Nama Wahyu Susilo dan Migrant Care sejak dibentuk di tahun 2004 sudah menjadi bagian dari pemberitaan mengenai berbagai masalah yang dihadapi TKI di luar negeri.
Wahyu Susilo (50 tahun) sekarang menjadi Direktur Eksekutif Migrant Care, sebuah lembaga yang melakukan advokasi bagi para pekerja migran asal Indonesia yang kadang menghadapi masalah eksploatasi dan diskriminasi di luar negeri.
BACA JUGA: Marak Serangan Hiu Picu Desakan Pemusnahan Hiu di Queensland Utara
Dimulai dengan lima orang staf, Migrant Care sekarang memilikii 36 orang yang bekerja penuh, dan satu kantor perwakilan di Kuala Lumpur (Malaysia).
Adalah Wahyu Susilo yang memberikan tanggapan keras mengenai eksekusi hukuman mati yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terhadap Tuti Tursilawati, yang dilakukan dua minggu lalu.
BACA JUGA: Lukisan Kuno Dari 40.000 Tahun Lalu Ditemukan di Gua Kalimantan
Berbagai kalangan di Indonesia kembali dikejutkan karena pemerintah Arab Saudi melakukan eksekusi tanpa memberitahu pemerintah Indonesia.
Wahyu Susilo baru saja berkunjung ke Melbourne, dan wartawan ABC Sastra Wijaya bertemu dengan pria asal Solo (Jawa Tengah) tersebut dalam sebuah perbincangan.
BACA JUGA: Rendang Atau Soto: Globalkan Kuliner Indonesia Pemerintah Diminta Solid
Berikut rangkuman wawancara dengan Wahyu Susilo mengenai kasus hukuman mati terhadap TKI dan juga situasi pengiriman TKI dalam 20 tahun terakhir.
Banyak pihak mengatakan terkejut mendengar Tuti Tursilawati dieksekusi. Apakah anda juga merasakan hal yang sama, ataukah sadar bahwa pemerintah Arab Saudi memang tidak pernah memberitahu terlebih dahulu?
Sejujursnya kita memang tahu hukuman mati itu seperti bom waktu.
Vonis Tuti sudah diputuskan sejak tahun 2011, dan walau sudah ada yang dieksekusi sebelumnya, nama Tuti sebenarnya berada di daftar paling atas untuk dieksekusi.
Jadi kita tahu bahwa ini tinggal menunggu waktu saja. Namun dalam waktu bersamaan, kita juga terkejut karena Saudi memang tidak pernah memberitahu bahwa akan dilakukan eksekusi.
Jadi kita terkejut tapi kita juga tahu bahwa akan terjadi dan diplomasi apapun tidak akan menghentikan ekesekusi tersebut.
Saya tidak bilang Presiden Jokowi tidak melakukan apa-apa, beberapa kali misalnya mengundang kita (Migrant Care) untuk meminta data mengenai siapa saja yang terancam eksekusi.
Dalam psikologi hukuman mati, sejak jaman Presiden SBY sebenarnya sudah berhasil membebaskan ratusan orang dari eksekusi mati.
Menurut data Kemenlu sudah ada 433 orang yang dibebaskan.
Namun kita juga tahu bahwa prestasi ini tidak akan terbaca, ketika ada berita mengenai eksekusi.
Karena nyawa satu orang juga tidak bisa dibandingkan dengan berapapun yang diselamatkan.
Photo: Arab Saudi mengeksekusi Tuti Tursilawati 29 October 2018 tanpa memberitahu pemerintah Indonesia sebelumnya. (Supplied, Migrant Care)
Mengapa pemerintah Arab Saudi tidak pernah memberitahu bahwa akan dilakukan eksekusi?
Saya kira ini arogansi politik pemerintah Arab Saudi saja. Ini bisa kita lihat dalam kasus pembunuhan terhadap wartawan Jamal Khashoggi.
Hanya karena ada desakan begitu besar dari dunia intrernasioal, Saudi baru memberikan keterangan mengenai Kashoggi.
Dalam kasus Tuti Tursilawati, yang jaug lebih rendah dampak politiknya, jauh berbeda.
Pada dasarnya Saudi memang sangat tertutup.
Dan menurut saya, dari sisi pemerintah Indonesia, ya kita harus ikut dalam barisan yang mempertanyakan pembunuhan terhadap Kashoggi.
Tetapi di sisi lain kita juga mengatakan kepada pemerintah Indonesia, kalau kita mempersoalkan hukuman mati di tempat lain, kita juga punya ganjalan di dalam negeri, karena Indonesia sendiri masih menerapkan hukuman mati.
Jadi secara politik dan moral, kita tidak punya legitimasi mempertanyakan hukuman mati yang dilakukan di negara lain.
Ketika ada kasus eksekusi seperti Tuti Tursilawati, biasanya muncul desakan agar penghentian pengiriman TKI, apakah menurut anda itu tuntutan wajar dan sebaiknya dilakukan?
Saya kira yang bisa dilakukan adalah perbaikan bukan juga penghentian pengiriiman dan membuat prioritas pengiriman.
Jadi kita jangan mempriritaskan Timur Tengah. Kita bisa mengirim ke Asia Tenggara atau ke Asia Timur karena mereka lebih bagus.
Ke Timur Tengah itu kita secara diplomatik tidak kuat.
Selama ini anda berkecimpuing mengurusi TKI, dalam 20 tahun terakhir bagaimana situasi pengiriman TKI ke luar negeri?
Saya kira tidak ada perkembangan signifikan, baik dari sisi pemeirntah Saudi maupun dari sisi pemerintah Indonesia.
Kalau kita bandingkan dengan di negara Timur Tengah lain, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar paling maju. Negara-negara ini sudah menghapus kafalah systerm, sistem keimigrasian yang menganggap bahwa pekerja migran itu adalah barang majikannnya dan majikan berhak memindahtangankan barang itu sesuai dengan kehendak mereka. Arab Saudi sama sekali belum menyentuh masalah ini.
Dari sisi pemerintah Indonesia, saya tidak setuju bahwa pemerintah lebih memfavoritkan pengiriman TKI ke Timur Tengah terutama ke Saudi Arabia.
Di tahun 2015 ada penghentian permanen pengiriman TKI ke Timur Tengah karena krisis ekonomi, tetapi pengawasan sangat lemah, sehingga malah banyak motif-motif lain digunakan untuk memberangkatkan TKI ke sana dengan jalur-jalur yang tidak prosedural.
Migran Care pernah bikin survei di bandara, dari 2400 orang yang kita wawancarai, mereka semua berangkat ke sana menjadi pekerja rumah tangga yang secara resmi dilarang. Mereka bisa menggunakan alasan lain misalnya umroh, jiarah dan yang lain. Photo: Wahyu Susilo adalah Direktur Eksekutif Migrant Care ketika berada di Melbourne.
Bagaimana dengan kualitas pendidikan dan ketrampilan para TKI sekarang dibandingkan 10-15 tahun lalu?
Tidak banyak perubahan sebenarnya. Misalnya mereka masih kebanyakan berasal dari daerah-daerah yang secara keagamaan konservatif seperti Jawa Barat atau Nusa Tenggara Barat.
Mereka pergi ke Saudi karena persyaratan untuk menjadi pekerja tidak dibatasi. Ke Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan misalnya sekarang TKI paling tidak harus tamat SMA.
Ini menurut saya jadi seperti jebakan. Artinya kalau pendidikan rendah, kan akses terhadap informasi rendah. dan kemudian mereka ke Timur Tengah, di sana mereka semakin rentan menghadapi berbagai kemungkinan buruk.
Jadi kalau begitu, mana pengiriman TKI ke luar negeri yang lebih baik sekarang ini?
Secara kuantitas ke Asia Timur lebih baik, misalnya ke Hong Kong, Taiwan. Mereka punya hukum perburuhan yang baik. Selemah apapun TKI kita masih punya hak untuk bisa memperkarakan majikannya, kalau mereka berbuat buruk.
Asia Tenggara saya melihat makin ke depan itu makin bagus.
Pertama karena ASEAN mulai punya instrumen. Saya melihat sekarang demokratisasi di Malaysia keadaan semakin baik.
Yang paling signifikan adalah penghapusan hukuman mati. Indonesia diuntungkan dengan penghapusan tersebut.
Karena 117 TKI kita yang terancam hukuman mati, dari total sekarang 228 itu berada di Malaysia.
Sejak tahun 2010, Parlemen Malaysia sudah menerapkan soft moratorium untuk tidak lagi mengeksekusi hukuman mati.
Eksekusi terakhir di Malaysia terkait TKI terjadi di tahun 1991.
Jumlah warga Indonesia yang pergi bekerja ke luar neger sebagai TKI dalam 20 tahun terakhir apakah angkanya tidak berubah banyak atau terjadi penurunan?
Angka dan persentase sebenarnya sama, namun dari sisi jumlah meningkat, karena kan dari tahun ke tahun jumlah penduduk juga meningkat.
Menurut saya ini memang tidak terhindarkan, karena tidak mungkin kita melarang orang untuk bekerja ke luar. Tetapi menurut saya, yang lebih penting lagi bahwa ini sebenarnya bukan fenomena di Indonesia, ini juga terjadi di negara-negara lain.
Di negara-negara yang ekonominya mulai merangkak naik seperti Indonesia, kontribusi remittance (penghasilan TKI yang dikirim pulang ke Indonesia) terus meningkat. Kita masuk 10 besar dunia.
Dalam tata kelola keuangan internasional, sumbangan remittance ini lebih tinggi dari dana pembangunan dari kalangan internasional dalam kontribusinya bagi pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi training, apakah sekarang pelatihan terhadap TKI itu ada peningkatan?
Sekarang ini di Indonesia sedang dalam masa transisi dari dari UU 39 tahun 2004 ke UU 18/2017. Perbedaannya dulu semua diserahkan ke swasta untuk mengirimkan TKI.
Sekarng ada desentralisasi dimana proses pelatihan dan perekrutan dilakukan di daerah dan dilakukan oleh pemerintah daerah.
Ini diharapkan akan meningkatkan kualitas dan tidak seperti dulu lagi dimana semua harus dilakukan di Jakarta.
Anda sudah mengurusi Migrant C are sejak tahun 2004. Mengapa tertarik mengurusi migran?
Dulu ketika masih menjadi mahasiswa di UNS Solo saya sudah terlibat menjadi pegiat, pernah menjadi aktivis tanah dan juga buruh.
Setelah selesai kuliah saya melihat sudah banyak orang yang berkecimpung di bidang-bidang itu.
Saya kemudian melihat seiring dengan semakin banyak migran yang bekerja di luar negeri yang semakin banyak permasalahannya, tapi tidak banyak yang mengurusi.
Isu migran ini memang baru muncul dalam 10 tahun terakhir, padahal dari sisi ekonomi Indonesia mengandalkan pada sektor ini. Photo: Wahyu Susilo (kanan) dalam salah satu kegiatan advokasi mewakili Migrant Care. (Foto: Istimewa)
Pengalaman paling berkesan ketika mengurusi migran?
Ada dua. ini juga berhubungan dengan hukuman mati. Yang pertama kasus Nasiroh di tahun 1997.
Setelah dia dibebaskan, dan kembali ke Indonesia, dia kemudian kembali lagi bekerja sebagai TKI (sambil tertawa). Ini juga menunjukkan kemiskinan membuat orang nekad.
Yang menarik jugaM Migrant Care melakukan advokasi untuk membebaskan Adi bin Asnawi yang dihukum mati di Malaysia. Ketika itu kita melakukan advokasi bersama dengan Gus Dur. yang mengirim surat ke PM Malaysia ketika itu Abduillah Badawi.
Ketika dia dibebaskan tahun 2010, Adi bin Asnawi ini datang ke saya dan mengatakan saya ingin ke rumah Gus Dur. Dan saya bilang Gus Dur sudah meninggal.
Apa yang harus ditingkatkan dalam sisi pengiriman TKI di masa depan?
Menurut saya jangan ada politik mobilisasi pengiriman TKI, demi kepentingan ekonomi. Negara hanya perlu menjadi fasilitator saja.
Dan juga sekarang ini menurut saya di Indonesia ini ada diskriminasi. Contoh kalau saya memiliki ketrampilan maka saya tidak akan mengalami kesulitan untuk mendaftar kerja di mana saja di luar negeri.
Misalnya sekarang saya bisa melamar untuk menjadi dosen di Brunei Darusalam atau Malaysia dan saya bisa mendaftar lewat internet.
Tetapi untuk mereka yang tidak trampil, ketika mereka hendak ke luar negeri mereka malah dibebani banyak biaya. Ini kan diskriminatif.
Tapi ketika hendak menjadi PRT di Malaysia, mereka harus bayar Rp 6 juta, ke Saudi 3 juta. Apalagi kalau ke Taiwan perlu biaya Rp 60 juta, sementara mereka yang mau kerja di dunia peerminyakan mereka tidak harus bayar apapun.
Diskriminasi seperti ini menurut saya perlu dihilangkan.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Australia Bentuk Bank Infrastruktur Rp 20 Triliun Untuk Negara Pasifik