BOGOR- Pembangunan Waduk Ciawi bukanlah solusi final mengatasi banjir Jakarta. Kalimat itu ditegaskan Pemerhati Tata Ruang, Joko Pitoyo. Menurutnya, efektivitas pembangunan waduk untuk meminimalisir debit air Ciliwung bukanlah di Ciawi. Melainkan di Depok.
“Kalau untuk mengurangi banjir atau memperlambat air bah, iya. Kalau untuk menghilangkan, kemungkinan kecil sekali. Banyak yang harus ikut kontribusi. Lokasilasi curah hujan dan kondisi tata ruang dan alam Jakarta itu sendiri,” paparnya.
Joko mengatakan, dalam melihat fenomena banjir dari luapan air sungai, perlu juga melihat kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) secara komprehensif. Pada kasus penanganan banjir Jakarta di tingkat hulu, tidak semata-mata sungai Ciliwung saja yang menjadi objek analisa. Setiap anak sungai yang mengalir ke Ciliwung pun harus ditangani dengan terpadu.
“Harus ada semacam dam-dam (pintu air) kecil penampung utama di tiap anak sungai. Pemda sebenarnya bisa melakukan itu. Sebelum air itu masuk ke sungai utama Ciliwung, dia akan tertahan di anak-anak sungai,” terangnya.
Menurut Joko, pemantauan bisa dilakukan di tingkat daerah dengan menganalisa perkembangan anak sungai. Melalui analisa itu, dapat terpantau pola aliran sungai. Selanjutnya, sistem dam anak sungai juga harus diterapkan di tiap pertemuan anak sungai dengan sang induk, hingga perbatasan Bogor-Depok.
“Konsekuensin ya kita harus bebaskan tanah masyarakat. Dengan adanya dam kecil di tiap anak sungai, kita bisa menahan air sungai, juga menambah riset,” ungkapnya.
Sekadar diketahui, Bogor memiliki pintu air Katulampa sebagai sistem informasi dini mengantisipasi bahaya banjir dari Sungai Ciliwung untuk wilayah Jakarta. Data mengenai ketinggian air di bendung Katulampa ini, menjadi tolak ukur durasi waktu sampainya air hulu Ciliwung ke Ibu Kota. Sehingga, masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar aliran Sungai Ciliwung dapat mengantisipasi sedini mungkin datangnya air bah yang akan melewati daerah mereka.
Semua catatan ini dilaporkan lkepada pihak terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, pos pemantau ketinggian air Ciliwung di Depok, dan petugas Pintu Air Manggarai, serta Pemerintah Kota Bogor. Selain fungsi pantauan, bendung ini memiliki fungsi lain sebagai sarana irigasi lahan seluas 5.000 hektar yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendungan. Pada saat musim hujan, bendungan ini bisa dilewati air dengan rekor debit 630 ribu liter air per detik atau ketinggian 250 centimeter yang pernah terjadi pada tahun 1996, 2002, 2007, dan 2010.
Bendung Katulampa dibangun pada tahun 1889, dan mulai beroperasi pada tahun 1911. Bendung ini adalah respon terhadap banjir besar yang melanda Jakarta pada 1872. Kala itu, banjir dikabarkan membuat daerah elit Harmoni ikut terendam air luapan Ciliwung. Dari Katulampa, sebagian air Ciliwung dialirkan lewat pintu air ke Kalibaru Timur, dan mengalir ke Jakarta, di sepanjang sisi Jalan raya Bogor, melalui Cimanggis, Depok, Cilangkap, sebelum bermuara di daerah Kali Besar, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dahulu, air Kalibaru Timur dipakai untuk mengairi sawah yang banyak terdapat di daerah antara Bogor dan Jakarta,” terangnya.
Sampai tahun 1990, areal persawahan di Bogor dan Jakarta masih banyak, yakni 2.414 hektar. Namun kini sawah hampir habis. Hanya Bogor dan Cibinong yang masih memiliki 72 hektar sawah, sementara Jakarta sama sekali habis. Sehingga fungsi irigasi Bendung Katulampa bisa dikatakan sudah berakhir akibat punahnya areal persawahan di Bogor dan Jakarta.
Joko melanjutkan, pemahaman yang perlu dipahami semua pihak terkait banjir Jakarta adalah, tidak semua penyebab banjir berada di wilayah hulu atau Bogor. Penataan di hilir pun menjadi salah satu penyebab air sungai meluap. Meski cuaca di hulu turun hujan, jika terpantau ketinggian air sungai di hilir sudah naik dalam waktu bersamaan, bisa dikatakan ada yang tak beres dalam penataannya.
“Tidak bisa selalu disalahkan hulu. Perlu dilihat juga, apakah hujan merata atau sporadis di satu wilayah. Durasi hujan, intensitas dan ketebalan curah hujan juga sangat berpengaruh,” paparnya.
Langkah selanjutnya adalah analisa karakteristik bantaran sepanjang das, serta tutupan lahan. Hal itu menjadi kesatuan hingga ke muara atau laut. Pemantauan dengan melihat wilayah mana yang paling cepat berubah. Apakah hulu, tengah atau justru hilir.
“Baru kita bisa lihat siapa kontributor terbesar dari banjir ini,” ucapnya.
Joko menganalogikan prinsip air permukaan (overlands flow). Semisal angka air hujan yang turun adalah 10, sedangkan yang langsung terserap tanah hanya tiga. Sehingga, nilai air permukaan yang langsung mengalir ke sungai menjadi tinggi, yakni tujuh. Fungsi yang harus dilakukan adalah, bagaimana merubah angka air permukaan menjadi lebih kecil.
“Untuk mendapat angka ideal itu, wilayah tengah dan hilir juga harus ikut berperan. Menerapkan rumusan itu di masing-masing wilayah. Mengatasi Puncak saja, tidak ada jaminan banjir akan hilang,” tandasnya.
Banjir memang telah akrab bagi kota-kota di Pantai utara Jawa. Menilik sejarahnya, Jakarta dibangun oleh Jan Pieters Z Coen, di awal abad ke 17 dengan konsep kota air (waterfront city). Konsep itu adalah konsep jitu dalam mengatasi banjir. Pada waktu didirikan tahun 1619, Batavia dirancang dengan kanal-kanal seperti kota Amsterdam atau kota-kota lain di Belanda.
Selain luapan air Sungai Ciliwung, secara historis semenanjung dan teluk Jakarta memang rawan banjir akibat peningkatan debit air sungai Cisadane, Angke, Bekasi dan Citarum. Pertumbuhan permukiman yang tak terkendali, mengakibatkan terhambat aliran air ke laut.
Alhasil Kota Jakarta pernah dilanda banjir hebat pada tahun 1621, 1654 dan 1918, 1976, 1996, 2002 dan 2007. Banjir tahun 1996 menggenangi hampir seluruh penjuru kota. Tahun itu menjadi tragedi nasional yang menjadi perhatian dunia. Banjir besar ini dipercaya sebagai banjir lima tahunan yang akan berulang setiap lima tahun. Terbukti pada awal 2002 banjir kembali melanda Jakarta. Siklus itu kembali terulang pada awal 2007 dan awal 2013.(*)
“Kalau untuk mengurangi banjir atau memperlambat air bah, iya. Kalau untuk menghilangkan, kemungkinan kecil sekali. Banyak yang harus ikut kontribusi. Lokasilasi curah hujan dan kondisi tata ruang dan alam Jakarta itu sendiri,” paparnya.
Joko mengatakan, dalam melihat fenomena banjir dari luapan air sungai, perlu juga melihat kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) secara komprehensif. Pada kasus penanganan banjir Jakarta di tingkat hulu, tidak semata-mata sungai Ciliwung saja yang menjadi objek analisa. Setiap anak sungai yang mengalir ke Ciliwung pun harus ditangani dengan terpadu.
“Harus ada semacam dam-dam (pintu air) kecil penampung utama di tiap anak sungai. Pemda sebenarnya bisa melakukan itu. Sebelum air itu masuk ke sungai utama Ciliwung, dia akan tertahan di anak-anak sungai,” terangnya.
Menurut Joko, pemantauan bisa dilakukan di tingkat daerah dengan menganalisa perkembangan anak sungai. Melalui analisa itu, dapat terpantau pola aliran sungai. Selanjutnya, sistem dam anak sungai juga harus diterapkan di tiap pertemuan anak sungai dengan sang induk, hingga perbatasan Bogor-Depok.
“Konsekuensin ya kita harus bebaskan tanah masyarakat. Dengan adanya dam kecil di tiap anak sungai, kita bisa menahan air sungai, juga menambah riset,” ungkapnya.
Sekadar diketahui, Bogor memiliki pintu air Katulampa sebagai sistem informasi dini mengantisipasi bahaya banjir dari Sungai Ciliwung untuk wilayah Jakarta. Data mengenai ketinggian air di bendung Katulampa ini, menjadi tolak ukur durasi waktu sampainya air hulu Ciliwung ke Ibu Kota. Sehingga, masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar aliran Sungai Ciliwung dapat mengantisipasi sedini mungkin datangnya air bah yang akan melewati daerah mereka.
Semua catatan ini dilaporkan lkepada pihak terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, pos pemantau ketinggian air Ciliwung di Depok, dan petugas Pintu Air Manggarai, serta Pemerintah Kota Bogor. Selain fungsi pantauan, bendung ini memiliki fungsi lain sebagai sarana irigasi lahan seluas 5.000 hektar yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendungan. Pada saat musim hujan, bendungan ini bisa dilewati air dengan rekor debit 630 ribu liter air per detik atau ketinggian 250 centimeter yang pernah terjadi pada tahun 1996, 2002, 2007, dan 2010.
Bendung Katulampa dibangun pada tahun 1889, dan mulai beroperasi pada tahun 1911. Bendung ini adalah respon terhadap banjir besar yang melanda Jakarta pada 1872. Kala itu, banjir dikabarkan membuat daerah elit Harmoni ikut terendam air luapan Ciliwung. Dari Katulampa, sebagian air Ciliwung dialirkan lewat pintu air ke Kalibaru Timur, dan mengalir ke Jakarta, di sepanjang sisi Jalan raya Bogor, melalui Cimanggis, Depok, Cilangkap, sebelum bermuara di daerah Kali Besar, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dahulu, air Kalibaru Timur dipakai untuk mengairi sawah yang banyak terdapat di daerah antara Bogor dan Jakarta,” terangnya.
Sampai tahun 1990, areal persawahan di Bogor dan Jakarta masih banyak, yakni 2.414 hektar. Namun kini sawah hampir habis. Hanya Bogor dan Cibinong yang masih memiliki 72 hektar sawah, sementara Jakarta sama sekali habis. Sehingga fungsi irigasi Bendung Katulampa bisa dikatakan sudah berakhir akibat punahnya areal persawahan di Bogor dan Jakarta.
Joko melanjutkan, pemahaman yang perlu dipahami semua pihak terkait banjir Jakarta adalah, tidak semua penyebab banjir berada di wilayah hulu atau Bogor. Penataan di hilir pun menjadi salah satu penyebab air sungai meluap. Meski cuaca di hulu turun hujan, jika terpantau ketinggian air sungai di hilir sudah naik dalam waktu bersamaan, bisa dikatakan ada yang tak beres dalam penataannya.
“Tidak bisa selalu disalahkan hulu. Perlu dilihat juga, apakah hujan merata atau sporadis di satu wilayah. Durasi hujan, intensitas dan ketebalan curah hujan juga sangat berpengaruh,” paparnya.
Langkah selanjutnya adalah analisa karakteristik bantaran sepanjang das, serta tutupan lahan. Hal itu menjadi kesatuan hingga ke muara atau laut. Pemantauan dengan melihat wilayah mana yang paling cepat berubah. Apakah hulu, tengah atau justru hilir.
“Baru kita bisa lihat siapa kontributor terbesar dari banjir ini,” ucapnya.
Joko menganalogikan prinsip air permukaan (overlands flow). Semisal angka air hujan yang turun adalah 10, sedangkan yang langsung terserap tanah hanya tiga. Sehingga, nilai air permukaan yang langsung mengalir ke sungai menjadi tinggi, yakni tujuh. Fungsi yang harus dilakukan adalah, bagaimana merubah angka air permukaan menjadi lebih kecil.
“Untuk mendapat angka ideal itu, wilayah tengah dan hilir juga harus ikut berperan. Menerapkan rumusan itu di masing-masing wilayah. Mengatasi Puncak saja, tidak ada jaminan banjir akan hilang,” tandasnya.
Banjir memang telah akrab bagi kota-kota di Pantai utara Jawa. Menilik sejarahnya, Jakarta dibangun oleh Jan Pieters Z Coen, di awal abad ke 17 dengan konsep kota air (waterfront city). Konsep itu adalah konsep jitu dalam mengatasi banjir. Pada waktu didirikan tahun 1619, Batavia dirancang dengan kanal-kanal seperti kota Amsterdam atau kota-kota lain di Belanda.
Selain luapan air Sungai Ciliwung, secara historis semenanjung dan teluk Jakarta memang rawan banjir akibat peningkatan debit air sungai Cisadane, Angke, Bekasi dan Citarum. Pertumbuhan permukiman yang tak terkendali, mengakibatkan terhambat aliran air ke laut.
Alhasil Kota Jakarta pernah dilanda banjir hebat pada tahun 1621, 1654 dan 1918, 1976, 1996, 2002 dan 2007. Banjir tahun 1996 menggenangi hampir seluruh penjuru kota. Tahun itu menjadi tragedi nasional yang menjadi perhatian dunia. Banjir besar ini dipercaya sebagai banjir lima tahunan yang akan berulang setiap lima tahun. Terbukti pada awal 2002 banjir kembali melanda Jakarta. Siklus itu kembali terulang pada awal 2007 dan awal 2013.(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Usai Banjir Kiriman, Waspadai Air Pasang
Redaktur : Tim Redaksi