporan mengenai kondisi kerja yang buruk di pertanian di mana pekerja mengalami 'bullying', pelecehan dan paspor mereka ditahan. Ada juga yang melaporkan terjadinya kekerasan seksual," ujar Matt.
Bersama serikat pekerja, LSM yang dikelola Matt pernah melakukan survei terhadap 1.300 pekerja di sektor pertanian dan menemukan terjadinya pembayaran di bawah ketentuan upah minimum.
Menurut survei ini, 15 persen pekerja mengaku dibayar AU$7 dolar, atau Rp70.000 per jam, bahkan ada yang tidak dibayar sama sekali.
Disebutkan, pembayaran terendah terjadi di perkebunan sayur zucchini, anggur dan blueberry dengan pembayaran hanya $9 dolar, atau kurang dari Rp100.000 per hari.
Matt memperingatkan, pemberian visa pertanian bagi pekerja asal ASEAN hanya akan memperparah eksploitasi oleh oknum penyalur tenaga kerja.
"Penyalur tenaga kerja sangat paham bagaimana memanipulasi syarat kerja 88 hari di wilayah pedalaman bagi pemegang visa WHV. Mereka sengaja menargetkan kelompok pekerja ini," katanya.
Menurut Matt, perubahan sistem visa seharusnya bukan hanya mengganti asal negara kelompok pekerja yang akan tereksploitasi di sektor pertanian.
"Meningkatkan upah dan menindak pelecehan harus jadi prioritas," ujarnya. Visa pertanian sudah lama ditunggu
Menurut Richard Shannon dari kelompok advokasi petani Growcom, kebijakan Pemerintah Australia membuat visa khusus pekerja pertanian sudah lama ditunggu pelaku industri ini.
"Saat ini kita berada dalam situasi krisis di mana terjadi kekurangan pekerja musiman. Sebelum COVID, sekitar 75 persen pekerja sektor pertanian adalah backpacker," jelasnya.
Mayoritas pekerja ini, menurut Richard, sudah kembali ke negaranya masing-masing akibat pandemi.
"Sebelumnya kita biasanya memiliki sekitar 150 ribu backpacker yang bekerja di berbagai wilayah negara. Sekarang tinggal sekitar 40 ribu," katanya.
Garry Gaeta, seorang petani buah cherry di daerah Orange, New South Wales, mengaku kesulitan mendapatkan pekerja jangka panjang di perkebunannya saat ini.
"Kami mengalami masa terburuk dalam 12 bulan terakhir, karena tidak cukup pekerja yang akan memetik hasil panen," jelasnya.
Namun bagi seorang pekerja asing seperti Green, kembali ke sektor pertanian bukan lagi menjadi pilihan.
Ia memperingatkan bagi calon pekerja yang ingin masuk ke Australia dengan menggunakan visa pertanian.
"Selama petani mau membayar upah yang layak, pastikan semua pekerja migran diperlakukan dengan respek dan adil," katanya.
Diproduksi oleh Farid M. Ibrahim dari program Radio National
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada Kabar Baik dari Menaker Ida Fauziyah soal Keanggotaan ILO