jpnn.com - Warga Kampung Cireundeu menjadikan beras singkong sebagai pilihan utama, meski tak ada aturan adat yang mewajibkan. Mengenyangkan dan menyehatkan.
ANISATUL UMAH, Cimahi
BACA JUGA: Si Kembar Ridwan dan Riswan ke Sekolah Naik Perahu, Ingin jadi Tentara
DARI ujung centong, Jawa Pos mencuil rasi yang disodorkan Sopiah itu. Lalu mencoba mengunyahnya. ”Enak?” tanya Sopiah di Balai Adat Kampung Cireundeu, Kota Cimahi, Jawa Barat, Kamis (17/1) siang hampir sebulan lalu itu.
Sejujurnya hambar. Tenggorokan agak seret. Tapi, Jawa Pos mengambil lagi secuil dari centong. Sembari mencoba menghayati betapa dengan rasi itu warga Kampung Cireundeu telah berhasil mempertahankan kemandirian pangan selama hampir satu abad. Tak pernah jatuh ke dalam jebakan ”politik beras” yang dipropaganda sejak rezim Orde Baru.
BACA JUGA: Suara Dahlan Iskan pun Bergetarâ¦
Rasi kependekan dari beras singkong. Sesuai namanya, bahannya murni dari singkong. Tanpa campuran apa pun. Tak seperti tiwul yang juga berbahan dasar singkong.
Setelah dimasak, bentuknya bulat-bulat kecil. Warnanya putih kecokelatan. Sejak 1924 nasi singkong itulah yang menjadi bahan makanan pokok di Kampung Adat Cireundeu. Sampai kini, 95 tahun berselang, saat warga kampung menyisakan 70 kepala keluarga saja.
BACA JUGA: Penjaga Makam Gaji Pertama Rp 75 Ribu, Kini Sudah PNS, Punya Cerita Mistis
Neneng Suminar (37) tengah menunjukkan beras singkong yang sudah dimasak . Foto: Anisatul Umah/Jawa Pos
”Makan rasi itu sudah menjadi tradisi di sini,” kata Ketua Adat Cireundeu Emen Sunarya alias Abah Emen.
Tak seperti suku Baduy, meski sama-sama warga kampung adat, penduduk Cireundeu tak menolak teknologi dan sekolah. Warga kampung adat penghayat Sunda Wiwitan itu sepenuhnya menerima perkembangan zaman.
Prinsip mereka, Ngindung ka Waktu, Mibapa ka Jaman. Maksud Ngindung ka Waktu, sebagai warga kampung adat memiliki ciri dan keyakinan masing-masing atau menjaga adat. Sedangkan Mibapa ka Jaman bermakna mengikuti perkembangan zaman.
Tentu saja modernisasi itu sedikit banyak membawa pengaruh di sana-sini. Apalagi, pendatang juga berdatangan. Kawin-mawin dengan warga luar Cireundeu terjadi.
Tapi, kebiasaan mengonsumsi nasi singkong tetap lestari. Sopiah contohnya. Perempuan 25 tahun tersebut bersuami lelaki dari luar Cireundeu. Meski suaminya mengonsumsi beras nasi seperti mayoritas warga Indonesia, Sopiah bertahan dengan rasi.
Setiap hari dia memasak dua jenis makanan pokok: rasi untuknya dan beras untuk suami serta kedua anaknya. ”Anak mah bebas mau ikut siapa,” ungkapnya dengan logat Sunda kental.
Saat keluar kota atau pergi kondangan, Sopiah juga selalu membawa bekal beras singkong. ”Kalau (pergi) lama, bawa bahan yang mentah, masak sendiri,” imbuhnya sambil mengocok telur dengan mikser di balai adat tempat ibu-ibu memasak kue siang itu.
Indonesia adalah negeri beras. Dalam periode Januari sampai November 2018, misalnya, pemerintah harus mengimpor beras sebanyak 2,25 juta ton. Jauh melonjak dari periode Januari–Desember setahun sebelumnya yang mencapai 305,2 ribu ton.
Mengutip artikel Zen Rahmat Sugito di National Geographic Indonesia, pada 1954 pangsa beras di Indonesia hanya 53,5 persen. Separonya merupakan para pemakan nonberas. Pada 1987 angka itu melonjak menjadi 81,1 persen.
Dalam rentang 45 tahun, dari 1954–1999, pangsa singkong yang semula 22,6 persen menyusut menjadi hanya 8,83 persen.
Abah Widia jelas masuk dalam yang 8,83 persen itu. Sepanjang hidupnya yang kini telah menyentuh 57 tahun, tak sekali pun wakil ketua adat Cireundeu itu makan nasi beras.
Bukan hanya beras dalam bentuk nasi, kue-kue yang terbuat dari tepung beras pun dia belum pernah mencicipi. Begitu juga istri dan anak-anaknya. ”Makan kue dari tepung beras pun abah belum pernah,” ucap pria yang sehari-hari bekerja menjaga warung itu.
Salah satu kelebihan rasi, menurut para warga Cireundeu, gampang mengenyangkan. Sehari cukup dua kali mengonsumsi. ”Makan satu centong saja sudah kenyang,” kata Abah Widia.
Inti dari makanan, menurut Abah Widia, adalah membuat kenyang. Pola pikir yang salah adalah menyebut beras sebagai makanan pokok. Padahal, masih banyak sumber makanan pokok lain.
Cireundeu sudah ada sejak abad ke-16. Sejak 1918 warga kampung itu mencoba berbagai jenis umbi-umbian seperti ganyong dan jagung. Kala itu masyarakat setempat masih mengonsumsi beras padi.
Enam tahun berselang, tepatnya pada 1924, ditemukan singkong oleh sesepuh perempuan bernama Ambu Omah Asnamah.
Ketela dipilih sebagai bahan makanan pokok kala itu dengan pertimbangan lebih mudah ditanam. Kebutuhan sehari-hari warga sudah terpenuhi dengan adanya lahan pertanian 40–50 hektare. Termasuk hutan dengan luas sekitar 6 hektare.
Hutan di Cireundeu itu disebut hutan larangan. Artinya, siapa saja yang menebang pohon harus menggantinya dengan tanaman yang baru.
”Tidak ada lahan adat. Yang ada hanyalah balai adat. Tanah di Cireundeu dilengkapi surat tanah dan bayar pajak,” terang Abah Widia sambil kembali mengambil rokok.
Yang menuju Kampung Cireundeu pasti akan melewati jalan bukit yang di beberapa sisinya tampak tanaman singkong. Untuk mengolahnya menjadi tepung siap olah, dibutuhkan waktu seminggu. ”Yang kami makan ampasnya,” kata Sopiah.
Tidak ada larangan warga adat Cireundeu untuk beralih dari makan beras singkong ke beras nasi. Sebagaimana juga tidak ada larangan warga adat Cireundeu untuk menikah dengan orang luar adat.
Harmoni itu juga berlaku untuk urusan kepercayaan. Para pendatang yang mayoritas muslim hidup rukun bersanding dengan warga adat yang merupakan penghayat Sunda Wiwitan.
Dari sisi kesehatan, menurut Abah Widia, mengonsumsi beras singkong justru lebih sehat. Pasalnya, kandungan gula dalam singkong lebih rendah daripada beras nasi.
Berdasar pedoman gizi seimbang yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan, setiap 100 gram nasi mengandung 175 kalori, 4 gram protein, dan 40 gram karbohidrat. Sedangkan setiap 100 gram singkong mengandung 112 kalori, 1,5 gram protein, dan 38 gram karbohidrat.
Singkong cocok untuk pengganti nasi beras karena 230 gram singkong mengandung 78 gram karbohidrat total. Jika setiap 1 gram karbohidrat mengandung 4 kalori, itu setara dengan 312 kalori atau 95 persen kebutuhan karbohidrat harian.
Karena itulah, Neneng Suminar tak pernah sekali pun merasa membutuhkan nasi beras. Meski tak ada aturan yang mengharuskan perempuan 37 tahun tersebut untuk tetap mengonsumsi nasi singkong.
”Dari hati aja, mau meneruskan adat orang tua,” tutur warga Cireundeu itu. (*/c9/ttg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Satu Penari Sang Hyang Jaran Terlihat Lemas dan Tersungkur
Redaktur : Tim Redaksi